fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Hukum Tahlilan dan Syukuran menurut Pandangan Ulama Aswaja dan Salafi (Non-Wahabi)

Hukum Tahlilan dan Syukuran menurut Pandangan Ulama Aswaja dan Salafi (Non-Wahabi)

Hukum Tahlilan dan syukuran (2): Pandangan Ulama Aswaja dan Salafi (Non-Wahabi)
Oleh: A. Fatih Syuhud

Secara etimologis (morfologis), tahlil adalah bentuk masdar dari fi’il madhi hallala – yuhallilu – tahlilan (هلل – يهلل – تهليلا). Secara bahasa, tahlil bermakna ucapan Lailaha Illallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Secara istilah, tahlil atau tahlilan adalah tradisi dzikir dan do’a bersama yang dilakukan oleh umat Islam Aswaja di Indonesia yang berafiliasi kultural NU (Nahdlatul Ulama).
Ada beberapa tujuan dari acara tahlilan. Antara lain, untuk a) mendo’akan orang yang telah meninggal pada hari pertama sampai ketujuh, hari ke-40, ke-100, ke-1.000 dan haul (pertahun); b) keperluan hajat lain seperti syukuran pada resepsi pernikahan; c) sebagai ajang silaturahmi komunitas yang dilakukan secara rutin secara bergantian, misalnya, setiap malam Jumat, malam Minggu, dll.
Kandungan dalam acara tahlilan mengandung empat elemen, pertama, tawasul atau menghadiahkan bacaan Al-Fatihah kepada yang meninggal mulai dari Rasulullah, Sahabat, Tabi’in, para ulama, keluarga dekat dan yang baru saja meninggal.
Kedua, membaca beberapa ayat Al Qur’an dan dzikir. Yang semuanya dibaca secara bersama dengan suara keras. Ketiga, membaca doa bersama dipimpin oleh seorang ustadz atau kyai. Isi doa ada dua yaitu menghadiahkan pahala tahlilan kepada orang yang sudah meninggal dan doa untuk kebaikan yang hadir. Keempat, acara tahlilan biasanya ditutup dengan jamuan makanan dari keluarga yang meninggal atau yang mempunyai hajat sebagai sedekah. Jadi, poin utama acara tahlil ada dua yaitu a) mengirim pahala bacaan Al-Quran dan dzikir pada mayit; b) bersedekah yang pahalanya dihadiahkan pada yang meninggal.
Apabila esensi dari tahlilan adalah membaca Al-Quran dan bersedekah, maka tidak ada lagi permasalahan ditinjau dari perspektif syariah. Karena, kedua hal tersebut sudah disepakati ulama atas kebolehannya berdasarkan pada dalil Al-Quran dan Sunnah.

Hukum Bacaan Tahlil

Kalangan Wahabi, dan ormas lokal yang secara akidah dan fikih berafiliasi dengannya, menganggap bahwa tradisi Tahlilan berasal dari tradisi Hindu atau Buddha. Betulkah demikian? Anggapan ini terutama terkait dengan amaliah Tahlilan untuk orang yang baru meninggal di mana Tahlilan biasanya diadakan selama tujuh hari berturut-turut, lalu hari ke-40, ke-100, ke-1.000 dan haul (setiap tahun).
Pertama, perlu diketahui, bahwa seandainya pun Tahlilan itu benar-benar berasal dari tradisi Hindu atau Buddha sekalipun, namun apabila kandungan di dalamnya tidak ada yang berlawanan dengan syariah, maka itu tidak dilarang dalam Islam. Sebagaimana bolehnya peringatan maulid Nabi Muhammad, berdzikir dengan memakai tasbih yang awalnya, dan sampai saat ini, merupakan tradisi dari agama lain termasuk Nasrani, Yahudi, bahkan Hindu. Namun, ulama Aswaja sepakat membolehkannya. Bahkan termasuk Ibnu Taimiyah sendiri.
Kedua, tuduhan bahwa Tahlilan berasal dari agama Hindu itu tidak benar. Sebab dalam riwayat seorang Tabi’in bernama Thawus (w. 106 H) disebutkan adanya kebiasaan kalangan Sahabat bersedekah untuk orang yang telah wafat selama tujuh hari. Menariknya riwayat ini berasal dari Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi Kerajaan Arab Saudi penyebar dan pendonor ajaran Wahabi ke seluruh dunia. Riwayat ini menyatakan:

حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنِ مَالِكِ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلَ ثَنَا أَبِي ثَنَا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ ثَنَا اْلأَشْجَعِي عَنْ سُفْيَانَ (الثَّوْرِيّ) قَالَ قَالَ طَاوُوْسٌ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أْنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامَ.

