fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Al-Quran dan Sunnah sebagai Sumber Utama Syariah Islam

Quran dan Sunnah sumber utama syariah Islam

Al-Quran dan Sunnah sebagai Sumber Utama Syariah Islam

Walaupun Al-Quran dan Sunnah merupakan sumber utama syariah Islam,[1] namun umum diketahui di kalangan ulama fuqaha bahwa seorang mujtahid, atau siapapun itu, tidak bisa dan tidak boleh langsung mengutip suatu nash (ayat Al-Quran atau hadits) dan mengeluarkan suatu kesimpulan hukum darinya sebelum dilakukan penelitian secara menyeluruh atas nash tersebut dan membandingkannya dengan sejumlah nash terkait lainnya. Baik nash Quran atau Sunnah.  Dalam tulisan ini, kata sunnah dan hadits ditulis secara berkelindan (interchangeable) dengan makna yang sama (muradif). Sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath al-Bari.[2] Namun, kata sunnah terkadang juga digunakan dalam tulisan ini sebagai lawan kata dari makruh yang memiliki makna sama dengan mustahab dan mandub.  Dan termasuk salah satu dari lima hukum taklifi.

Baca: Sumber hukum fikih Mazhab Empat

  1. Mengutip nash hukum langsung berpotensi salah dan menyesatkan

Pengambilan satu nash secara langsung tanpa mempertimbangkan korelasinya dengan nash terkait yang lain akan sangat berpotensi terjadinya kesalahan fatal dalam pengambilan hukum.  Ibnu Wahb  (w. 813 M/197 H) seorang muhaddits di era Imam Maliki berkata: “Setiap ahli hadis yang tidak punya imam dalam ilmu fikih maka dia tersesat. Seandainya Allah tidak menyelamatkan kita dengan adanya Imam Malik dan Laits, niscaya kita tersesat”.[3]

Pandangan Ibnu Wahb ini bisa dimaklumi dalam konteks di mana pada masanya belum ada sistematika yang baku, yang kelak disebut dengan ushul fiqh, dalam pengambilan hukum syariah. Ar-Razi menggambarkan situasi sebelum era Imam Syafi’i (820 M/204 H): “Ulama fikih pada masa sebelum Syafi’i terbagi menjadi dua golongan yaitu ashabul hadits (ahli hadits) dan ashabur ra’yi (ahli opini). Ahli hadits adalah mereka yang banyak hafal hadits Nabi hanya saja mereka tidak mampu beropini dan berargumen. Ketika ashabur ra’yi mengajukan permasalahan pada ahli hadits, mereka tidak mampu menjawabnya. Sebaliknya, ashabur ra’yi memiliki keahlian dalam beropini dan berargumen hanya saja mereka lemah pada atsar dan sunnah. Imam Syafi’i menguasai kedua bidang tersebut sehingga mampu menjawab permasalahan hukum secara komprehensif dan meyakinkan.”[4]

  1. Lima Hukum Taklif (al-ahkam al-taklifiyah al-khomsah)

Pengambilan hukum langsung dari nash oleh orang awam di bidang ulum al-syariah tidak dimungkinkan, dan berpotensi besar menyesatkan, salah satu sebabnya adalah karena dalam khitab syar’i yang terdapat dalam nash terbagi jadi lima yang dikenal dengan al-ahkam al-taklifiyah al-khomsah atau hukum taklif yang lima. Yaitu, wajib/fardhu, haram, sunnah, makruh dan mubah.[5] Kelima kategori hukum ini tidak disebut secara eksplisit dalam nash al-Quran dan Sunnah. Kecuali sebagian kecil ayat yang menyebutkan kata wajib dan haram.[6] Namun ia ada dalam ijtihad para fuqaha atas penelitian mereka pada berbagai nash. Tentu saja kesimpulan hukum tersebut baru diambil setelah mempertimbangkan berbagai aspek dalam redaksi dan ibarot nash al-Quran dan Sunnah.

Misalnya, seperti diketahui bahwa kalimat dalam sebuah teks itu adakalanya berupa thalab (fi’il amar atau fi’il nahi) atau takhyir (pilihan). Apabila berupa thalab maka ia meliputi perintah untuk melakukan (thalab al-fi’li) untuk fi’il amar atau perintah meninggalkan (thalab al-tarki) untuk fi’il nahi. Thalab al-fi’li terkadang bersifat tegas atau tidak tegas. Yang tegas dihukumi wajib sedangkan yang tidak tegas dihukumi mandub. Adapun thalab al-tarki juga adakalanya tegas dan tidak tegas. Yang tegas dihukumi haram kalau dilakukan, yang tidak tegas dihukumi makruh apabila dilakukan. Sedangkan apabila khitab syar’i itu berupa pilihan (takhyir), maka dihukumi mubah.[7]

Wajib dalam konteks ini bermakna mendapat pahala apabila dilakukan dan berdosa apabila ditinggal. Sebaliknya, haram berarti berdosa kalau dilakukan. Sunnah atau mandub dalam istilah ini adalah mendapat pahala apabila dilaksanakan tapi tidak berdosa apabila ditinggalkan. Kebalikan dari sunnah adalah makruh. Adapun mubah bermakna boleh dilakukan dan boleh juga ditinggalkan.[8]

