Buku A. Fatih Syuhud

Visi, pemikiran dan karya tulis A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Islamisasi Sains dan Ilmu Pengetahuan

Islamisasi sains dan ilmu pengetahuan

Islamisasi Sains dan Ilmu Pengetahuan

Oleh A. Fatih Syuhud

Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Fungsi Al-Quran, yang pertama dan utama, adalah sebagai kitab petunjuk kehidupan bagi orang muslim yang bertakwa (QS Al-Baqarah 2:2). Tentang yang baik dan buruk, yang halal dan haram, yang sunnah dan makruh. Namun demikian, karena narasi yang digunakan dalam Al-Quran tidak sedikit yang mengisahkan fenomena alam (ayat kauniyah), maka beberapa dari sarjana muslim dan non-muslim menjadikan ayat-ayat kauniyah ini sebagai sisi lain dari Al-Quran yang patut dijadikan sebagai sumber pengetahuan atau perbandingan dengan temuan sains. Atau menurut Shamser Ali sebagai standar kebenaran dari sains. Shamser Ali menegaskan:

“Anybody having the faith in this absolute truth is welcome to use the Qur’an as a test for our scientific principle and not vice versa. Incidentally it may be mentioned that Maurice Bucaille in his book, The Qur’an, the Bible and Science already asserted: There is not a single verse in Holy Qur’an which is assailable from scientific point of view”. Our present work fully support this assertion.”[1]

Tulisan Maurice Bucaille diperkenalkan ke publik pada tahun 80-an. Dalam buku berjudul Bible, Quran, dan Sains Modern itu Bucaille menyampaikan sejumlah tafsir atas ayat-ayat Quran. Berdasar tafsirnya itu Bucaille menyimpulkan bahwa ayat-ayat Quran cocok dengan sains. Setelah buku Bucaille itu sejumlah penulis lokal menulis karya serupa, di antaranya ditulis oleh Ahmad Baiquni. Yang terbaru, Agus Purwanto, seorang ahli fisika teori yang menulis buku berjudul Ayat-Ayat Semesta. Di mimbar ceramah, secara internasional ada Zakir Naik.

Baca juga: Tantangan Pendidikan Islam

Dari semua tulisan tentang Al-Quran dan sains, tidak ada karya paling kolosal selain kitab tafsir karya Tantawi Jauhari berjudul Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim. Buku setebal 24 jilid ini membahas banyak ayat dari sudut sains. Termasuk ayat-ayat yang sebenarnya tidak membahas fenomena alam.[2]

Sementara itu, di Barat, mengasosiasikan Al-Quran dengan sains adalah sesuatu yang aneh terutama dalam hubungan yang harmonis, bukan perselisihan. Karena, menurut Bucaille:

The relationship between Quran and science is a priori a surprise, especially when it turns out be one of harmony not of discord. A confrontation between a religious book and the secular ideas proclaimed by science is perhaps, in the eyes of many people today, something of a paradox. The majority of today’s scientists, with a small number of exception of course, are indeed bound up in materialistic theories, and have only indifference or contempt for religious questions which they often consider to be founded on legend. In the West moreover, when science and religion are discussed, people are quite willing to mention Judaism and Christianity among the religions referred to, but they hardly ever think of Islam. So many false judgements based on inaccurate ideas have indeed been made about it, that today it is very difficult to form an exact notion of the reality of Islam.[3]

Namun, dalam QS Fushilat 41:53 Allah berfirman: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quraan itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

Berdasarkan ayat ini, Allah mendesak muslim untuk melakukan kajian terhadap alam semesta dalam rangka menemukan tanda (ayat) kekuasanNya. Untuk alasan ini, banyak ayat dalam Al-Quran mengajak muslim untuk mengkaji  alam dan mencari ilmu, dan ini diartikan sebagai dorongan untuk melakukan penelitian saintifik.

Pentingnya mencari ilmu ditekankan berkali-kali dalam Al-Quran dengan perintah yang relatif sering, seperti dalam QS Al-Mujadilah 58:11, “niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”[4] Pada QS Thaha 20:114 Allah berfirman, “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”[5] Ayat-ayat Al-Quran ini memberikan dorongan kuat bagi umat Islam untuk mencari ilmu pengetahuan. Juga, ayat QS Al-Isra 17:85 di mana Allah berfirman, “dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”[6] ayat ini memberikan inspirasi untuk menuntut ilmu pengetahuan baru. Apalagi, menurut Shamser Ali, ada sekitar 750 ayat dalam Al-Quran yang membahas tentang fenomena alam.

