fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Solusi Konflik (2): Jangan Bercanda dengan Kata Cerai

Solusi Konflik (2): Jangan Bercanda dengan Kata Cerai
Oleh A. Fatih Syuhud

Dalam aturan syariah Islam, seorang suami tidak boleh main-main mengobral kata “talak”, “cerai”, “pisah” dan semacamnya. Karena kata itu mempunya efek dan konsekuensi hukum. Yakni, terjadinya perceraian atau talak walaupun suami beralasan bahwa kata itu dia ucapkan hanya untuk main-main, tanpa ada niat cerai. Dalam sebuah hadits sahih Rasulullah bersabda: ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ : النِّكَاحُ ، وَالطَّلَاقُ ، وَالرَّجْعَةُ. Ada tiga hal yang serius dan candanya sama-sama dianggap serius yaitu nikah, talak dan rujuk. Dalam hadits lain Nabi bersabda: “Ada tiga hal yang tidak boleh dibuat canda yaitu nikah, talak dan memerdekakan budak.”

Arti hadits ini adalah bahwa kata cerai yang diucapkan secara bercanda tanpa niat cerai itu akan terjadi talak. Berkaitan dengan hadits tersebut Al-Khattabi mengatakan kesepakatan ulama bahwa kata talak yang eksplisit (sharih) yang keluar dari mulut seorang suami yang berakal sehat maka perceraian itu terjadi. Dan tidak ada gunanya sanggahan suami yang mengatakan setelah itu bahwa dia hanya bermain-main dan tidak berniat untuk talak. Perceraian juga terjadi apabila suami mengucapkan kata cerai saat dia sedang mabuk atau marah. Baik mabuknya mencapai tingkatan seperti orang gila atau mabuk yang setengah sadar.

Kata cerai juga sering terjadi keluar dari mulut suami yang sedang marah dan bertengkar dengan istrinya. Sebagaimana cerai yang diucapkan dalam keadaan normal, perceraian pun terjadi apabila diucapkan saat marah. Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk Syarah Muhadzab XVI/68 menyatakan: “Talak itu terjadi dalam keadaan normal, marah, serius atau bercanda.” Al-Malibari dalam kitab Fathul Muin mengatakan bahwa ulama dalam madzhab Syafi’i sepakat atas terjadinya talak yang diucapkan suami saat marah. Al-Bakri Ad-Dimyati dalam I’anah At-Talibin ala Halli Alfadzi Fathil Muin IV/9 menambahkan bahwa ucapan cerai saat marah itu terjadi kecuali apabila kemarahan yang sangat sampai terjadi hilang akal. Dalam kasus seperti ini, maka ia disamakan dengan orang gila dan orang yang dipaksa (al-mukroh) yang ucapan talaknya tidak dianggap. Perlu juga diketahui bahwa kata “cerai” yang berakibat perceraian apabila diucapkan oleh suami. Bukan oleh istri.

Terlepas dari itu semua, ada beberapa hal yang dapat diambil pelajaran dari masalah ini, pertama, saat terjadi konflik dengan istri, usahakan agar suami tidak mengeluarkan sepatah katapun yang akan menyakitkan hati istri. Yang paling utama, jangan ucapkan kata “cerai” dan semacamnya karena selain akan menyakitkan juga akan berdampak hukum perceraian secara syariah walaupun belum keluar akta cerai resmi dari Pengadilan Agama. Kecuali kalau suami memang berniat secara sadar untuk menceraikan istri.

Kedua, lakukan langkah preventif untuk menghindari pertengkaran. Kalau istri telah bertindak dan berperilaku sesuai dengan syariah, maka tidak ada alasan bagi suami untuk menceraikannya. Kalau masih terjadi ketegangan dan konflik, maka hendaknya kedua fihak saling introspeksi diri dan berkomitmen untuk selalu menjaga mulut dan perilaku agar tidak saling menyakiti. Komitmen kedua fihak ini merupakan langkah awal yang tepat yang harus diikuti oleh langkah realisasinya.

Ketiga, suami atau istri yang memiliki pembawaan temperamental atau pemarah hendaknya mengimbangi sikapnya dengan meminta maaf apabila melakukan kesalahan.

Intinya, dalam keadaan apapun; bercanda atau serius, hindari mengobral kata cerai. Karena, suami berhak menggunakan kata itu hanya tiga kali. Setelah itu, ia tidak boleh lagi rujuk pada istri kecuali setelah istri menikah dengan lelaki lain. Selain itu, mengobral kata cerai bukanlah kebiasaan yang sehat dalam kehidupan berumah tangga.[]

Kembali ke Atas