Istri Sang Kyai
Istri kyai, dai, ulama, ustadz, tuan guru, biasanya wanita berpendidikan. Mereka juga biasanya bekerja di rumah membuat usaha sendiri, berwiraswasta. Umumnya kyai memilih istri berdasarkan pada faktor agama, nasab dan pendidikan dan yang terakhir baru tampilan fisik yang menarik. Namun, saat ini tidak sedikit para ustadz selebritis yang sering tampil ceramah di TV yang memilih istri dari kalangan artis. Ini tren yang kurang baik bagi kelompok yang diharapkan lebih mengedepankan akhlak dan nilai-nilai esoteris yang substantif daripada yang bersifat materi.
Istri Sang Kyai
Oleh A. Fatih Syuhud
Kyai adalah sebutan untuk figur ulama yang dikenal tinggi keilmuannya di bidang agama. Dalam kesehariannya ia biasanya dikenal sebagai pengasuh pesantren, penceramah, atau tokoh agama. Kyai disebut juga dengan panggilan ustadz, buya, tuan guru atau syeikh terutama di daerah luar Jawa. Istri kyai di Jawa biasa disebut dengan Nyai atau Bu Nyai.
Sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama dan komitmen mengamalkan syariah Islam, maka kiai menjadi figur panutan dan tempat bertanya kalangan awam. Istri kyai pun ketularan berkah mendapatkan perlakuan yang sama dari masyarakat. Padahal, istri seorang kyai belum tentu seahli suaminya dalam ilmu agama dan belum tentu sekomitmen suaminya dalam mengamalkan syariah Islam.
Memang umumnya istri seorang kyai berperilaku tidak jauh dari suaminya yakni menjadi figur teladan dan tempat mengadu wanita muslimah. Namun, tidak sedikit juga istri kyai yang kurang layak menjadi panutan karena perilaku kesehariannya yang kurang sesuai dengan standar syariah dan etika sosial masyrakat. Dalam hal ini, maka menjadi kewajiban suaminya untuk tidak lupa mendidik istrinya terlebih dahulu karena pendidikan keluarga harus menjadi prioritas utama sebelum mendidik masyarakat (QS At Tahrim 66:6 ).
Sebagai pemimpin yang menjadi panutan, maka seorang kyai dalam mendidik istrinya hendaknya tidak hanya berpatokan pada ajaran syariah minimal yakni terkait halal dan haram saja, tapi juga harus mengacu pada standar moral ideal yang lebih tinggi baik dari sudut pandang agama, etika sosial yang berlaku di masyarakat, maupun tata nilai ideal universal (universal values). Beberapa ciri khas perilaku dan kepribadian yang harus dimiliki figur yang menjadi panutan antara lain:
Pertama, sederhana. Istri kyai, seperti juga suaminya, harus komitmen pada gaya hidup yang sederhana walaupun mungkin dia seorang yang kaya raya yang mampu membeli apapun di dunia. Kesederhanaan meliputi pakaian yang dikenakan, perhiasan yang dipakai, mobil yang dikendarai, rumah yang dihuni, dan prioritas berbelanja. Budaya konsumtif dan mewah adalah gaya hidup yang buruk tidak hanya menurut Islam tapi juga menurut etika universal. Adalah sangat tidak pantas apabila seorang kyai dan istrinya menganut gaya hidup mewah sementara menasihati masyarakat awam untuk hidup sederhana, qanaah dan tawakal. Hidup mewah dilarang dalam Islam (QS Saba 34:34 ) dan harus dijauhi karena ia akan menjadi biang keladi dari banyak penyakit hati dan perilaku seperti keras kepala, tamak, pelit (QS An Nisa 4:37), dan tak peduli sesama. Seorang yang sederhana tidak hanya tampak dari tampilan luar, tapi juga dari gaya bertutur.
Kedua, pintar. Pintar tidak harus identik dengan level pendidikan formal yang ditempuh. Tapi dari seberapa banyak ia membaca bacaan yang bermanfaat. Presiden Abdurrahman Wahid dan Buya Hamka adalah dua dari sekian banyak orang yang sangat pintar yang diakui kualitas ilmunya secara internasional walaupun mereka tidak memiliki ijazah formal tingkat sarjana. Artinya, kyai harus terus mendidik istrinya untuk rajin membaca dan mengurangi nonton sinetron agar wawasannya luas. Sebab, wawasan yang luas akan berpengaruh pada kepribadian dan gaya hidup dan cara berbicara. Istri kyai yang tidak pintar akan cenderung feodal, sombong dan tak acuh layaknya istri seorang raja jaman dahulu. Dan wanita yang sombong tak layak menjadi istri kyai panutan masyarakat. Sebaliknya, seorang Bu Nyai justru harus menjadi sosok wanita muslimah yang paling sopan dan tawadhu’ di dunia
Ketiga, ramah dan egaliter. Seorang Bu Nyai harus memiliki watak ramah dan merakyat dan menjauhi perilaku priyayi yang sombong. Sebagai istri pemimpin masyarakat, ia akan dicintai lingkungannya apabila ia memberi cinta yang sama pada mereka dalam tiindakan dan ucapan. Nyai yang sok priyayi dan kolokan hanya akan menjadi bahan cibiran masyarakat dan santrinya dan hal itu dapat mengurangi reputasi suaminya
Tiga poin di atas hendaknya menjadi poin evaluasi bagi kyai terhadap istrinya dan bagi istri kyai itu sendiri.[]