  1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

  1. Apa definisi sains dalam Al-Quran?
  2. Apa saja ayat yang mengandung penjelasan sains dalam Al-Quran?
  3. Apa perspektif sarjana muslim soal ini?

Tujuan

Berikut adalah tujuan dari makalah ini:

  1. Mengetahui dan memahami definisi pengetahuan (sains) dan Al-Quran.
  2. Mengetahui ayat Al-Quran yang mengandung unsur sains.
  3. Mengetahui dan memahami perspektif muslim dan non-muslim soal sains dalam Al-Quran.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Definisi
  2. Pengetahuan secara umum

Pengetahuan berasal dari kata “tahu”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata tahu memiliki arti antara lain mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami, dan sebagainya), mengenal dan mengerti.[7] Menurut Mubarak, pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui berdasarkan pengalaman manusia itu sendiri dan pengetahuan akan bertambah sesuai dengan proses pengalaman yang dialaminya.[8] Sedangkan menurut Notoatmodjo, pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia yakni, indera pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan dan perabaan. Sebagian pengetahuan manusia didapat melalui mata dan telinga.[9]

Pengetahuan, menurut Maier, adalah fakta, kebenaran atau informasi yang diperoleh melalui pengalaman atau pembelajaran disebut posteriori,[10] atau melalui introspeksi disebut priori.[11] Pengetahuan adalah informasi yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna. Pengetahuan  juga diartikan berbagai  gejala  yang  ditemui  dan  diperoleh  manusia melalui  pengamatan  akal.  Pengetahuan terlihat pada saat seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Contoh pengetahuan adalah ketika seseorang mencicipi masakan yang baru, ia mendapatkan pengetahuan berupa bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut.[12]

  1. Pengetahuan Alam (Sains)

Ilmu pengetahuan alam (bahasa Inggris: natural science) adalah istilah yang digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu di mana objeknya adalah benda-benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun dan di mana pun. Pengetahuan alam dapat dibagi menjadi dua cabang utama: life science (ilmu kehidupan) dan physical science (ilmu fisika). Life science dikenal juga sebagai biologi, sedangkan physical science terbagi lagi menjadi beberapa cabang seperti fisika, kimia, ilmu tanah, dan astronomi.[13] Orang yang menekuni bidang ilmu pengetahuan alam disebut sebagai Saintis. Penulis akan membatasi tulisan ini pada sains atau pengetahuan alam.

  1. Al-Quran

Al-Quran secara bahasa adalah bentuk masdar (verbal noun) sama dengan qira’ah (قراءة) dari fi’il madhi qara’a ( قَرَأ- يقرأَ) yang bermakna mengumpukan (al-jam’u). Disebut Al-Quran karena ia mengumpulkan surah-surah atau kumpulan dari surah-surah.[14] Menurut istilah, pengertian Al-Quran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Al Quran diturunkan melalui malaikat Jibril yang dihimpun dalam mushaf yang merupakan mukjizat Nabi Muhammad.[15]

Al-Qur’an terdiri atas 114 surah, 30 juz dan 6236 ayat menurut riwayat Hafsh, 6262 ayat menurut riwayat ad-Dur, atau 6214 ayat menurut riwayat Warsy. Secara umum, Al-Qur’an terbagi menjadi 30 bagian yang dikenal dengan nama juz. Pembagian juz memudahkan mereka yang ingin menuntaskan pembacaan Al-Qur’an dalam kurun waktu 30 hari. Terdapat pembagian lain yang disebut manzil, yang membagi Al-Qur’an menjadi 7 bagian.[16]

Al Quran adalah kitab suci yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagai rahmat dan petunjuk bagi manusia yang beriman dan bertakwa daam hidup dan kehidupannya. Hal ini sesuai firman Allah dalam Surat Al A’raf 6:52

وَلَقَدْ جِئْنٰهُمْ بِكِتٰبٍ فَصَّلْنٰهُ عَلٰى عِلْمٍ هُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

Artinya: “Sungguh, Kami telah mendatangkan Kitab (Al-Qur’an) kepada mereka, yang Kami jelaskan atas dasar pengetahuan, sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.”