  1. Ilmu ushul fiqh dan istinbath al-hukm

Aktivitas mujtahid dalam menghasilkan hukum syariah yang bersumber dari sejumlah nash dan sumber dalil yang lain ini disebut istinbath al-hukm.[9] Dan ilmu yang digunakan dalam memandu hal ini adalah ushul al-fiqh.[10] Di kalangan ulama fuqaha, umum diketahui bahwa pencetus ilmu ushul fiqh adalah Imam Syafi’i. Dan kitabnya Al-Risalah dianggap sebagai kitab pertama yang secara sistematis membahas soal ini secara komprehensif.[11] Al-Razi bahkan menyatakan bahwa “kepeloporan Imam Syafi’i pada ilmu syariah sama dengan kepeloporan Aristoteles pada ilmu filsafat.”[12] Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/866 M), pendiri mazhab Hanbali, menegaskan: “Tanpa Syafi’i niscaya kita tidak akan mengetahui fikih hadis.”[13]

Pentingnya pemahaman ilmu ushul fiqih dalam proses istinbath hukum salahsatunya dikarenakan adanya kompleksitas antara Al-Quran dan Sunnah. Di mana tidak jarang terdapat nash yang terkesan saling bertentangan antara Quran dan Sunnah. Bahkan antara Quran dengan Quran dan sunnah dengan sunnah itu sendiri.  Imam Syafi’i bahkan menulis kitab khusus dalam soal ini dengan judul Ikhtilaf al-Hadits yang berisi tentang  berbagai hal terkait hadits. Termasuk cara menyikapi berbagai bentuk perbedaan antara satu nash dengan nash yang lain.[14]

  1. DERAJAT AL-QURAN DAN SUNNAH

Al-Quran secara eksplisit menegaskan untuk selalu menaati Rasulullah sebagaimana wajibnya taat pada Allah.[15] Mengamalkan apa yang diperintah Nabi dan menjauhi yang dilarangnya.[16] Dan menjadikannya sebagai teladan yang baik (uswah hasanah)[17]. Ketiga ayat ini, dengan demikian, menjadikan Sunnah sebagai sumber utama kedua dari syariah Islam. Keduanya sebagai sumber hukum syariah tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Sunnah, menurut Imam Syafi’i, adalah sejajar dengan Al-Quran dalam segi sebagai sumber primer syariah. Dengan syarat status haditsnya sahih. Al-Syafi’i menyatakan: “Ilmu itu memiliki beberapa level. Level pertama, Al-Quran dan Al-Sunnah yang sahih.”[18] Ini penegasan bahwa Al-Quran dan Sunnah memiliki derajat yang sama sebagai dalil hukum utama.

Dalam konteks inilah, Imam Syafi’i membuat sistematika komprehensif terkait apabila terjadi perbedaan antara hadits dengan Al-Quran dan hadits dengan hadits yang lain. Di mana perbedaan itu bukan untuk menegasikan satu sama lain melainkan memiliki fungsi positif yang meliputi antara lain  a) Sunnah menjadi penguat pernyataan hukum dalam Al-Quran, b) menjabarkan  pernyataan Al-Quran yang bersifat umum (mujmal) atau c) hadits yang mujmal ditakhsish oleh Al-Quran, d) mentarjih kandungan Al-Quran yang ambigu, e) hadits menasakh Sunnah yang lain, dan lain-lain. Tulisan ini dibatasi pembahasannya hanya pada peran dan hubungan antara dua sumber utama syariah yaitu Al-Quran dan Sunnah atau al-Quran dan hadits dari perspektif Imam Syafi’i. Yang dimaksud Sunnah atau hadits di sini adalah hadits yang sahih saja. Karena, hadits dhaif disepakati tidak bisa dijadikan argumen hukum syariah.[19]

  1. PENJELASAN SUNNAH MENYERTAI PENJELASAN AL-QURAN

Apa kandungan   yang terdapat dalam Sunnah sesuai dengan pernyataan dalam Al-Quran. Maka, di sini fungsi Sunnah adalah menguatkan pernyataan yang ada dalam Al-Quran. Misalnya,  dalam QS Al-Maidah 5:6 Allah berfirman:

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ، وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ  وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ، وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا

“Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka bersucilah.”

Pada ayat di atas terdapat tiga poin pernyataan, yaitu, a) yang hendak shalat harus suci dari hadas, b) wudhu sebagai cara bersuci untuk shalat dan c) orang junub harus bersuci (apabila hendak shalat). Tidak dijelaskan secara spesifik bagaimana cara bersuci bagi orang junub. Dan itu menimbulkan dugaan bahwa caranya adalah dengan berwudhu sebagaimana dijelaskan di awal ayat. Namun pada QS An-Nisa 4:43 Allah berfirman:

وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

“(Jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.”

Ayat kedua ini menjelaskan keraguan kita tentang cara bersucinya orang junub yaitu dengan cara mandi. Bukan wudhu.[20] Dalam ilmu ushul fiqh ini termasuk dalam kategori tafsir Quran bil Quran (menafsiri Al-Quran yang bersifat umum dengan ayat lain yang bersifat khusus).

Sejumlah hadits menguatkan kedua ayat di atas di mana Rasulullah melakukan praktik cara berwudhu sebagaimana dijelaskan dalam QS Al-Maidah 5:6 dengan cara yang lebih rinci namun juga agak membingungkan apabila hanya mengambil pemahaman dari satu hadits saja. Ada beberapa hadis terkait soal wudhu ini: pertama, hadits yang diriwayatkan oleh lima imam hadits tentang cara Rasulullah dalam berwudhu dan berapa kali basuhan pada setiap anggota wudhu:[21]

أخْبَرنا “مالك عن عمرو بن يحيى” عن أبيه، أنه قال “لعبد الله بن زيد”، وهو جد “عمرو بن يحيى”: ” هَلْ تَسْتَطِيعُ أنْ – تُرِيَنِي كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللهِ يَتَوَضَّأُ؟ فَقَالَ “عَبْدُ اللهِ”: نَعَمْ، فَدَعَا بِوَضُوءٍ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ، فَغَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا، ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إلَى المِرْفَقَيْنِ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ بِيَدَيْهِ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ، ثُمَّ ذَهَبَ بِهِمَا إلَى قَفَاه، ثُمَّ رَدَّهُمَا إلَى المَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ “

“Sahabat Abdullah bin Zaid mengisahkan cara Rasulullah berwudhu: membasuh kedua tangan dua kali, lalu berkumur dan istintsar tiga kali, membasuh wajah tiga kali, membasuh kedua tangan dua kali dua kali sampai kedua siku, mengusap kepala dengan kedua tangan ke arah depan dan belakang, memulai kepala bagian depan lalu menggerakkannya sampai ke tengkuk lalu kembali menggerakkan tangan ke posisi awal, lalu membasuh kedua kaki.”

Kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh empat  Imam hadits tentang jumlah basuhan pada anggota wudhu yang berbeda dengan hadits pertama:[22]

أخْبَرَنا “عبد العزيز بن محمد” عن “زيد بن أسْلَمَ” عن “عطاء بن يَسَارٍ” عن “ابن عباس” عن النبي: ” أنَّهُ تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً

“Ibnu Abbas menyatakan bahwa Nabi berwudhu (dengan membasuh anggota wudhu) masing-masing satu kali.”

Ketiga, hadits riwayat Bukhari & Muslim, dll:

 من توضأ مثل وضوئي هذا، ثم صلى ركعتين لا يحدث فيهما نفسه، غفر له ما تقدم من ذنبه

“Sesiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, yakni tiga kali basuhan, lalu shalat dua rakaat di mana dia tidak berbicara pada diri sendiri pada saat shalat, maka diampuni dosanya di masa lalu.”[23]

Dari dua ayat dan tiga hadits di atas, Imam Syafi’i menjelaskan analisa dan kesimpulan hukumnya sebagai berikut: pertama, terkait berapa kali basuhan dalam wudhu:

فَكان ظاهِرُ قولِ الله: (فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ) ، أقلَّ ما وَقع عليه اسم الغَسْل، وذلك مَرَّةٌ، واحْتَملَ أكثرَ.فسَنَّ رسولُ الله الوُضوءَ مَرَّةً، فَوافَقَ ذلك ظاهرَ القُرَآن، وذلك أقلُّ ما يَقع عليه اسمُ الغَسْل، واحتمل أكثر، وسنَّهُ مَرَّتَيْن وثلاثاً.فلمَّا سنَّهُ مرة استدللنا على أنَّه لوْ كانتْ مرَّةٌ لا تُجْزِئ: لم يتوضأْ مرةً ويُصَلي، وأنَّ ما جاوَزَ مرةً اخْتِيَارٌ، لا فرضٌ في الوضوء لا يجزئ أقلُّ مِنْه.

“Pemahaman eksplisit dari ayat ‘basuhlah wajahmu’ adalah terjadinya basuhan minimal. Yaitu satu kali. Tapi ada kemungkinan lebih dari satu kali. Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, memberi contoh dengan melakukan wudhu satu kali basuhan. Hal ini sesuai dengan pemahaman dasar minimal dari membasuh dalam QS Al-Maidah 5:6. Namun tetap terbuka kemungkinan lebih dari satu kali basuhan. Dan itu terkonfirmasi dalam hadits yang lain di mana Nabi memberi contoh terjadinya basuhan dua kali dan tiga kali. Ketika Nabi membasuh satu kali, maka kita menjadikannya dalil bahwa seandainya membasuh satu kali itu tidak cukup niscaya Nabi tidak membasuh satu kali lalu shalat. Sedangkan basuhan yang melebihi satu kali itu adalah opsional. Bukan wajib dalam wudhu sehingga menyebabkan tidak sah kalau kurang dari itu.”[24]

Kedua, timbul pertanyaan, kalau satu kali basuhan saja sah, lalu apa kedudukan basuhan yang dua kali atau tiga kali yang dilakukan Nabi? Apakah sunnah, mubah atau makruh? Imam Syafi’i menjelaskan: “Wudhu terkait basuhan Rasulullah sebanyak tiga kali adalah opsional. Tidak wajib. Adapun terkait hadits ketiga maka yang dimaksud adalah apabila mengharap keutamaan dengan menambah basuhan. Jadi, tambahan basuhan dalam hal ini adalah nafilah (mustahab).”[25] Hadits-hadits sahih yang dikutip di atas, dalam istilah Imam Syafi’i, berfungsi sebagai bayan al-sunnah ma’a bayan al-Quran atau penjelasan hadits menyertai penjelasan Al-Quran. Sebagian ulama ushul fiqh menyebut fungsi ini dengan istilah bayan al-ta’kid (penjelasan untuk menguatkan).[26]

  1. PENJELASAN HADITS ATAS AL-QURAN YANG MUJMAL

Perintah dalam Al-Quran terkadang dalam bentuk umum (mujmal). Tidak spesifik. Dalam konteks ini, maka hadits biasanya menjadi penjelas yang menjabarkan secara detail maksud dari perintah tersebut. Contoh paling menonjol adalah terkait tiga rukun Islam yaitu tentang wajibnya shalat, zakat dan haji. Dalam QS An-Nisa 4:103 Allah berfirman:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya.”

Dalam QS Al-Baqarah 2:43 Allah memerintahkan shalat dan zakat:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat”

Dalam QS Al-Taubat 9:103 Allah memerintahkan NabiNya untuk mengambil zakat harta kaum muslimin:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.”

