Rumah Tangga Bahagia
Merajut Rumah Tangga Bahagia
Judul buku: Merajut Rumah Tangga Bahagia
Penulis: A. Fatih Syuhud
Penerbit: Pustaka Al-Khoirot, Malang.
Tahun terbit: Januari 2014
ISBN-13: 978-1494897390
ISBN-10: 1494897393
DAFTAR ISI
- Prolog
- Bab I: Menuju Bahagia Hakiki
- Bab II: Mengelola Kebersamaan
- Bab III: Panduan Khusus Istri
- Bab IV: Panduan Khusus Suami
- Bab V: Fikih Keluarga
BAB I: MENUJU BAHAGIA HAKIKI
- Rumah Tangga Agamis (1): Taat Syariah
- Rumah Tangga Agamis (2): Berilmu Agama
- Rumah Tangga Agamis (3): Akhlak Mulia
- Rumah Tangga Agamis (4): Prioritas Pendidikan Anak
- Rumah Tangga Agamis (5): Cinta Ibadah
- Rumah Tangga Agamis (6): Suka Beramal
- Kerja Keras dan Hidup Sederhana Kunci Hidup Bahagia
- Solusi Konflik (3): Sabar dan Marah yang Islami
- Keluarga Disiplin (1)
- Keluarga Disiplin (2)
BAB II: MENGELOLA KEBERSAMAAN
- Agar Disayang dan Ditaati Anak
- Hak Suami dan Kewajiban Istri
- Solusi Konflik (1): Mengatasi Kemarahan Pasangan
- Solusi Konflik (4): Perlunya Kompromi
- Solusi Konflik (5): Jangan Bertengkar Di Depan Anak
- Perceraian Jalan Terakhir
BAB III: PANDUAN KHUSUS ISTRI
- 10 Perilaku Istri yang Menjengkelkan Suami
- Istri Bekerja di Rumah
- Istri Bekerja di Luar Rumah
- Perlunya Istri Terdidik
- Istri Pelopor Hidup Jujur
- Istri Sang Kyai
- Menyikapi Suami Poligami
BAB IV: PANDUAN KHUSUS SUAMI
- Istri Sukses Tergantung Suami
- Solusi Konflik (2): Jangan Obral Kata Cerai
- 10 Perilaku Suami yang Menjengkelkan Istri
- Menghindari Poligami (1)
- Menghindari Poligami (2)
BAB V: FIKIH KELUARGA
- Status Anak dari Perkawinan Hamil Zina
- Hukum Adopsi Anak dalam Islam
- Kawin Paksa dalam Islam
- Cerai Paksa dalam Islam
- Hukum Gugat Cerai (Khuluk) dalam Islam
- Pemimpin Wanita dalam Islam
Prolog
Dalam buku Akhlakul Karimah[1] saya menulis bahwa kebahagiaan di dunia itu terjadi dalam tiga situasi yakni saat bekerja keras, saat berharap memetik hasilnya dan saat berhasil memetik hasil dari kerja keras itu sendiri. Kronologi ini dapat dengan mudah dilihat pada sosok petani yang dengan gembiar menanam bibit padi di sawah, mengurusnya dan mensyukurinya saat panen. Dengan demikian maka bahagia di dunia itu erat kaitannya dengan adanya prestasi yang dicapai secara terus menerus. Dan prestasi tertinggi dalam sebuah rumah tangga adalah keberhasilan membina rumah tangga.
Apa tolok ukur sebuah rumah tangga yang berhasil? Secara umum rumah tangga yang sukses adalah apabila: a) suami berperilaku sesuai perannya yaitu sebagai pemimpin yang bijaksana, pencari nafkah yang ulet, suami yang dihormati dan bapak yang jadi panutan; b) istri berperilaku sesuai tugasnya yaitu sebagai istri yang salihah, ibu yang peduli pada keseharian pendidikan anak, istri yang mendukung peran suami; c) anak bertindak sesuai harapan orang tua yaitu menaati perintah dan arahan orang tua dengan ikhlas, belajar dengan penuh semangat, memiliki cita-cita tinggi dalam pendidikan baik dengan dukungan finansial orang tua atau tanpa dukungan mereka sekalipun, memiliki aspirasi pengabdian hidup yang mulia terhadap diri sendiri, keluarga dan orang lain.