Bahwa Al-Quran sebagai petunjuk dan penuntun tentang nilai kebaikan dan keburukan bagi muslim adalah fungsi utama dari Al-Quran. Petunjuk Al-Quran ini apabila dipisah berdasarkan ilmu-ilmu agama terbagi menjadi beberapa disiplin ilmu yaitu: akidah dan tauhid, ibadah, akhlak, hukum fikih, sejarah atau kisah umat masa lalu.

Bahwa kemudian ada yang menilai Al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan, dengan mengetengahkan fakta-fakta, tidak mengecilkan fungsi utama kitab suci ini sebagai buku paling otoritatif dalam bidang syariah Islam yang meliputi akidah, fikih dan akhlak.[17]

  1. Ayat-ayat Sains dalam Al-Quran

Berikut beberapa ayat yang mengandung unsur sains:

  1. Penciptaan Langit dan Bumi
  2. QS Al-A’raf 7:54

إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ

Artinya: “Tuhanmu adalah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari.”

Menurut Bucaille, Yusuf Ali (1934) dalam tafsirnya (bahasa Inggris), selalu mengartikan “hari” dalam ayat-ayat tentang tahap-tahap penciptaan alam, sebagai periode yang panjang, atau “age.”[18]

  1. QS Fushilat 41:9-12

قُلْ أَئِنَّكُمْ لَتَكْفُرُونَ بِالَّذِي خَلَقَ الْأَرْضَ فِي يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُونَ لَهُ أَندَادًا ۚ ذَٰلِكَ رَبُّ الْعَالَمِينَ ‎﴿٩﴾‏ وَجَعَلَ فِيهَا رَوَاسِيَ مِن فَوْقِهَا وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا فِي أَرْبَعَةِ أَيَّامٍ سَوَاءً لِّلسَّائِلِينَ ‎﴿١٠﴾‏ ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ ‎﴿١١﴾‏ فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَىٰ فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا ۚ وَزَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ وَحِفْظًا ۚ ذَٰلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ ‎﴿١٢﴾‏

Artinya: “Katakanlah Hai Muhammad, sesungguhnya patutkah kamu tidak percaya kepada zat yang menciptakan bumi dalam dua periode, dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya. Ia adalah Tuhan semesta alam. Dan Ia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)-nya dalam empat masa yang sama (cukup) sesuai bagi segala yang memerlukannya.

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit, dan dia (langit itu masih merupakan) asap lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi ‘Datanglah kamu keduanya menurut perintahKu dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab: ‘Kamidatang-dengan suka hati.’

Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”

Empat ayat dari Surat 41 tersebut menunjukkan beberapa aspek; bentuk gas yakni bentuk pertama daripada bahan samawi serta pembatasan secara simbolis bilangan langit sampai tujuh.  Percakapan antara Tuhan di satu pihak dan langit dan bumi di pihak lain adalah simbolis; maksudnya adalah untuk menunjukkan bahwa setelah diciptakan Tuhan, langit-langit dan bumi menyerah kepada perintah-perintah Tuhan.[19]

  1. Mumi Firaun

Bucaille menemui sejumlah ilmuwan autopsi Muslim dan diberitahu mengenai salah satu ayat Alquran Surah Yunus Ayat 92.

فَا لْيَوْمَ نُـنَجِّيْكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُوْنَ لِمَنْ خَلْفَكَ اٰيَةً ۗ وَاِ نَّ كَثِيْرًا مِّنَ النَّا سِ عَنْ اٰيٰتِنَا لَغٰفِلُوْنَ

Artinya:“Maka pada hari ini Kami selamatkan jasadmu agar engkau dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahmu, tetapi kebanyakan manusia tidak mengindahkan tanda-tanda (kekuasaan) Kami.”