Dalam QS Ali Imran 3:97 Allah berfirman tentang wajibnya haji

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنْ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

Imam Syafi’i kemudian mengutip beberapa hadits yang menjelaskan secara lebih rinci tatacara dari perintah Al-Quran di atas: “Semua ayat di atas menegaskan wajibnya shalat, zakat dan haji secara umum (mujmal) tanpa penjelasan lebih lanjut tentang tatacaranya secara lebih detail. Dan dalam hal ini, aturan teknisnya  dapat dipahami dari sejumlah hadits yang relevan. Imam Syafi’i menyatakan: “Allah menghukumi wajibnya shalat, zakat dan haji dalam Al-Quran. Lalu melalui lisan Nabi-Nya menjelaskan tatacaranya. Nabi mengabarkan, melalui sunnahnya, bahwa jumlah shalat fardhu itu ada lima. Dan bahwa jumlah shalat zhuhur, ashar dan isya di ruma itu empat rakaat dan jumlah rakaat maghrib itu tiga rakaat sedangkan shalat subuh itu dua rakaat. Sunnah juga mengajarkan waktu mengeraskan suara (jahar) dalam membaca al-fatihah pada shalat maghrib, isya’ dan subuh dan memelankan suara bacaan pada waktu shalat zhuhur dan ashar. Nabi juga mengajarkan bahwa wajib membaca takbir saat mengawali setiap shalat dan mengakhirinya dengan salam. Dan bahwa shalat itu diawali dengan takbir, disusul dengan membaca al-fatihan, rukuk, dua sujud setelah rukuk dan seterusnya. Nabi juga mengajarkan tatacara shalat safar secara qashar untuk shalat yang asalnya empat rakaat sebagai pilihan bagi musafir. Sedangkan shalat maghrib dan subuh tetap seperti saat di rumah. Semua shalat dilakukan dengan menghadap kiblat. Baik musafir atau mukim kecuali dalam keadaan takut. Nabi juga mengajarkan shalat nawafil sama dengan fardhu dalam arti tidak sah kecuali dalam keadaan suci. Dan tidak boleh kecuali dengan membaca al-fatihah. Apapun yang dibolehkan dalam shalat wajib seperti sujud, rukuk, menghadap kiblat di rumah dan di perjalangan. Dan bahwa orang yang naik kendaraan boleh shalat sunnah menghadap ke manapun di atas kendaraannya tanpa harus menghadap kiblat.”[27]

  1. MENTAKHSISH SUNNAH DENGAN AL-QURAN

Kandungan hadits terkadang bersifat umum (mujmal). Namun yang dimaksud sebenarnya adalah khusus. Kekhususan itu terkadang bisa diketahui dari hadits yang lain. Namun ada juga karena  ditakhshish oleh al-Quran. Misalnya dalam contoh berikut: pertama, dalam QS An-Nisa 4:176 Allah berfirman:

يَسْتَفْتُونَكَ. قُلْ: اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ، إِنْ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ، وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah : “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya,”

Kedua, dalam QS An-Nisa 4:7 Allah berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ، وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”

Ketiga, dalam QS An-Nisa 4:11-12 Allah berfirman:

وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ، فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ. آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنْ اللَّهِ. إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (11) وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ، فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمْ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ  وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِن لَّمْ يَكُن لَّكُمْ وَلَدٌ …(12)

“Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (4:11)

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak…”

Pada tiga ayat di atas, Al-Quran menjelaskan secara rinci sistem hukum waris Islam. Sementara itu, sejumlah hadits terkait waris justru hanya membahas waris secara umum. Misalnya, hadits tentang beda agama tidak saling mewarisi:

لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَلاَ الكَافِرُ المُسْلِمَ

“Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, orang kafir tidak mewarisi orang muslim.”[28]

Dan hadits pembunuhan menghalangi warisan:

عن يحيى بن سعيد عن عمرو بن شُعَيْبٍ، أنَّ رسول الله قال: ليس لقاتل شيء

“Pembunuh tidak mendapat warisan (dari harta pewaris yang dibunuhnya).”[29]

Imam Syafi’i menjelaskan: “Pembunuh tidak mendapat warisan dari orang yang dibunuh. Ini merupakan kondisi paling ringan sebagai hukuman bagi pembunuh yang secara sengaja melakukan pembunuhan dengan tercegahnya dia mendapat warisan karena telah berbuat dosa membunuh.  Apa yang saya sebutkan tentang seorang muslim pewaris tidak mewariskan hartanya kecuali pada ahli waris muslim yang merdeka yang bukan pembunuh. Ini adalah hukum yang disepakati ulama.”[30]

  1. MENTAKHSISH AL-QURAN DENGAN AL-QURAN DAN HADIS SEKALIGUS

Ketika terjadi ada nash Al-Quran mengandung makna yang umum, maka ada kalanya ia ditakhshish dengan ayat Al-Quran yang lain ditambah dengan takhshish dari Sunnah. Contohnya sebagaimana yang terdapat dalam QS An-Nur 24:2

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”

Dan QS An-Nisa 4:25

فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنْ الْعَذَابِ

“Kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”

Pada ayat pertama (QS An-Nur 24:2) membahas tentang hukuman cambut bagi pezina. Baik laki-laki atau perempuan. Ayat ini termasuk kategori umum karena tidak menyebutkan apakah pezina yang dihukum cambuk itu perawan/perjaka atau janda/duda. Keumuman itu kemudian ditakhshish pada ayat kedua (QS An-Nisa 4:25) di mana dinyatakan bahwa wanita muhshon (yang bersuami) yang berzina mendapat hukuman yang berbeda. Itu artinya, hukum cambut pada ayat pertama dikhususkan untuk wanita yang tidak bersuami.

