fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Evolusi Mental dan Reformasi Akhlak

Revolusi Mental dan Reformasi Akhlak

 

Evolusi Mental dan Reformasi Akhlak. Banyak teori mencapai kebahagiaan, dan teori terbaik adalah yang yang ditawarkan Islam berdasarkan Al-Quran dan Sunnah Nabi. Termasuk di dalamnya perlunya evolusi pola pikir dan pola sikap dengan cara mereformasi akhlak keseharian kita.

Epilog Buku Akhlakul Karimah (Budi Pekerti Luhur)
Oleh: A. Fatih Syuhud

Tujuan pertama ketika manusia bangun tidur di pagi hari adalah bagaimana untuk survive (bertahan hidup) dan meneruskan kehidupan. Ini yang disebut kebutuhan dasar. Hal ini terjadi bukan hanya pada manusia, tapi juga hewan. Apabila kebutuhan dasar ini sudah terpenuhi, maka tujuan kedua adalah bagaimana mencapai kebahagiaan.

Tujuan pertama memotivasi terjadinya perputaran, pergerakan dan dinamika ekonomi. Manusia bekerja, memutar otak dan mengerahkan segala kemampuan jiwa dan raga untuk menelorkan hasil ekonomi yang maksimal sesuai dengan kemampuan akal pikiran, skill dan latar belakang pendidikannya. Dari mulai bekerja sebagai pemulung, petugas sampah, pegawai negeri dan swasta, direktur perusahaan sampai jadi presiden.

Tujuan kedua, yakni mencapai kebahagiaan, memotivasi manusia untuk berfikir dan berbuat lebih dari sekedar mencari sesuap nasi. Dari kalangan umat manusia yang mendapat kelebihan berpikir, lahirlah berbagai teori bagaimana kebahagiaan dapat dicapai tidak saja oleh manusia sebagai invididu, tapi juga oleh manusia sebagai bagian dari suatu bangsa di suatu negara tertentu dan bahkan dunia.

Di Barat, muncullah nama-nama filsuf besar Yunani seperti Sokrates (469 –399 S.M), Plato (428 – 427 S.M), Aristoteles (384 – 322 S.M). Di Timur muncul nama Konfusius, pendiri Kong Hu Chu (551–479 S.M), dan Siddhartha Gautama, pendiri agama Budha (563–483 sebelum Masehi), dan banyak lagi.

Pendapat Filsuf Non-Muslim tentang Bahagia

Sokrates berpendapat bahwa untuk mencapai kebahagiaan seseorang harus mengetahui apa yang diinginkan nuraninya, bukan fisiknya, dan berusaha mencapai keinginannya itu. Karena, menurut Sokrates, kebahagiaan itu mengalir tidak dari kondisi fisik atau eksternal seperti kenikmatan badani atau kekayaan materi dan kekuasaan, akan tetapi ia berasal dari kehidupan yang sesuai dengan jiwa dan rasa terdalam seseorang.[1]

Plato berkeyakinan bahwa kebahagiaan itu adalah apabila seseorang dapat mencapai apapun yang dia cita-citakan, seperti menjadi kaya atau jadi penguasa, asal dengan cara yang benar, adil dan bermoral.[2]

Aristoteles percaya bahwa hidup bahagia itu adalah apabila seseorang dapat mencapai potensi diri secara maksimal dengan cara yang etis.[3]

Setiap orang, kata Konfusius, dapat mencapai kebahagiaan. Manusia pada dasarnya baik dan bahwa apabila seseorang mengikuti aturan moral yang ketat dan mengoreksi perilakunya, maka seluruh penyakit dunia akan hilang dan kebahagiaan akan tercapai.[4]

Sementara Siddhārtha Buddha Gautama mengatakan bahwa jiwa dan raga adalah dua hal yang terpisahkan. Jiwa akan menjadi penyebab pada eksistensi dan kondisi seseorang. Apa yang dialami seseorang merupakan cerminan dari apa yang dipikirkan. Seseorang yang berbicara atau berbuat dengan pemikiran buruk, akan membuatnya sengsara. Sementara apabila dia berbicara dan bertindak dengan pikiran jernih, maka dia akan mencapai kebahagiaan.[5]

Dimulai oleh para filsuf klasik di atas, maka muncullah banyak para pemikir pemikir terkemuka pada abad-abad setelahnya yang buah pikirannya tidak hanya memfokuskan diri pada bagaimana mencapai kebahagiaan individual, tapi juga bagaimana menciptakan suatu sistem komprehensif untuk membuat tata dunia baru. Diharapkan dari sistem baru tersebut, kebahagiaan manusia sebagai suatu individu dan bangsa akan tercapai. Sistem itu bukan hanya mengatur etika bersosial, tapi juga bernegara, berbangsa dan berekonomi. Dari situ munculllah paham-paham seperti Demokrasi dan Komunisme di bidang politik; Kapitalisme dan Sosialisme di bidang ekonomi. .