  1. Bertemunya Dua Lautan

Sesuai dgn Firman Allah SWT dalam Surah Ar-Rahman ayat 19-20:

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيٰنِ ۙ

“Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu,” (QS. Ar-Rahman 55: Ayat 19)

بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَّا يَبْغِيٰنِ ۚ

Artinya: “di antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.”(QS. Ar-Rahman 55: Ayat 20)

Pertemuan antara dua arus laut ini terjadi di Selat Gibraltar, tepatnya di antara Spanyol dan Maroko. Menurut para ilmuwan, fenomena tersebut terjadi karena air laut dari Samudera Atlantik dan dari Laut Mediterania memiliki karateristik yang berbeda, dilihat dari suhu air, kadar garam, dan kerapatannya.

  1. Ledakan Raksasa atau Big Bang

Big Bang diyakini sebagai peristiwa yang menyebabkan terbentuknya alam semesta. Teori ini didasarkan pada kajian kosmologi mengenai bentuk awal dan perkembangan alam semesta. Berdasarkan teori ini, dikatakan bahwa alam semesta awalnya dalam keadaan sangat panas dan padat, lalu mengembang secara terus-menerus hingga hari ini. Hal tersebut ternyata sudah disampaikan di dalam Al-Quran tepatnya Surah Al-Anbiya ayat 30.

اَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْۤا اَنَّ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضَ كَا نَـتَا رَتْقًا فَفَتَقْنٰهُمَا ۗ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَآءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۗ اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ

Artinya: “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi keduanya dahulu menyatu kemudian Kami pisahkan antara keduanya; dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak beriman?”

  1. Api Di Dasar Laut

Fenomena ini ditemukan oleh seorang ahli geologi asal Rusia, Anatol Sbagovich dan Yuri Bagdanov, dan seorang ilmuwan asal Amerika Serikat. Mereka meneliti kerak bumi dan patahannya di dasar laut lepas pantai Miami. Mereka kemudian menemukan lava cair yang mengalir disertai abu vulkanik yang suhunya mencapai 231 derajat celcius. Al-Quran, lagi-lagi, sudah menyinggung tentang api di dasar lautan ini terdapat dalam Surah At- Tur ayat 6.

وَا لْبَحْرِ الْمَسْجُوْرِ ۙ

Artinya: “dan laut yang di dalam tanahnya ada api.”

  1. Garis Edar Tata Surya

Menurut ahli astronomi, matahari bergerak dengan kecepatan 720.000 km/jam ke arah bintang Vega dalam sebuah garis edar yang dinamakan Solar Apex. Ini berarti matahari bergerak sejauh 17.280.000 kilometer dalam sehari. Selain matahari, semua planet dan satelit dalam sistem gravitasi matahari juga berjalan dalam jarak ini. Semua bintang yang ada di alam semesta pun sama. Fenomena tata surya dan garis edar ini sudah tertulis di dalam Al-Quran, antara lain di dalam Surah Al-Anbiya’ ayat 33.

وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ الَّيْلَ وَا لنَّهَا رَ وَا لشَّمْسَ وَا لْقَمَرَ ۗ كُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ

Artinya: “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing beredar pada garis edarnya.”

  1. Sungai Di Dasar Laut

Fenomena sungai di dasar laut ditemukan oleh ilmuwan asal Prancis bernama Jaques Yves Cousteau. Para ahli menyebut fenomena ini sebagai lapisan hidrogen sulfida, karena air yang mengalir di sungai dasar laut ini memiliki rasa air tawar. Selain itu sungai dasar laut ini ditumbuhi daun-daun dan pohon. Fenomena ini disebutkan di dalam Al-Quran tepatnya di dalam Surah Al-Furqan ayat 53.

وَهُوَ الَّذِيْ مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ هٰذَا عَذْبٌ فُرَا تٌ وَّهٰذَا مِلْحٌ اُجَا جٌ ۚ وَجَعَلَ بَيْنَهُمَا بَرْزَخًا وَّحِجْرًا مَّحْجُوْرًا

Artinya: “Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar dan segar dan yang lain sangat asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang tidak tembus.”

