fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Hukum Peringatan Maulid Nabi (1)

hukum maulid nabi

Bid’ah itu baik (4): Peringatan Maulid Nabi (1)
Oleh A. Fatih Syuhud

Peringatan Maulid Nabi Muhammad tidak pernah dilakukan pada era Rasulullah. Juga, tidak pernah dilakukan pada era Sahabat. Oleh karena itu, ketika ada salah satu golongan ekstrim yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi itu termasuk bid’ah, maka tidak perlu ragu untuk mengiyakannya. Ibnu Hajar Al-Asqalani dengan tegas menyatakan, “Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh satupun generasi Salaf dari tiga abad pertama.”[1] Namun demikian, Ibnu Hajar menambahkan bahwa dalam perayaan Maulid terdapat kebaikan dan keburukannya. Barangsiapa yang mengamalkan kebaikan dan menjauhi keburukannya, maka peringatan maulid Nabi adalah bid’ah yang baik.[2]

Awal Mula Peringatan Maulid Nabi

Ada berbagai macam versi mengenai kapan awal mula diadakannya peringatan atau perayaan Maulid Nabi. Al-Muqrizi dalam Al-Khitat menjelaskan bahwa Maulid Nabi mulai tampak dirayakan sejak Dinasti Fatimiyah berkuasa di Mesir pada abad ke-4 hijrah atau abad keduabelas masehi.[3]

Namun, Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 1505M / 911 H) menerangkan bahwa orang yang pertama kali menyelenggarakan maulid Nabi adalah raja Muzhaffar Abu Sa’id Kukburi (w. 1232 M / 630 H).[4] Pendapat lain mengatakan bahwa Shalahuddin Al Ayyubi (w. 1193 M/589 H) adalah yang pertama kali melakukan peringatan Maulid Nabi secara resmi.[5] Pendapat Al-Suyuti ini sama dengan pernytaan Ibnu Katis dalam Al-Bidayah wan Nihayah.[6]

Sementara itu, menurut Abu Syamah[7] pelopor pertama peringatan Maulid Nabi adalah Syaikh Umar bin Muhammad Al-Mala, seorang ulama yang terkenal di Mosul[8]. Al-Mala memperingati Maulid Nabi pertama kali di kota Mosul, Irak.[9] Tradisi ini diikuti oleh muridnya yang kemudian menjadi penguasa Irbil yakni Malik Muzhaffar.[10]

Pendapat Ulama tentang Peringatan Maulid Nabi

Jalaluddin Al-Suyuti (wafat, 911 H/1505 M) menegaskan bahwa perayaan maulid Nabi termasuk bid’ah terpuji. “Ada yang bertanya apa hukum peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal menurut syariah, apakah terpuji atau tercela, apakah pelakunya mendapat pahala atau tidak? Jawabannya menurutku adalah: bahwa asal peringatan maulid Nabi berupa berkumpulnya manusia yang membaca Al-Quran dan riwayat kisah-kisah yang terjadi di masa Nabi, dan tanda-tanda yang terjadi saat kelahiran Nabi, lalu disuguhkan buat hadirin hidangan makanan lalu mereka membubarkan diri tanpa lebih dari itu, maka ini termasuk bid’ah hasanah yang pelakunya mendapat pahala karena telah mengagungkan Nabi dan menampakkan kegembiraan pada kelahirannya.”[11] Alasan As-Suyuthi menganggap sunnah merayakan maulid Nabi karena hukum sunnah itu tidak harus terjadi pada era Nabi, tapi bisa karena qiyas.[12] Menurut Al-Suyuti, hakikat sunnah adalah sesuatu yang dituntut oleh syariah. Oleh karena itu, sunnah itu terkadang berdasarkan nash (teks Quran dan hadits) dan terkadang berdasarkan qiyas (analogi) walaupun tidak ada nash.[13]