Di sisi lain, dengan tujuan yang sama yakni untuk menciptakan umat manusia yang dapat hidup bahagia, Allah menurunkan agama Islam. Ada 25 Nabi dan Rasul yang diutus ke dunia untuk menyebarkan Islam. Dan Rasul Allah terakhir adalah Nabi Muhammad dengan mukjizatnya yang tak tertandingi yaitu Al Quran. Sebuah mukjizat yang tiada pernah habis untuk dibahas, diteliti dan dianalisa tidak hanya oleh para pemikir, mujtahid dan ulama muslim; tapi juga oleh para sarjana non-muslim.

Hidup Bahagia adalah Akhlakul Karimah

Islam telah memberi pesan jelas, tegas dan singkat bahwa untuk mencapai kebahagiaan baik yang bersifat pribadi, kelompok maupun umat, satu kata yang diperlukan yaitu akhlakul karimah (QS Al Qalam 68:4). Hal ini dipertegas dengan sabda Nabi yang menyatakan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlakul karimah (innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaq).

Dengan demikian, akhlakul karimah menjadi tema sentral Islam dalam rangka menuju hidup bahagia. Secara garis besar, akhlakul karimah terdiri dari akhlak kepada Allah (QS Ali Imron 2:103), akhlak kepada sesama manusia (QS Ali Imron 2:112) dan akhlak pada diri sendiri (QS At Tahrim 66:6).

Akhlak pada Allah atau hablun min Allah adalah suatu poin penting yang membedakan antara konsep yang ditawarkan Islam dengan teori buatan manusia. Konsep hablun min Allah ini dapat digambarkan bahwa seorang muslim sejak ia lahir sudah menjalani semacam “kontrak sosial” dengan Allah untuk percaya pada keesaan-Nya. Di mana sebagai konsekuensinya, seorang muslim akan menjalankan semua perintah dan menjauhi laranganNya dengan penuh totalitas dan tanpa reserve.[6]

Akhlak pada sesama manusia atau hablun minannas adalah suatu hal yang tak terelakkan. Bahkan, pada dasarnya, hubungan antara sesama umat manusia ini, baik antara sesama muslim maupun dengan nonmuslim, menjadi topik utama ajaran Islam. Tidak hanya itu, standar kesalihan seorang muslim sering diidentikkan dengan satu hal: bahwa kadar keimanan seseorang kepada Allah tergantung seberapa baik relasinya dengan sesama manusia. Seberapa besar manfaatnya kepada manusia lain (QS Ali Imron 3:92).

Akhlak pada diri sendiri ini adalah proses seorang muslim untuk menyucikan diri (QS As Syams 91:9), mereformasi akhlak. Karena, pada dasarnya karakter manusia adalah ibarat bahan mentah yang masih perlu dimasak. Quran bahkan menyatakan bahwa secara naluri dasar, karakter manusia cenderung buruk (QS An Nisa’ 4:127) pada saat yang sama dengan anugerah akal yang diberikan Allah, manusia berkesempatan untuk melakukan pilihan: antara pilihan yang baik dan plihan yang buruk (QS Al Balad 90:9). Dan Allah sudah menegaskan untuk tidak akan merubah keadaan seseorang (kaum) sampai orang itu berusaha merubahnya sendiri (Ar Ra’d 13:11). Dengan mereformasi akhlak pribadi dalam bertindak dan berfikir, diharapkan segala perilaku keislaman seorang menjadi semakin tinggi nilainya karena didasarkan pada motivasi yang benar dan tulus.

Reformasi akhlak inilah yang menjadi bahasan utama buku ini. Semoga kesuksesan dunia dan kebahagiaan akhirat menyertai kita semua. Amin. Wallahu a’lam bisshawab.

[1] Hugh H. Benson, Essays on the Philosophy of Socrates, Oxford University Press, USA (April 16, 1992)

[2] Five Dialogues, Plato, G. M. A. Grube (English version), Hackett Publishing Company, USA; 2nd edition (October 2002)

[3] The Basic Works of Aristotle, Aristotle (Author), Richard McKeon (Editor), Modern Library, USA, (September 11, 2001)

[4] Arthur Waley, The Analects of Confucius, Vintage, USA (August 28, 1989)

[5] Celina Luzanne, Heritage Of Buddha: The Story Of Siddhartha Gautama, Kessinger Publishing, LLC, USA (July 25, 2007)

[6] Fazlur Rahman, Islam, University Of Chicago Press; 2nd edition (August 15, 1979)

Kembali ke Atas