  1. Dasar Lautan yang Gelap

Manusia tak mampu menyelam 40 meter di bawah laut tanpa peralatan khusus. Dalam sebuah buku berjudul “Oceans” dijelaskan, pada kedalaman 200 meter hampir tak dijumpai cahaya, sedangkan pada kedalaman 1.000 meter tak terdapat cahaya sama sekali. Kondisi dasar laut yang gelap baru bisa diketahui setelah penemuan teknologi canggih. Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 40 menjelaskan keadaan dasar lautan tersebut

اَوْ كَظُلُمٰتٍ فِيْ بَحْرٍ لُّـجّـِيٍّ يَّغْشٰٮهُ مَوْجٌ مِّنْ فَوْقِهٖ مَوْجٌ مِّنْ فَوْقِهٖ سَحَا بٌ ۗ ظُلُمٰتٌۢ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ ۗ اِذَاۤ اَخْرَجَ يَدَهٗ لَمْ يَكَدْ يَرٰٮهَا ۗ وَمَنْ لَّمْ يَجْعَلِ اللّٰهُ لَهٗ نُوْرًا فَمَا لَهٗ مِنْ نُّوْرٍ

Artinya:“atau (keadaan orang-orang kafir) seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh gelombang demi gelombang, di atasnya ada (lagi) awan gelap. Itulah gelap gulita yang berlapis-lapis. Apabila dia mengeluarkan tangannya hampir tidak dapat melihatnya. Barang siapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka dia tidak mempunyai cahaya sedikit pun.”

  1. Sidik Jari Manusia

Sidik jari ditemukan pada akhir abad ke-19. Sebelumnya, mayoritas orang menganggap jika sidik jari adalah lengkukan-lengkukan biasa tanpa makna khusus. Setiap manusia, termasuk mereka yang terlahir kembar identic, memiliki pola sidik jari yang berbeda. Dengan kata lain, salah satu tanda pengenal manusia terdapat pada ujung jari mereka. Al-Quran Surah Al-Qiyamah ayat 3- 4 menjelaskan tentang kesempurnaan jari manusia ini.

اَيَحْسَبُ الْاِ نْسَا نُ اَلَّنْ نَّجْمَعَ عِظَا مَهٗ ۗ

Artinya:“Apakah manusia mengira,bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya?”

  1. Al-Qiyamah 75: Ayat 4

بَلٰى قٰدِرِيْنَ عَلٰۤى اَنْ نُّسَوِّيَ بَنَا نَهٗ

Artinya:“(Bahkan) Kami mampu menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna.”

 

  1. Matahari Berotasi

Orang pertama yang menyadari bila matahari juga berotasi seperti Bumi adalah Galileo Galilei. Di tahun 1612, dia menyadari bila bintik hitam matahari bergerak di sekitar khatulistiwanya. Sampai saat ini, pakar astronomi masih menggunakan posisi bintik hitam matahari untuk mengukur kecepatan rotasi matahari. Di bagian khatulistiwa matahari, kecepatan putarannya paling tinggi, yakni 25 hari untuk satu putaran penuh. Dan semakin naik ke atas atau turun ke bawah menjauhi garis khatulistiwa, kecepatan rotasi matahari menurun. Bagian sekitar kutub utara dan selatan matahari memerlukan waktu 35 hari untuk sekali putaran.

Dalam Surah Yasin ayat : 38 dijelaskan.

وَا لشَّمْسُ تَجْرِيْ لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ۗ ذٰلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ ۗ

Artinya: “dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Maha Perkasa, Maha Mengetahui.”[20]

  1. Pandangan Sarjana Muslim terkait Ayat Sains dalam Al-Quran
  2. Quraish Shihab

Menurut Quraish Shihab, membahas hubungan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran-kebenaran teori ilmiah, melainkan pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri.  Menurut Shihab, mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting dari pada menemukan teori ilmiah, karena tanpa mewujudkan iklim ilmu pengetahuan, para ahli yang menemukan teori tersebut akan mengalami nasib seperti  Galileo yang menjadi korban hasil penemuannya.[21]

Namun demikian, menurut Quraish Shihah, awal mula sains dan teknologi berasal dari Islam, hanya saja dikemudian hari sains ini memiliki perkembangan yang sangat pesat di Eropa sedangkan di Islam mengalami kemandekan.[22]

  1. Jalaluddin Al-Suyuti (w. 1505 M)

Al-Suyuti dalam kitabnya al-Itqan fi Ulum al-Quran, al-Iklil fi al-Istinbat al-Tanzil dan al-Mumtarikh al-Aqran fi I’jaz al-Quran, ia menuturkan bahwa Al-Quran telah menyingkap secara luas baik diskursus keilmuan yang bersifat teoretis maupun praksis, mulai era klasik hingga kontemporer, semuanya telah tersirat dalam Al-Quran.