Rumah tangga sukses identik dengan rumah tangga bahagia. Jadi, parameter rumah tangga bahagia bukan pada jumlah materi yang dimiliki atau ketinggian nasab dan keturunan. Keluarga bahagia, sekali lagi, adalah apabila unsur-unsur di dalamnya, seperti suami, istri, dan anak, memiliki kualitas yang baik menurut standar syariah, taraf pendidikan, dan berperilaku sosial sesuai standar dan etika sosial masyarakat.
Rumah tangga ibarat membangun bangunan besar pencakar langit. Ia membutuhkan perencanaan detail yang matang dan para teknisi harus komitmen dan disiplin untuk mengimplementasikan semua rencana itu agar semua program dari A sampai Z berjalan dengan baik dan sesuai harapan. Di sini kata kuncinya adalah disiplin.
Disiplin untuk mengaplikasikan blue print (kerangka) perencanaan jangka pendek dan jangka panjang dalam rumah tangga akan menentukan berhasilnya sebuah keluarga baik menyangkut suami, istri dan anak. Hampir dapat dipastikan bahwa kegagalan dalam rumah tangga atau kegagalan dalam pendidikan anak itu disebabkan oleh salah satu dari dua hal yaitu tidak adanya perencanaan yang jelas atau ada perencanaan tapi tidak disiplin dan konsisten dalam mengaplikasikan rencana itu .
Orang yang tidak punya perencanaan yang jelas dalam rumah tangga, termasuk menyangkut pendidikan anak, hampir dipastikan adalah keluarga yang berpendidikan rendah. Mereka tidak tahu apa yang harus direncanakan baik untuk diri mereka sendiri atau untuk anak-anak mereka. Inilah penyebab terbesar kegagalan dalam keluarga. Dan apabila banyak keluarga muslim yang gagal dalam membina rumah tangga dan mendidik anak, maka hal itu dapat dimaklumi karena memang masih minimnya keluarga muslim yang memiliki level pendidikan tinggi. Ini berbeda dengan kalangan non-muslim.
Yang kedua adalah adanya perencanaan tapi minim pelaksanaan. Mereka umumnya dari kalangan berpendidikan formal yang cukup baik dan memiliki jabatan dan kemampuan materi yang cukup namun kurang disiplin dan konsisten dalam melaksanakan kerangka rencana masa depan mereka. Hal ini disebabkan oleh banyak hal antara lain terkait permasalahan ketidakpedulian pada keluarga atau terlalu buruknya lingkungan di sekitarnya sehingga merusak segala macam perencanaan yang dibuat.
Pembagian Tugas dan Tanggung Jawab
Dalam sebuah hadits sahih riwayat Bukhari Rasulullah bersabda: Suami bertanggung jawab pada keluarganya. Sedangkan istri pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas tugasnya.[2]
Hadits ini menunjukkan hirarki dan pembagian tugas sehari-hari antara suami dan istri. Ibarat sebuah perusahaan, suami menjabat sebagai Direktur Umum atau istilah yang populer sekarang sebagai Chief Executive Officer (CEO) yang membawahi dan mengawasi semua tugas dan jabatan di bawahnya. Sedangkan istri menjabat sebagai Direktur Pelaksana (Managing Director) yang memiliki tugas lebih detail dan lebih khusus sebagai pelaksana harian dalam rumah tangga.