Imam Al-Sakhawi (w. 1497 M /902 H)[14] berkata: “Seandainya tujuannya hanyalah merendahkan setan dan kegembiraan ahli iman maka itu sudah cukup. Apabila kaum Nasrani menjadikan kelahiran Nabi mereka sebagai perayaan besar, maka umat Islam lebih berhak dan lebih pantas untuk memuliakan Nabinya. Semoga Allah memberi rahmat pada orang yang menjadikan malam-malam dan hari-hari pada bulan (Rabiul Awal) yang berkah ini sebagai perayaan agar menjadi penyembuh bagi orang yang hatinya sakit.”[15]

Fathullah Al-Bannani (w. 1353 H)[16] menyatakan: “Bid’ah terbaik di zaman kita ini, sebagaimana dikatakan oleh Abu Syamah dan lainnya, adalah perbuatan yang dilakukan setiap tahun bersamaan dengan kelahiran Nabi berupa sedekah, berbuat baik, menampakkan hiasan dan kegembiraan. Hal itu – bersamaan dengan kebaikan pada kaum fakir miskin – menunjukkan kecintaan dan pengagungan pada Rasulullah dalam hati pelakunya dan bersyukur pada Allah atas anugerahnya mengutus Rasulullah sebagai rahmat bagi seluruh semesta alam.”[17]

Al-Qastalani (w. 1517 M/923 H)[18] berkata: Setelah abad ketiga umat Islam selalu merayakan maulid Nabi Muhammad dan melakukan selamatan, bersedekah pada malam harinya dengan berbagai macam sedekah, menampakkan kegembiraan, meningkatkan kebaikan, membaca kisah kelahiran Rasul dan menampakkan keutamaan yang besar dari berkah Nabi.[19]

Ibnu Iyad[20] dalam Rasail Al-Kubro menyatakan: “Adapun peringatan Maulid Nabi hal yang tampak bagiku adalah bahwa ia termasuk dari hari raya umat Islam. (Oleh karena itu) segala hal yang dilakukan di dalamnya terkait dengan konsekuensi perayaan seperti adanya kegembiraan dengan menghidupkan lampu menghibur mata dan pendengaran, berhias dengan pakaian yang bagus dan menaiki kendaraan .. adalah hal yang dibolehkan yang tidak diingkari oleh satupun ulama dengan dasar qiyas (analogi) pada waktu-waktu kegembiraan yang lain.[21]

Kebaikan dari merayakan maulid Nabi dengan tujuan memuliakan Rasulullah juga didukung oleh Ibnu Taimiyah (w. 1328 M/ 728 H), seorang ulama yang pendapat-pendapatnya menjadi panutan kaum Wahabi. Dalam salah satu fatwanya, ia menyatakan: “Mengagungkan maulid Nabi dan menjadikannya sebagai acara rutin yang dilakukan oleh sebagian orang akan mendapat pahala besar karena kebaikan niatnya dan pengagungannya pada Rasulullah.”[22]

Terkait adanya unsur bid’ah dan penyerupaan dengan kaum Nasrani dalam maulid Nabi, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa kemungkinan itu bisa saja terjadi, namun selagi tujuan utamanya adalah pengagungan dan kecintaan pada Rasul, maka pelakunya akan mendapat pahala, “Sebagian manusia mendapat pahala karena merayakan maulid Nabi. Mengadakan suatu hal baru ini mungkin meniru kaum Nasrani dalam merayakan kelahiran Nabi Isa atau karena kecintaan pada Nabi dan mengagungkannya. Allah akan memberi pahala atas kecintaan dan ijtihad ini, tidak atas bid’ahnya.”[23]

Kesimpulan

Peringatan Maulid Nabi Muhammad adalah bid’ah yang baik dan menurut Imam Suyuti hukumnya sunnah berdasarkan pada dalil qiyas. Karena, menunjukkan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah dan mengagungkan diri Rasul – sang pembawa rahmat untuk alam semesta – adalah perbuatan terpuji dan mendapat pahala sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah.[]

Bacaan lanjutan:

FOOTNOTE

[1] Jalaluddin Al-Suyuti dalam Husnul Maqsid fi Amalil Maulid, hlm. 16. Teks asal: أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن السلف الصالح من القرون الثلاثة

[2] Ibid. hlm. 10. Teks lengkap: ولكنها مع ذلك اشتملت على محاسن وضدها، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كانت بدعة حسنة، وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت، وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسألهم، فقالوا: هو يوم أغرق الله فيه فرعون, ونجى موسى، فنحن نصومه شكرا لله، فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما من به في يوم معين من إسداء نعمة، أو دفع نقمة.. إلى أن قال : وأي نعمة أعظم من نعمة بروز هذا النبي.. نبي الرحمة في ذلك اليوم، فهذا ما يتعلق بأصل عمله، وأما ما يعمل فيه: فينبغي أن يقتصر فيه على ما يفهم الشكر لله تعالى من نحو ما تقدم من التلاوة والإطعام والصدقة وإنشاد شيء من المدائح النبوية والزهدية المحركة للقلوب إلى فعل الخير والعمل للآخرة

[3] Al-Muqrizi dalam Al-Khitat, hlm. 1/490. Teks asal: فلما كان أواخر القرن الرابع الهجري وقامت الدولة الفاطمية في مصر ظهر الاحتفال بالمولد النبوي لأول مرة في تاريخ الإسلام.

[4] Jalaluddin Al-Suyuti, dalam Al-Hawi lil Fatawa, hlm. 1/223. Muzhoffar adalah penguasa kawasan Irbil (Irak utara) pada masa Shalahuddin Al Ayyubi. Nama lengkapnya Muzhafaruddin Abu Said Kukburi bin Zainuddin Ali bin Baktakin bin Muhammad.

[5] Dr. Sulaiman bin Salim As Suhaimi dalam Al A’yad wa Atsaruha alal Muslimin, hlm. 285.

[6] Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, hlm. 13/147 memuji raja Muzhaffar sebagai raja yang alim dan adil. Ibnu Katsir menyatakan: كان الملك المظفر يعمل المولد الشريف في ربيع الأول ويحتفل به احتفالاً هائلاً، وكان مع ذلك شهمًا شجاعًا بطلاً عاقلاً عالمًا عادلاً

[7] Syihabuddin Abul Qasim Al-Maqdisi (1202 – 1267 M/ 559 – 665 H) dikenal dengan Abu Syamah Kabirah adalah seorang ulama madzhab Syafi’I yang memiliki keahlian di bidang fiqih, sejarah, bacaan Quran dan Nahwu.

[8] Nama lengkapnya Umar bin Muhammad bin Khidir Al-Irbili Al-Musholi Abu Hafsh Muinuddin dikenal dengan gelar Syaikh Al-Mushol. Ia dikenal sebagai orang pertama yang melaksanakan Maulid Nabi. Ia wafat pada 570 H. Lihat, Al-A’lam, hlm. 8/310; Ibnul Jauzi dalam Mir’atul Jinan, hlm. 5/60.

[9] Mosul adalah kota terkenal di Irak. Lihat, Mujam Al-Buldan, hlm. 5/223.

[10] Abu Syamah, dalam Al-Baits, hlm. 23-24.

[11] Jalaluddin Al-Suyuti dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa hlm. 1/221. Teks asal: فقد وقع السؤال عن عمل المولد النبوي في شهر ربيع الأول ، ما حكمه من حيث الشرع ؟ وهل هو محمود أو مذموم ؟ وهل يثاب فاعله أو لا ؟ الجواب : عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلم وما وقع في مولده من الآيات ، ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك – هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلم وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف

[12] Ibid., hlm. 1/225.

[13] Ibid, hlm. 1/226.

[14] Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman Al-Sakhawi (1428- 1497 M/831 – 902 M) adalah seorang ulama ahli hadits, ahli tafisr dan sejarawan madzhab Syafi’i. Ia lahir di Kairo Mesir, dan wafat di Madinah, Arab Saudi.