Lalu, al-Suyuti menampilkan redaksi surat al-An’am ayat 38.

 وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ ۗمَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ

“Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan.” (Q.S. al-An’am [6]: 38)

  1. Al-Razi

Al-Razi, seorang mufasir dan filosof ilmuwan muslim disinyalir beliaulah peletak dasar corak mazhab tafsir Al-Quran bil ‘ilmi. Penyematan ini bukanlah tanpa alasan, jika menilik rekam jejaknya sesungguhnya al-Razi menempatkan rasio seobjektif mungkin dalam penafsiran Al-Quran meski, ia sering dianggap rasionalis murni oleh sebagian kalangan.

 

Pada zaman al-Razi belum ada istilah dikotomi keilmuan, yang dikenal hanyalah ilmu handasiah, yakni ilmu yang berkaitan dengan matematika, fisika, astronomi, biologi, medis, dan sejenisnya. Sebagai contoh misalnya, kalimat al-hikmah yang terdapat dalam Surat an-Nahl ayat 125, al-Razi menafsirkannya dengan,

الحُجَّةُ الْقَطْعِيّة الْمُفِيدة لِلْعَقَائِد الْيَقِينِية، وذلك هُوَ المُسَمَّى بِالْحِكْمة، وهذه أَشْرَفُ الدَّرَجًاتِ وأَعْلَى الْمَقَامَات

“Hujjah yang qath’i (pasti), jelas, kokoh dan tanpa keraguan. Itulah yang disebut al-hikmah. Inilah kedudukan yang paling mulia dan tertinggi”.

Jika mufassir klasik acapkali menafsirkan al-Hikmah dengan bijaksana, lemah lembu, namun bagi al-Razi tidak. Ini menunjukkan bahwa kedudukan ilmu pengetahuan amatlah penting dalam mencari kebenaran yang sesungguhnya. Tidak hanya sekadar prediksi apalagi angan-angan belaka atau opini tak berdasar.

Selain memiliki karya tafsir Mafatih al-Ghaib, ia tercatat mempunyai dua karya medis terpenting, yaitu al-Mansuri dan al-Hawi. Kedua kitab ini terkenal di Barat, diterjemahkan dalam berbagai bahasa, serta menjadi rujukan otoritatif dalam keilmuan kedokteran.

  1. Tantawi Jauhari (w. 1940 M)

Tantawi Jauhari dengan tafsirnya, Jawahir fi Tafsir al-Quran. Dalam Jawahir-nya, ia mengungkap banyak beragam fan keilmuan terutama ketika menafsirkan ayat-ayat kauniyah. Interpretasinya tidak hanya sebatas naratif-deskriptif, melainkan substantif-analitis.

Uraian analitis Tantawi ini mendapat pujian dari al-Zahabi (w. 1977) dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, al-Zahabi takjub dengan model yang digunakan Tantawi dalam menafsirkan Al-Quran. Tantawi, kata al-Zahabi, tidak hanya memberikan penafsiran secara lafdzi, namun dilanjutkan dengan paparan-paparan ilmiah atau disebutnya sebagai lathaif atau jawahir.

Lebih jauh, al-Zahabi berpendapat bahwa penafsiran Tantawi ini merupakan akumulasi dari berbagai saripati para pemikir Barat dan Timur di era modern. Tak berhenti di situ memujinya, al-Zahabi juga memaparkan betapa sarat akan ilmiahnya Tantawi tatkala menafsirkan perkembangan katak mulai dari fase bertelur hingga menjadi katak dewasa sebagaimana termatub dalam Tafsir al-Jawahir.

 

Selain itu, pada juz 3 halaman 102 juga dipaparkan ilmu-ilmu kimia, inti atom beserta sifatnya. Lalu di halaman berikutnya, persisnya 141 diulas ilmu-ilmu biologi, molekul, antropologi, pertambangan, kedokteran, dan masih banyak paparan ilmiah di dalam tafsir Tantawi.

  1. Munawir Sadzali

Menurut Munawir, ilmu pengetahuan itu bersifat universal, tidak ada ilmu pengetahuan Islam, ilmu pengetahuan Barat, dan ilmu pengetahuan bukan Islam. Saya tidak melihat ada substansi materi ilmu pengetahuan sekuler Barat yang telah diislamisasi.