Takhshish tersebut juga diperkuat oleh sejumlah hadits sebagaimana diturkan oleh Imam Syafi’i berikut: “Nash Al-Quran di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud dicambuk 100 kali itu adalah wanita merdeka dan bukan janda. Dan ketika, diriwayatkan dalam hadits, bahwa Rasulullah pernah merajam janda yang berzina, dan tidak menyambuknya, maka yang dimaksud dengan dicambut 100 kali karena zina itu adalah wanita merdeka dan tidak bersuami.”[31]

  1. MENTARJIH MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM AL-QURAN DENGAN SUNNAH

Sunnah di sini berfungsi untuk mentarjih ayat Al-Quran yang memiliki pengertian yang ambigu. Misalnya, dalam QS Al-An’am 6:145 Allah berfirman:

قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.”

Ayat yang membahas tentang haramnya makanan ini, menurut Imam Syafi’i, memiliki asumsi dua pengertian. Pertama, makanan haram yang dimaksud pada ayat ini hanya berlaku pada makanan yang ditanyakan pada Rasulullah pada saat itu. Tidak yang lain. Kedua, ada kemungkinan makanan yang dimaksud adalah semua jenis makanan.[32] Di sini perlu sumber lain yang bisa memastikan atau mengunggulkan salah satu dari dua kemungkinan tersebut. Dan yang bisa mentarjih Al-Quran adalah hadits. Selain Al-Quran sendiri tentunya. Hadits yang relevan dan terkait dengan ayat ini ada dua. Pertama, hadits dari Abu Tsa’labah:

أخبرنا “سفيان” عن “ابن شهاب” عن “أبي إدريسَ الخَوْلَانِيِّ” عن “أبي ثَعْلَبَةَ”: ” أنَّ النَّبِيَّ نَهَى عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ

“Abu Tsa’labah berkata: Nabi melarang mengkonsumsi binatang buas yang memiliki taring.”[33]

Kedua, hadits dari Abu Hurairah Nabi bersabda:

أخبرنا مالك عن “إسماعيلَ بن أبي حَكِيم” عن عَبِيدَةَ بن سفيان الحَضْرَمِيِّ” عن “أبي هُرَيْرَةَ”، عن النبي قال: ” أَكْلُ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ حَرَامٌ

“Memakan hewan buas yang memiliki taring itu haram.”[34]

Menurut Imam Syafi’i, kedua hadits di atas mengunggulkan kemungkinan yang kedua. Yakni, bahwa ayat pada QS Al-An’am 6:145 itu berlaku pada semua jenis makanan yang biasa dimakan manusia.[35]

Ayat lain yang memiliki kasus serupa adalah QS Al-Maidah 5:6

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ

“Dan sapulah (usaplah) kepalamu.”

Ayat ini menjelaskan tentang cara berwudhu yang salahsatunya dengan mengusap kepala. Ada dua kemungkinan pemahaman dengan “kepala”. Apakah sebagian kepala atau seluruh bagian kepala? Kedua kemungkinan ini bisa sama-sama benar. Namun ada hadits yang mengunggulkan salahsatunya. Yaitu, hadits dari Mughirah bin Syu’bah:

عن المغيرة بن شعبة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم توضأ ومسح بناصيته وعلى عمامته وخفيه

“Bahwa Rasulullah Shallallaahu ’alaihi wasallam wudhu dan menyapu ubun-ubunnya dan juga di atas surbannya serta di atas khuf (sepatu)”

Dari hadits ini dan beberapa hadits lain yang serupa maka yang diunggulkan adalah kemungkinan pertama: bahwa mengusap kepala saat wudhu cukup sebagian kepala saja. Tidak perlu seluruhnya. Itulah sebabnya, setelah meneliti konteks ayat dan hadits-hadits terkait, Imam Syafi’i dalam Al-Umm menyimpulkan:

إذَا مَسَحَ الرَّجُلُ بِأَيِّ رَأْسِهِ شَاءَ إنْ كَانَ لَا شَعْرَ عَلَيْهِ وَبِأَيِّ شَعْرِ رَأْسِهِ شَاءَ بِأُصْبُعٍ وَاحِدَةٍ أَوْ بَعْضِ أُصْبُعٍ أَوْ بَطْنِ كَفِّهِ أَوْ أَمَرَ مَنْ يَمْسَحُ بِهِ أَجْزَأَهُ ذَلِكَ فَكَذَلِكَ إنْ مَسَحَ نَزْعَتَيْهِ أَوْ إحْدَاهُمَا أَوْ بَعْضَهُمَا أَجْزَأَهُ؛ لِأَنَّهُ مِنْ رَأْسِهِ

“Apabila seseorang mengusap kepalanya di bagian manapun apabila ia tidak punya rambut, atau di rambut kepala yang manapun yang ia kehendaki,dengan satu jari atau sebagian jari, dengan telapak tangan atau menyuruh orang untuk mengusap kepalanya untuk berwudhu, hukumnya sah. Begitu juga apabila ia mengusap kedua pelipisnya atau salahsatunya atau sebagiannya maka itu juga sah. Karena itu bagian dari kepala.[36]

  1. PENJELASAN SUNNAH ATAS MASALAH NASAKH MANSUKH DALAM AL-QURAN

Dalam kaitannya dengan nasakh dan mansukh, hanya nash Al-Quran yang dapat menasakh ayat Al-Quran yang lain.[37] Hadits tidak bisa menasakh Al-Quran. Hanya mengikuti dan menafsiri.[38] Oleh karena itu, fungsi hadits di sini hanyalah menjelaskan. Bahkan, menurut Imam Syafi’i, kebanyakan adanya ayat yang dimansukh oleh ayat yang lain itu penjelasannya berasal dari hadits.[39] Contoh pada soal ini terdapat pada empat ayat berikut. Pertama, QS Al-Muzammil  73:1-3 Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ ‎﴿١﴾‏ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا ‎﴿٢﴾‏ نِّصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا ‎﴿٣﴾‏

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), (1) bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (2) (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. (3) atau lebih dari seperdua itu.”