[15] Jalaluddin Al-Suyuti, Husnul Maqsid fi Amalil Maulid, hlm. 16. Teks asal: ولو لم يكن في ذلك إلا إرغام الشيطان وسرور أهل الإيمان من المسلمين لكفى وإذا كان أهل الصليب اتخذوا مولد نبيهم عيدا أكبر فأهل الإسلام أولى بالتكريم وأجدر فرحم الله امرءا اتخذ ليالي هذا الشهر المبارك وأيامه أعيادا لتكون أشد علة على من في قلبه أدنى مرض وأعيا داء

[16] Fathullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdussalam Abul Fadhal Bannani adalah ulama ahli fiqih madzhab Maliki dan seorang tokoh sufi tarikat Syadziliyah. Ia lahir di Rabat 1281 H dan wafat pada 1353 H. Lihat, Khairuddin Al-Zarkali dalam Al-A’lam, hlm. 5/134.

[17] Jalaluddin Al-Suyuti, ibid. Teks asal: إن أحسن ما ابتدع في زماننا هذا – كما قال الإمام أبو شامة وغيره – ما يفعل كل عام في اليوم الذي يوافق مولده صلى الله عليه وسلم من الصدقات والمعروف وإظهارالزينة والسرور فإن ذلك – مع ما فيه من الإحسان إلى الفقراء – مشعر بمحبة النبي صلى وسلم وتعظيمه في قلب فاعل ذلك وشكر الله تعالى على ما من به إيجاد رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي أرسله رحمه للعالمين

[18] Syihabuddin Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar Al-Qastalani Al-Qutaibi Al-Syafi’i juga dikenal sebagai Al-Qastalani adalah ulama ahli hadits dan aqidah bermadzbah Syafi’i. Ia lahir di Kairo Mesir pada 1447 M/ 851 H dan wafat di kota yang sama pada 1517 M/923 H. Karya magnum opus-nya antara lain Irsyadus Sari li Syarhi Sahih Al-Bukhari (10 jilid).

[19] Jalaluddin Al-Suyuti, ibid, hlm. 17.

[20] Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Said bin Abu Zaid bin Iyad Al-Andalusi adalah ulama ahli hadits dan qari. Beberapa karyanya antara lain Syarah Al-Muntaqi li Ibni Al-Jarud, Syarah Kitab Al-Syihab, Al-Kifayah fi Maratib Al-Riwayah, Al-Arbain fil Jisyr, Al-Arbain fi Al-Ibadat. Ia berguru pada Abu Abdillah bin Abu Ishaq, Ibnu Hudzail dan Abu Marwan bin Shaiqal. Lihat, Al-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala, hlm. 21/181.

[21] Al-Syinkiti dalam Adwa’ul Bayan fi Idah Al-Quran bil Quran, hlm. 7/374. Teks asal: وأما المولد فالذي يظهر لي أنه عيد من أعياد المسلمين وموسم من مواسمهم ، وكل ما يفعل فيه مما يقتضيه وجود الفرح والسرور بذلك المولد المبارك من إيقاد الشمع وإمتاع البصر والسمع والتزين بلبس فاخر الثياب وركوب فاره الدواب – أمر مباح لا ينكر على أحد قياسا على غيره من أوقات الفرح

[22]Ibnu Taimiyah dalam Iqtishad Al-Shirat al-Mustaqim, hlm 297. Teks asal: فتعظيم المولد واتخاذه موسماً قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعظيمه لرسول الله صلّىالله عليه وسلّم

[23] Ibid. Teks asal: قد يُثاب بعض الناس على فعل المولد ، وكذلك ما يحدثه بعض الناس إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام وإما محبة للنبي صلّىالله عليه وسلّم وتعظيما له ، والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد لا على البدع . Lihat juga: Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, dalam Haula Al-Ihtifal Bidzikra Maulid A-Nabi Al-Syarif.

Kembali ke Atas