Para sarjana Barat tidak merasa ada elemen-elemen ilmu pengetahuan mereka yang telah diislamisasi. Ilmu pengetahuan sekuler Barat tetap dan terus berkembang dan dikembangkan secara modern dan canggih oleh para ilmuwan Barat seiring perkembangan zaman. Menurut saya, para pakar muslim memakai teori-teori tertentu ilmu pengetahuan Barat kemudian mengembangkan teori-teori tadi dengan menggunakan rujukan ajaran Islam.

Atau, para sarjana muslim tadi sudah menguasai teori-teori ilmu keislaman dan mengayakannya dengan ilmuilmu Barat modern yang mereka nilai sesuai dengan Islam. Dengan cara demikian, lahirlah ilmu pengetahuan yang bercorak islami. Misalnya ahli-ahli ekonomi muslim menggunakan teoriteori tertentu ilmu ekonomi sekuler Barat yang menurut penilaiannya tidak bertentangan dengan Islam. Lalu dia mengembangkan dan menciptakan sendiri ilmunya itu dengan memakai rujukan ajaran Islam.

Atau, dia sendiri sudah menguasai beberapa teori ekonomi Islam dan mengayakannya dengan teori dan kajian ilmu ekonomi sekuler Barat yang dia nilai sesuai dengan ajaran Islam. Dari studinya itu, lahirlah ilmu ekonomi Islam (syariah). Dalam konteks ini, sarjana muslim tadi hanya mengambil teori, materi, dan substansi ilmu ekonomi sekuler Barat yang ia nilai tidak bertentangan dengan Islam.

Sedangkan teori, materi, dan substansi ilmu ekonomi sekuler Barat (bercorak kapitalistik) yang dia nilai berlawanan dengan Islam tidak diadopsi. Jadi tidak ada materimateri ilmu pengetahuan sekuler Barat yang diislamisasi. Hasil-hasil teknologi Barat (AS) juga sesuai dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Kerajaan Arab Saudi dan negara-negara Arab-muslim sudah terbiasa menggunakan teknologi perminyakan ciptaan AS untuk mengeksplorasi hasil minyak mereka.

Apa yang salah dengan teknologi perminyakan AS? Apanya yang perlu diislamkan? Ilmu matematika di Barat mengatakan bahwa 2+2=4. Ilmu matematika di dunia Islam juga mengatakan bahwa 2+2= 4. Apa yang salah dengan ilmu matematika di dunia Barat? Apanya yang perlu diislamkan? Yang berbeda antara Barat dan Islam terletak pada filsafat dan pandangan hidup antara keduanya.

Barat bertumpu pada sekularisme-antroposentrisme, sedangkan Islam (muslim) berpangkal pada teosentrisme. Akibat itu, ilmu pengetahuan di Barat terlepas dari agama (dengan segala implikasi dan konsekuensinya), sedangkan dalam Islam tidak.[23]

  1. Ziaudin Sardar

Dalam menanggapi issue Islamisasi pengetahuan ini Sardar termasuk ke dalam kelompok yang kontra dan pesimis dengan beranggapan bahwa sains bersifat universal yang didasarkan pada konsep empiris dan rasionalitas yang tidak bisa dicampuri oleh agama (kepercayaan) dan budaya seperti dikutip dalam jurnalnya berikut ini :

“…Islamic science is a universal science grounded in empiricism and rationality. It is an experimental science that can be duplicated and repeated by all, regardless of faith and culture. Its nature and contents will reflect the foundations, as well as the needs, requirements and concerns of those living in Muslim cultures. Many Muslims see science as a way of discovering absolute truths, or finding proof of the existence of God. It is a way of highlighting the complex and interconnected nature of reality, and hence a form of worship. But it is also an organised way of solving problems and fulfilling the needs of individuals and society.”[24]

  1. Hasanudin Abdurakhman (Ph.D in Applied Physics, Tohoku University, Jepang)

Klaim soal kecocokan Quran dengan sains itu terasa janggal, karena di sisi lain ada opini bahwa sains modern adalah sains yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan, karena dikembangkan oleh kaum sekuler, bahkan ateis. Karena itu sains perlu diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Bagi saya ada semacam paradoks. Kalau sains modern ini jauh dari nilai-nilai ketuhanan, bagaimana mungkin pada saat yang sama ia cocok dengan ayat-ayat Quran?