Kedua, QS Al-Muzammil  73:20 Allah berfirman:

إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَىٰ مِن ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِينَ مَعَكَ ۚ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ۚ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ ۖ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an.”

Ketiga, QS Al-Isra 17:78-79 Allah berfirman:

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا ‎﴿٧٨﴾‏ وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (78) Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (79)”

Keempat, QS Ar-Rum 30:17-18 Allah berfirman:

فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ ‎﴿١٧﴾‏ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَعَشِيًّا وَحِينَ تُظْهِرُونَ ‎﴿١٨﴾

“Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu berada di waktu subuh, (17) dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu berada pada petang hari dan di waktu kamu berada di waktu Zuhur. (18)”

Menurut Imam Syafi’i, ayat pertama (QS Al-Muzammil  73:1-3) dinasakh oleh ayat kedua (QS Al-Muzammil  73:20). Yaitu, perintah mendirikan shalat malam dinasakh dengan membaca Al-Quran. Pada ayat ketiga (QS Al-Isra 17:78-79) dijelaskan bahwa shalat malam (tahajud) adalah shalat nafilah. Bukan shalat wajib. Yang wajib adalah shalat yang disebut dengan siang dan malam.[40] Secara spesifik shalat fardhu, menurut Imam Syafi’i, disebut namanya pada ayat keempat yaitu pada QS Ar-Rum 30:17-18. Berikut penafsiran Imam Syafi’i pada ayat ini:[41]

وَأَنَّ الْفَرَائِضَ فِيمَا ذُكِرَ مِنْ لَيْلٍ، أَوْ نَهَارٍ وَيُقَالُ فِي قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ {فَسُبْحَانَ اللَّهِ حِينَ تُمْسُونَ} [الروم: 17] الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ {وَحِينَ تُصْبِحُونَ} [الروم: 17] الصُّبْحُ {وَلَهُ الْحَمْدُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَعَشِيًّا} [الروم: 18] الْعَصْرُ {وَحِينَ تُظْهِرُونَ} [الروم: 18] الظُّهْرُ

“Yang wajib dari ayat yang disebut pada QS Al-Isra 17:78-79 adalah waktu malam dan siang. Yang dimaksud “تُمْسُونَ” pada firman Allah QS Ar-Rum 30:17 adalah shalat maghrib dan isya. Yang dimaksud “تُصْبِحُونَ” adalah shalat subuh. Yang dimaksud “عَشِيًّا” adalah shalat ashar. Dan yang dimaksud “تُظْهِرُونَ” adalah shalat zhuhur.”

Adapun Sunnah yang menerangkan adanya nasikh mansukh pada ayat-ayat di atas adalah hadits berikut:[42]

أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَمِّهِ أَبِي سُهَيْلِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ يَقُولُ «جَاءَ رَجُلٌ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ فَقَالَ هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهَا فَقَالَ لَا إلَّا أَنْ تَطَّوَّعَ»

“Seorang lelaki datang menghadap Rasulullah. Dia bertanya tentang Islam. Nabi bersabda: lima shalat siang dan malam. Lelaki itu bertanya, “Adakah kewajiban yang lain?” Nabi bersabda: “Tidak ada. Kecuali kalau engkau hendak shalat tatawwu’ (sunnah).”[43]

Baca juga: Obyektifitas Orientalis

Larangan belum tentu Haram, perintah belum tentu wajib

Tidak semua yang dilarang dalam Al-Quran berhukum haram dan tidak semua yang diperintahkan berhukum wajib. Dan itu terjadi apabila ada ayat atau hadits lain yang membelokkan makna asal ke hukum yang lebih ringan. Misalnya, QS An-Nur 24:3 Allah berfirman:

الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu’min.”

Di awal ayat ini terdapat larangan yang pasti bagi pria baik-baik untuk menikahi wanita pezina. Dan itu ditegaskan lagi diakhir ayat dengan kata “diharamkan bagi orang mukmin”. Namun, menurut Imam Syafi’i, hadits ini sudah dinasakh oleh ayat lain, yakni QS An-Nur 24:32

 وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu”.

Dalam Al-Umm, Imam Syafi’i menjelaskan argumentasinya bahwa ayat kedua (QS An-Nur 24:32) menasakh atau menghapus status hukum ayat pertama (QS An-Nur 24:3). Di mana, pada ayat kedua, seorang lelaki boleh menikahi wanita manapun yang tidak bersuami. Sedangkan wanita pezina tidak punya suami.[44] Imam Syafi’i kemudian menuturkan beberapa hadits yang disebut secara ringkas yang menguatkan argumen ini:[45]

فوجدنا الدلالة عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – في زانية وزان من المسلمين، لم نعلمها حَرَّم على واحد منهما أن ينكح غير زانية ولا زان، ولا حرم واحداً منهما على زوجه، فقد أتاه ماعز بن مالك، وأقرَّ عنده بالزنا مراراً، لم يأمره في واحدة منها أن يجتنب زوجة له إن كانت، ولا زوجته أن تجتنبه، ولو كان الزنا يحرمه على زوجته أشبه أن يقول له: إن كانت لك زوجة حرمت عليك، أو لم تكن لم يكن لك أن تنكح، ولم نعلمه أمره بذلك، ولا أن لا ينكح.ولا غيره أن لا ينكحه إلا زانية، وقد ذكر له رجل امرأة زنت وزوجها حاضر، فلم يأمر النبي – صلى الله عليه وسلم – فيه، علمنا زوجها باجتنابها.

