Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Setiap Muslim adalah Juru Da’wah

muslim juru dawah

Individu Muslim sebagai Pembawa Risalah Da’wah. Setiap muslim secara alamiah adalah seorang mubaligh atau juru da’wah. Ini secara eksplisit tersurat dalam QS Ali Imran 3:110 dan An-Nahl :135. Dengan kata lain, setiap muslim adalah pemimpin. Kepemimpinan itu adalah amanah yang harus dijaga dan dilaksanakan dengan baik dengan syarat-syarat yagn harus dipenuhi. Salah satu syarat itu adalah ketaatan yang penuh pada syariah Islam dan menjadikan diri sebagai individu yang berilmu, berwawasan dan berakhlak mulia.
Oleh: A Fatih Syuhud

Dalam An-Nahl ayat 135 Allah berfirman: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Sementara dalam Ali Imran 3:110 Allah berfirman: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”

Pada abad keenambelas Portugis berhasil menguasai Lautan India, dengan demikian mengakhiri kekuasaan orang Arab dalam rute komersial bagian timur. Maka mulailah inisiatif kolonial Eropa terhadap daerah-daerah Muslim. Dengan invensi mesin uap pada abad ketujuhbelas, dan Revolusi Industri pada abad kedelapanbelas dan sembilanbelas, bangsa-bangsa Eropa memperkuat posisi mereka, yang terkonsolidasi secara sempurna dengan rampungnya, pada tahun 1969, terusan Suez. Saat itu, dengan jalur langsung dari Mediterania ke Laut Merah, tidak ada satupun negara Muslim Afrika dan Asia tengah yang masih bebas dari kontrol langsung atau tidak langsung Eropa.

Sepanjang menyangkut kekuatan material, bangsa-bangsa Eropa tidak hanya lebih superior dibanding kaum Muslim dalam segi jumlah; mereka juga lebih maju dalam kualitas sumber daya. Muslim hanya memiliki senjata-senjata tangan untuk diandalkan, sedang bangsa-bangsa Eropa memiliki akses pada senjata-senjata jarak jauh. Tidak heran dalam anggapan banyak orang bahwa supremasi Eropa tidak akan pernah berakhir. Kemudian Tuhan menampakkan kehendakNya. Para penguasa Eropa saling bertikai satu sama lain pada Perang Dunia II, menimbulkan kerusakan yang tak terkirakan pada masing-masing pihak. Posisi internal mereka menjadi sangat lemah sehingga tidak ada jalan lagi bagi mereka untuk mempertahankan kekuasaan eksternal mereka. Kekuasaan penjajah Eropa terpaksa mundur dari daratan-daratan Afrika dan Asia yang pernah mereka jajah dengan kebesaran dan kemegahan. Kendatipun begitu, bagi umat Muslim masalah sulit masih terus berlangsung. Eropa telah kehilangan empirium politiknya, tetapi melalui superioritas teknologi dan industrinya, mereka masih menguasai pasar-pasar dunia. Negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, dengan sumber daya terbatas berusaha untuk mengejar ketertinggalan itu. Tetapi begitu mereka mulai bergerak maju dalam era industri, Barat, meminjam istilah Alvin Toffler, sudah mulai bergerak maju menuju era super industri. Pada saat itulah sumber-sumber berkah kedermawanan Tuhan keluar dari tanah Arab: minyak, yang dikonversikan menjadi kekayaan minyak yang dibuat untuk mengejar ketertinggalan Muslim dalam piranti teknologi, dan memberi mereka posisi berpengaruh dalam tatanan ekonomi dunia modern.

Fakta dari permasalahan di atas adalah bahwa Muslim merupakan pemegang amanah sebuah kitab suci bernama Al Qur’an yang unik dalam arti ia dipelihara dalam kondisi orisinal tanpa adanya perubahan sedikitpun dari sejak ia diturunakan. Untuk alasan ini, Allah yang Maha Besar telah terjun langsung untuk melindungi Umat Islam di dunia. Dalam hal ini Dia melindungi Kitab SuciNya – Al Qur’an. Pertolongan Allah inilah yang melindungi umat Muslim selama invasi Sasanid dan Mongol, Perang Salib, era penjajahan, sampai masa sekarang.