Oleh karena itu, dalam sebuah rumah tangga yang sukses dalam arti suami istsri tampak rukun dan taat syariah; memiliki anak saleh yang berprestasi, maka suami berhak mendapatkan pujian secara umum.[3] Namun, pujian khusus jatuh pada istri yang telah berhasil mendidik anak-anak mereka menjadi pribadi-pribadi impian orang tua.
Begitu juga, dalam sebuah keluarga yang gagal, maka kesalahan pertama terletak di pundak suami. Namun, terkait anak-anak yang nakal, maka ibulah pihak yang bertanggung jawab dan berhak memikul kesalahan utama.
Intinya, istri yang baik dan salihah itu berkat didikan suami yang berhasil; sedangkan anak yang salih dan berprestasi adalah berkat keberhasilan istri yang telah dengan tekun dan sabar mendidik anak-anak mereka sejak baru lahir sampai dewasa. Begitu besarnya peran ibu dalam sukses gagalnya anak dikonfirmasi oleh hasil sebuah survei di Amerika. Dalam survei itu dikatakan bahwa seorang anak bahkan dapat sukses di lingkungan keluarga single parent (orang tua tunggal) di mana hanya ibu yang menjadi satu-satunya figur dlam rumah. Hal ini memang banyak terbukti dalam sejumlah kasus. Prsiden Amerika Barack Obama, misalnya, hanya dididik oleh ibunya. Untuk Indonesia, Dede Yusuf aktor dan mantan wakil gubernur Jawa Barat, juga hanya dididik oleh ibunya.[4]
Kebersamaan dan Komunikasi Berkualitas
Kata kunci dari keberhasilan hubungan rumah tangga antara suami-istri-anak adalah komunikasi yang baik dan berkualitas. Komunikasi berkualitas adalah adanya kebersamaan dan hubungan interaktif yang terjadi secara intensif dan teratur. Menonton TV secara bersama-sama bukanlah cara komunikasi berkualitas karena sifatnya tidak interaktif karena tidak ada dialog dan percakapan antara pihak-pihak dalam keluarga. Kebersamaan baru disebut berkualitas walaupun waktunya sedikit apabila digunakan secara utuh untuk berkomunikasi baik dalam bentuk bercanda, berbagi cerita atau berdialog serius. Seringnya komunikasi berkualitas seperti ini akan membuat orang tua tidak hanya disenangi dan ditaati tapi juga menjadi tempat curahan hati (curhat) anak-anak sehingga mereka tidak melakukan curhat pada teman-temannya di luar yang justru akan menimbulkan masalah tersendiri.
Namun demikian, keakraban antara suami-istri-anak bukan berarti keakraban yang merusak. Tetap harus ada garis tegas kapan ayah dan ibu memberikan disiplin dan sanksi pada anaknya apabila melanggar aturan. Harus ada sikap yang tidak kompromi saat istri mulai keluar dari jalur yang telah disepakati bersama.
Mengelola Konflik
Dalam situasi di mana sering terjadi konflik-konflik kecil dan ketidakcocokan antara suami istri, maka kemampuan untuk mengelola konflik menjadi hal yang sangat penting. Kemampuan mengelola atau tidak akan menentukan apakah konflik itu akan berakhir di meja hijau Pengadilan Agama atau justru menjadi pemicu positif yang membuat kedua pihak menjadi semakin dewasa.
Buku ini membahas cukup detail tentang pegelolaan konflik yang kerap terjadi antar suami-istri. Poin pentingnya adalah perlunya kedua belah pihak untuk berkompromi dan berusaha untuk melakukan yang terbaik untuk keberlanjutan rumah tangga.[]
————–
ENDNOTE
[1] A. Fatih Syuhud, Akhlakul Karimah, (Pustaka Alkhoirot : 2010).
[2] Teks asal: والرجل راع في أهله وهو مسئول عن رعيته والمرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها
[3] Lihat “Istri Sukses Tergantung Suami” dalam buku ini.
[4] Lihat “Perlunya Istri Terdidik” dalam buku ini.