“Kami temukan dalil dari Sunnah Rasulullah terkait wanita dan pria pezina. Nabi tidak mengharamkan keduanya untuk menikah dengan yang selain pezina. Nabi juga tidak mengharamkan salahsatunya pada pasangannya. Maiz bin Malik datang menemui Nabi dan mengakui telah berzina berkali-kali. Nabi tidak menyuruhnya untuk menjauhi salah satu istrinya apabila ia punya istri. Juga tidak menyuruh istri Maiz untuk menjauhinya. Seandainya perbuatan zina itu mengharamkan Maiz atas istrinya, maka niscaya Nabi akan berkata pada Maiz: ‘Kalau kamu punya istri, maka ia haram bagimu. Atau, kamu tidak punya istri, maka haram bagimu menikah.’ Sepengetahuan kami, Nabi tidak menyuruh Maiz melakukan itu. Nabi juga tidak menyuruh Maiz untuk tidak menikah, tidak juga yang lain, kecuali dengan wanita pezina. Disebutkan, dalam sebuah hadits, seorang wanita berzina sedangkan suaminya hadir, Nabi tidak menyuruk si suami untuk menjauhi istrinya.”

Baca juga: Islamisasi Sains

KESIMPULAN

Al-Sunnah atau hadits adalah salah satu sumber utama syariah Islam. Di samping Al-Quran. Al-Sunnah yang sahih secara sanad memiliki otoritas setingkat Al-Quran. Dalam pengertian, a) menjadi penguat pernyataan hukum dalam Al-Quran, b) menjabarkan  pernyataan Al-Quran yang bersifat umum (mujmal) atau c) hadits yang mujmal ditakhsish oleh Al-Quran, d) mentarjih kandungan Al-Quran, e) menasakh Sunnah yang lain, dan lain-lain.

Dengan demikian, maka suatu ayat Al-Quran tidak berdiri sendiri. Demikian juga dengan Sunnah tidak bisa berdiri sendiri. Oleh karena itu, suatu ayat Al-Quran tidak bisa diambil kesimpulan tanpa menyandingkannya dengan ayat dan hadits lain yang relevan. Tanpa itu, maka resiko kesalahpahaman dalam mengambil kesimpulan akan mudah terjadi.[]

Endnote

[1] Istilah syariah dan fikih atau hukum Islam adalah sinonim menurut satu pendapat. Lihat misalnya “British & World English: sharia”. Oxford: Oxford University Press. Namun, menurut pendapat lain, syariah memiliki pengertian yang lebih luas dibanding fikih. Umar Sulaiman Al-Ashqar, misalnya, menjelaskan bahwa syariah itu mencakup tidak hanya fikih tapi juga akidah dan politik. Lihat, Umar Sulaiman Al-Ashqar, Nahwa Tsaqafah Islamiyah Ashilah,  Cet. 4, Dar al-Nafa’is, Yordania, 1994, hlm. 179.

[2] Asqalani, Ibnu Hajar al-, Fathul Bari, hlm. 13/245.

[3] Ibnu Abi Zaid, Al-Jamik, hlm. 119. Teks asal: كل صاحب حديث ليس له إمام في الفقه فهو ضال، ولولا أن الله أنقذنا بمالك والليث لضللنا

[4] Abu Zahrah, Muhammad, Al-Syafi’i, hlm. 31-32.

[5] Qattan, Dr. Mana Al-, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy, hlm. 60.

[6] Misalnya, wajibnya shalat pada QS An-Nisa 4:103 dan haramnya menikahi wanita pezina pada QS An-Nur 24:3.

[7] Ibid.

[8] Ibnu Najjar, Syarah Al-Kaukab al-Munir al-Musamma bi Mukhtashar al-Tahrir, Tahqiq: Muhammad Al-Zuhaili & Nazih Hamad, Wizarah Al-Auqaf Al-Saudiyah, Arab Saudi, 1993 M/1413 H, hlm. 1/349.

[9] Umar, Ahmad Mukhtar, Mujam Al-Lughat al-Arabiyah al-Muashirah, 2008.

[10] Ushul al-fiqh adalah ilmu yang membahas dalil-dalil fikih secara umum dan kaidah-kaidah istinbath dari sejumlah dalil. Lihat, Mu’jam Mustalahat al-Ulum al-Syar’iyah, Madinah al-Malik ibn Abd Al-Aziz, Arab Saudi, 2017 M/1439H.

[11] Di kalangan sarjana kontemporer ada pandangan yang mempertanyakan tentang apakah Imam Syafi’i melalui Al-Risalah-nya adalah pencetus pertama ilmu ushul fikih ataukah ada ulama lain sebelumnya?  Ahmad Hasan membahas soal ini secara mendalam. Lihat, Ahmad Hasan, “Al-Shafi’i’s role in the development of Islamic Jurisprudence”, Islamic Studies, Vol. V,No. 3 (September) 1966, hlm. 239-273.

[12] Razi, Fakhruddin al-, Manaqib Al-Syafi’i, hlm. 57. Teks asal: نسبة الشافعي إلى علمِ الشرع كنسبة أرسطو إلى علمِ العقل

[13] Mazid, Ali Abdul Basit, Minhaj al-Muhadditsin, hlm. 238. Teks asal: لولا الشافعي، ما عرَفْنا فِقه الحديث

[14] Syafi’i, Muhammad bin Idris al-, Ikhtilaf al-Hadits, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2016. Kitab ini juga menjadi bagian dari kitab Al-Umm, juz 8. Versi onlinenya bisa diakses di link berikut: https://al-maktaba.org/book/9348

[15] QS An-Nisa 4:80

[16] QS Al-Hasyar 59:7

[17] QS Al-Ahzab 33:21

[18] Syafi’i, Muhammad bin Idris al-, Al-Umm, juz 8, hlm. 765.