“Imam Ahmad mengutip pernyataan Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para Sahabat menganggap baik untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut.”
Jalaluddin al-Suyuthi dalam Al-Dibaj juga mengutip riwayat yang sama dari Thawus:
فَائِدَةٌ رَوَى أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلَ فِي الزُّهْدِ وَأَبُوْ نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ عَنْ طَاوُسٍ أَنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِي قُبُوْرِهِمْ سَبْعًا فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعِمُوْا عَنْهُمْ تِلْكَ اْلأَيَّامِ إِسْنَادُهُ صَحِيْحٌ وَلَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ وَذَكَرَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مُصَنَّفِهِ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عَمِيْرٍ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يُفْتَنُ سَبْعًا وَالْمُنَافِقَ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا وَسَنَدُهُ صَحِيْحٌ أَيْضًا وَذَكَرَ ابْنُ رَجَبَ فِي اْلقُبُوْرِ عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّ اْلأَرْوَاحَ عَلَى الْقُبُوْرِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ مِنْ يَوْمِ الدَّفْنِ لاَ تُفَارِقُهُ وَلَمْ أَقِفْ عَلَى سَنَدِهِ
“Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab Al-Zuhd dan Abu Nuaim dalam al-Hilyah dari Thawus bahwa ‘sesungguhnya orang-orang yang mati mendapatkan ujian di kubur mereka selama 7 hari. Maka para Sahabat senang untuk memberi sedekah pada 7 hari tersebut’. Sanad riwayat ini sahih dan berstatus hadis marfu’. Ibnu Juraij menyebutkan dalam kitab Al-Mushannaf dari Ubaid bin Amir bahwa ‘orang mukmin mendapatkan ujian (di kubur) selama 7 hari, dan orang munafik selama 40 hari’. Sanadnya juga sahih. Ibnu Rajab menyebutkan dalam kitab al-Kubur dari Mujahid bahwa ‘arwah berada dalam kubur selama 7 hari sejak dimakamkan dan tidak berpisah’. Tetapi saya tidak menemukan sanadnya.”
Al-Suyuthi dalam kitab Al-Hawi berkata:
إِنَّ سُنَّةَ اْلإطْعَامِ سَبْعَةَ أَيَّامٍ بَلَغَنِي أَنَّهَا مُسْتَمِرَّةٌ إلَى اْلآنَ بِمَكَّةَ وَالْمَدِيْنَةِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهَا لَمْ تُتْرَكْ مِنْ عَهْدِ الصَّحَابَةِ إِلَى اْلآنَ وَإِنَّهُمْ أَخَذُوْهَا خَلَفًا عَنْ سَلَفٍ إلَى الصَّدْرِ اْلأَوَّلِ
“Kesunnahan memberi makanan tujuh hari, telah sampai kepada saya bahwa hal itu berlangsung hingga sekarang di Makkah dan Madinah. Secara zhahir hal itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat hingga sekarang, dan mereka meneruskannya secara turun temurun dari masa Awal Islam.”
Nawawi Al-Bantani dalam Nihayatuz Zain menyatakan secara lebih spesifik tentang praktek muslim Aswaja Nahdliyah:
وَالتَّصَدُّقُ عَنِ الْمَيْتِ عَلَى وَجْهِ شَرْعِيٍّ مَطْلُوبٌ وَلَا يُتَقَيَّدُ بِكَوْنِهِ سَبْعَةَ أيَّامٍ او أَكْثَرَ او أَقَلَّ ، وَتَقْيِيدٌ بِبَعْضِ الْأيَّامِ مِنَ الْعَوَائِدِ فَقَطْ. كَمَا أَفْتَى بِذَلِكَ السَّيِّدُ أَحْمَدُ دَحَلانَ وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ النَّاسِ بِالتَّصَدُّقِ عَنِ الْمَيْتِ فِي ثَالِثٍ مِنْ مَوْتِهِ وَفِي سابعٍ وَفِي تَمامِ الْعَشْرَيْنِ وَفِي الأربعين وَفِي المِائَةِ وَبَعْدَ ذَلِكَ يُفْعَلُ كُلَّ سَنَةٍ حَوْلًا فِي يَوْمِ الْمَوْتِ كَمَا أَفَادَ شَيْخُنَا يُوسُفُ السَنْبَلاَوِينِي