Tetapi patut dicatat bahwa perlindungan ini hanyalah terbatas pada hal-hal yang bersifat duniawi. Sepanjang menyangkut keselamatan di akhirat, tidak ada statemen Al-Qur’an yang memfirmankan jaminan akhirat atas suatu bangsa atau etnik. Umat Muslim akan mendapat keselamatan akhirat dengan cara, pertama, membawa pola pikir dan perilakunya sesuai dengan Islam, dan kemudian menyampaikan pesan-pesan Al Qur’an, di mana mereka (umat Islam) dipercaya sebagai pembawa obornya, kepada bangsa-bangsa lain di dunia. Nabi Muhammad memanfaatkan waktu selama hidupnya untuk bersaksi akan kebenaran Allah di hadapan orang-orang pada masa beliau. Ini memberi teladan yang jelas pada orang-orang (umat Islam) yang hidup setelah Nabi. Umat Islam tanpa pandang usia, pangkat dan jabatan hendaknya mengikuti contoh ini, dan meneruskan pesan-pesan yang telah mereka terima melalui Nabi Muhammad, dari Allah, pada seluruh umat manusia.

Dengan datangnya Nabi Muhammad, kenabian dan kerasulan telah berakhir. Sekarang umat Muslim, sebagai pembawa obor penerus perjuangan Nabi, harus melakukan peran para Nabi: umat Islam-lah yang harus mengkomunikasikan pesan-pesan Islam itu pada bangsa-bangsa lain di seluruh dunia. Bahkan para Nabi sendiri harus memenuhi kewajiban kenabian mereka dalam rangka supaya pantas dan berhak mendapat status kenabian itu (Qur’an, 5:67), karena itu bagaimana mungkin seorang Muslim dapat dianggap sebagai penganut Islam sejati apabila ia tidak memenuhi kewajiban Islamnya untuk menyebarkan pesan-pesan Islam? Yang mendasar dan paling fundamental di antara kewajiban-kewajiban ini adalah bersaksi atas kebenaran di dunia. Klaim apa yang kita punya agar supaya kita dianggap sebagai pengikut Nabi Muhammad, apabila kita tidak bersikap dan bertindak sesuai dengan teladan Nabi? Apabila tidak semua Muslim dapat melakukan, setidaknya sebagian besar dari umat bangkit untuk melaksanakan tugas kerisalahan ini (Qur’an, 3:104).

Pada zaman dahulu, ketika Gereja tidak terpisah dari Negara, agama menjadi basis politik. Sebuah gerakan yang tidak berbahaya sekalipun, yang hanya bermaksud untuk menyebarkan Risalah Allah, biasa dianggap sebuah ancaman oleh pemerintah pada waktu itu. Langkah-langkah drastis dan kekerasan akan diambil untuk membasmi sebuah gerakan yang mengancam pada basis kekuasaan politik. Mereka yang menyebarkan Pesan Tuhan akan terkena hukuman berat – disalib, dilempar batu, hukuman mati – oleh para penguasa waktu itu. Dewasa ini, Gereja telah memisahkan diri dengan Negara, kekuasaan politik tidak lagi menganggap da’wah agama sebagai sebuah ancaman pada otoritas mereka. Selain itu saat ini da’wah Islam mendapat fasilitas dan kebebasan yang jauh lebih besar dibanding pada masa dulu. Satu hal lagi yang tak kalah penting adalah bahwa mereka yang melakukan tugas da’wah ini hendaknya menjauhkan diri dari polemik dan politik, karena apabila sang juru da’wah melibatkan diri dalam dua hal tersebut, maka akan terasa sulit untuk tidak berkompromi dengan pesan agama yang diemban; ia akan menciptakan problem-problem yang semestinya dapat dihindari, yakni dapat berakibat mengalienasikan atau menjauhkan orang-orang yang akan kita da’wahi sebelum dapat menarik hati mereka. Kebebasan berpikir dan metode kajian saintifik merupakan faktor dominan di dunia kontemporer, menjamin mereka yang memproyeksikan dan mempromosikan agama yang benar dapat melanjutkan usaha-usaha mereka secara bebas di setiap pojok dunia.

Patut dicatat bahwa pemikiran modern telah membuat ajaran Islam menjadi lebih mudah dimengerti. Ini hanyalah jalan lain di mana Tuhan telah membantu umat Islam dalam menyampaikan pesan-pesan Allah pada umat manusia. Apabila umat Islam masih belum dapat menunjukkan kemauan dan tindakan terhadap tugas da’wah ini, maka alasan apa yang akan kita utarakan di hadapan Allah, yang berbuat segalanya guna membuat kondisi di dunia ini menjadi kondusif untuk menyebarkan risalah da’wahNya?

Setiap Muslim adalah Juru Da’wah
Kembali ke Atas