[19] Pembahasan mendalam soal ini, lihat, Khidir, Abdul Karim Al-, Al-Hadits al-Dhaif wa Hukm al-Ihtijaj bih, Dar al-Minhaj, Riyadh, KSA, 1425 H.

[20] Syafi’i, Muhammad bin Idris al-, Al-Risalah, Tahqiq wa syarah: Ahmad Muhammad Syakir,  Cet. 1, Mustafa Al-Babi, Mesir, 1309 H/1940, hlm. 161.

[21] HR Nasai no. 96; Abu Dawud no. 103; Ibnu Majah no. 428; Ahmad no. 15836; Malik no. 29.

[22] HR Tirmidzi no. 40; Abu Dawud no. 119; Ibnu Majah no. 404; Ahmad no. 144.

[23] HR Bukhari no. 155, Muslim no. 332.

[24] Syafi’i, al-Risalah., hlm. 162.

[25] Ibid., 166.

[26] Dzahabi, Dr. Muhammad Husain al-, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Maktabah Wahbah, Kairo, 1976, hlm. 1/75.

[27] Syafi’i, Al-Risalah, hlm. 177-179.

[28] HR Bukhari no. 6267; Tirmirdzi no. 1165; Nasai 4557; Abu Dawud no. 2977; Ahmad no. 4324; Malik no. 1119.

[29] HR Abu Dawud 3955; Ahmad 329; Malik 1365.

[30] Syafi’i, Al-Risalah, hlm. 173.

[31] Syafi’i, Al-Risalah, hlm. 67.

[32] Syafi’i, Al-Risalah, hlm. 208.

[33] HR Bukhari no. 5101.

[34] HR Muslim no. 3573.

[35] Syafi’i, op.cit.

[36] Syafi’i, Muhammad bin Idris al-, Al-Umm, tahqiq wa takhrij: Dr. Rif’at Fauzi Abd al-Muttalib, Dar al-Wafa (Mesir), 1422 H/2001 M, hlm. 1/41.

[37] Ayat QS Al-Baqarah 2:106 dan An-Nahl 16:101 menurut Imam Syafi’i, menegaskan hal ini. Hadits hanya dapat dinasakh dengan hadits yang lain.

[38] Syafi’i, Al-Risalah, hlm. 106.

[39] Ibid., hlm. 222.

[40] Syafi’i, Al-Umm, hlm. 2/149.

[41] ibid

[42] Ibid, hlm. 2/150; al-Risalah, hlm. 116.

[43] HR Bukhari no. 46; Muslim, 1/40-41.

[44] Syafi’i, al-Umm, hlm. 5/158.

[45] Ibid, hlm. 5/12.

Daftar Pustaka

Al-Quran Al-Karim

Al-Kutub al-Tis’ah

Ashqar, Umar Sulaiman Al-, Nahwa Tsaqafah Islamiyah Ashilah,  Cet. 4, Dar al-Nafa’is, Yordania, 1994, hlm. 179.

Dzahabi, Dr. Muhammad Husain al-, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Maktabah Wahbah, Kairo, 1976, hlm. 1/75.

Hasan, Ahmad, “Al-Shafi’i’s role in the development of Islamic Jurisprudence”, Islamic Studies, Vol. V, No. 3 (September) 1966.

Ibnu Najjar, Syarah Al-Kaukab al-Munir al-Musamma bi Mukhtashar al-Tahrir, Tahqiq: Muhammad Al-Zuhaili & Nazih Hamad, Wizarah Al-Auqaf Al-Saudiyah, Arab Saudi, 1993 M/1413 H.

Khidir, Abdul Karim Al-, Al-Hadits al-Dhaif wa Hukm al-Ihtijaj bih, Dar al-Minhaj, Riyadh, KSA, 1425 H.

Mazid, Ali Abdul Basit, Minhaj al-Muhadditsin fi al-Qarn al-Awwal al-Hijri wa hatta Ashrina al-Hadir, al-Hai’ah al-Mishriyah, Mesir.

Mu’jam Mustalahat al-Ulum al-Syar’iyah, Madinah al-Malik ibn Abd Al-Aziz, Arab Saudi, 2017 M/1439H.

Oxford, “British & World English: sharia”. Oxford University Press

Qattan, Dr. Mana Al-, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy, cet. 4, Maktabah Wahbah, Kairo, 2001.

Razi, Fakhruddin al-, Manaqib Al-Syafi’i, tahqiq: Dr. Ahmad Hijazi al-Saqqa, Maktabat Al-Kulliyyat Al-Azhariyah, Kairo, 1402 H/1986 M.

Syafi’i, Muhammad bin Idris al-, Ikhtilaf al-Hadits, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2016

Syafi’i, Muhammad bin Idris al-, Al-Risalah, Tahqiq wa syarah: Ahmad Muhammad Syakir,  Cet. 1, Mustafa Al-Babi, Mesir, 1309 H/1940

Syafi’i, Muhammad bin Idris al-, Al-Umm, tahqiq wa takhrij: Dr. Rif’at Fauzi Abd al-Muttalib, Dar al-Wafa (Mesir), 1422 H/2001 M

Umar, Ahmad Mukhtar, Mujam Al-Lughat al-Arabiyah al-Muashirah, 2008.

Kembali ke Atas