“Bersedekah atas nama mayit dengan cara yang syar’i adalah dianjurkan, tanpa ada ketentuan harus 7 hari, lebih atau kurang dari 7 hari. Sedangkan penentuan sedekah pada hari-hari tertentu itu hanya merupakan kebiasaan masyarakat saja, sebagaimana difatwakan oleh Sayyid Ahmad Dahlan. Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk mayit pada hari ketiga kematian, hari ketujuh, dua puluh, empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kematiannya. Sebagaimana disampaikan oleh guru kami Syaikh Yusuf al-Sunbulawaini.”

Pandangan Ulama Salafi

Yang sangat menarik adalah pendapat dari Abu Ali Al-Syaukani, salah satu tokoh Salafi asal Yaman. Pandangannya soal ini tidak berbeda dengan ulama Aswaja. Ia menyatakan

الْعَادَةُ الْجَارِيَةُ فِي بَعْضِ الْبُلْدَانِ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ فِي الْمَسْجِدِ لِتِلاَوَةِ الْقُرْآنِ عَلَى اْلأَمْوَاتِ وَكَذَلِكَ فِي الْبُيُوْتِ وَسَائِرِ اْلاِجْتِمَاعَاتِ الَّتِي لَمْ تَرِدْ فِي الشَّرِيْعَةِ لاَ شَكَّ إِنْ كَانَتْ خَالِيَةُ عَنْ مَعْصِيَةٍ سَالِمَةً مِنَ الْمُنْكَرَاتِ فَهِيَ جَائِزَةٌ ِلأَنَّ اْلاِجْتِمَاعَ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ بِنَفْسِهِ لاَ سِيَّمَا إِذَا كَانَ لِتَحْصِيْلِ طَاعَةٍ كَالتِّلاَوَةِ وَنَحْوِهَا وَلاَ يُقْدَحُ فِي َذَلِكَ كَوْنُ تِلْكَ التِّلاَوَةِ مَجْعُوْلَةً لِلْمَيِّتِ فَقَدْ وَرَدَ جِنْسُ التِّلاَوَةِ مِنَ الْجَمَاعَةِ الْمُجْتَمِعِيْنَ كَمَا فِي حَدِيْثِ اقْرَأُوْا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ وَهُوَ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ يس مِنَ الْجَمَاعَةِ الْحَاضِرِيْنَ عِنْدَ الْمَيِّتِ أَوْ عَلَى قَبْرِهِ وَبَيْنَ تِلاَوَةِ جَمِيْعِ الْقُرْآنِ أَوْ بَعْضِهِ لِمَيِّتٍ فِي مَسْجِدِهِ أَوْ بَيْتِهِ.

“Tradisi yang berlaku di sebagian negara dengan berkumpul di masjid untuk membaca al-Quran dan dihadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal, begitu pula perkumpulan di rumah-rumah, maupun perkumpulan lainnya yang tidak ada dalam syariah, tidak diragukan lagi apabila perkumpulan tersebut tidak mengandung maksiat dan kemungkaran, hukumnya adalah boleh. Sebab pada dasarnya perkumpulannya sendiri tidak diharamkan, apalagi dilakukan untuk ibadah seperti membaca al-Quran dan sebagainya. Dan tidaklah dilarang menjadikan bacaan al-Quran itu untuk orang yang meninggal. Sebab membaca al-Quran secara berjamaah ada dasarnya seperti dalam hadis: Bacalah Yasin pada orang-orang yang meninggal. Ini adalah hadis sahih. Dan tidak ada bedanya antara membaca Yasin berjamaah di depan mayit atau di kuburannya, membaca seluruh al-Quran atau sebagiannya, untuk mayit di masjid atau di rumahnya.” Pandangan Al-Syaukani ini menjadi jawaban yang menohok bagi kaum Wahabi yang selalu ingin semua hal ada dalilnya secara persis.[]

Kembali ke Atas