Kajian soal Islamisasi sains yang sempat populer pada tahun 90-an, kini nyaris tak terdengar. Gagasan ini terdengar indah dalam ruang diskusi, tapi mungkin akan membingungkan bila dibawa ke ruang riset sains. Bagaimana, misalnya, rumusan teori atom kalau faktor Islam dimasukkan? Lalu, bagaimana rumusan teori big bang atau teori evolusi dengan memasukkan kuasa Tuhan dalam rumusannya? Saya pernah menanyakan soal ini dalam berbagai forum diskusi, tapi tak pernah ada yang memberi jawaban yang jelas.

Bagi Abdurakhman, tema-tema kajian seperti kecocokan Quran dengan sains maupun Islamisasi sains terasa lebih menghibur ketimbang serius. Setelah puluhan tahun tema itu dikumandangkan dalam berbagai pengajian dan diskusi, dengan berbagai buku dan makalah diterbitkan, fakta di dunia sains tidak berubah, yaitu bahwa kontribusi dari negara-negara Islam pada perkembangan sains tetap minim. Saat ini baru ada 3 pemenang Hadiah Nobel di bidang sains dari negara-negara muslim, dan semuanya bekerja di luar negara mereka sendiri. Sementara itu Israel saja sudah memiliki 6 pemenang Hadiah Nobel Kimia, ditambah 2 pemenang Hadiah Nobel Ekonomi.

Dalam suasana itu, kajian tentu saja ada hiburan lain, yaitu mengenang kontribusi ilmuwan muslim di masa lalu, seperti kontribusi Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan sebagainya. Tentu saja dengan klaim, bahwa tanpa kontribusi mereka dunia sains modern tidak akan ada.

Yang harus dikaji secara serius oleh umat Islam sebenarnya adalah bagaimana meningkatkan kontribusi terhadap perkembangan sains. Bagaimana kebijakan yang harus dibuat oleh negara-negara berpenduduk muslim agar sains berkembang. Berapa besar anggaran, bagaimana peneliti diperlakukan, apa yang harus dijadikan prioritas, bagaimana strategi untuk mengejar ketertinggalan, dan sebagainya.

Yang tak kalah serius adalah bagaimana muslim harus bersikap terhadap sains dan komunitas ilmuwan internasional. Apakah terus-menerus mengatai sains sebagai sesuatu yang jauh dari nilai ketuhanan akan menghasilkan sains baru, atau malah menjauhkan muslim dari sains?

Selain itu, bagaimana pendidikan terhadap anak-anak harus diselenggarakan. Apakah pola pendidikan seperti sekarang, yang ramai-ramai mendorong anak-anak untuk menjadi penghafal Quran adalah pola yang tepat untuk menghasilkan ilmuwan andal? Apakah penerima Hadiah Nobel seperti Abdus Salam, Ahmed Zewail, Abdul Aziz Sancar itu adalah para penghafal Quran?

Lalu, bagaimana etos kerja yang seharusnya dimiliki oleh para peneliti di negeri-negeri muslim? Apakah mereka sudah bekerja sekeras para peneliti dari negeri lain seperti Jerman, Jepang, Cina, Israel, dan sebagainya? Apa peran ajaran Islam dalam mendorong dan menyemangati orang-orang untuk bekerja keras?[25]

BAB III

PENUTUP

Dari pembahasan ringkas di makalah ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan muslim dalam menyikapi keterkaitan Al-Quran dan sains, terutama menyangkut ayat-ayat kauniyah, yang secara umum terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

Pertama, mereka yang meyakini bahwa ayat-ayat kauniyah dalam Al-Quran tidak berselisih dengan sains dan bahkan dapat menjadi inspirasi dan standard kebenaran sains. Maurice Bucaille, Shamser Ali dan Syaikh Tantawi Jauhari termasuk dalam golongan ini. Tantawi mengutip QS An-Nahl 16:89 “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu” sebagai argumen dasar bahwa Al-Quran dan sains akan selalu harmonis dan bahwa penemuan saintifik akan selalu sejalan dengan penjelasan Al-Quran.[26] Kalangan ini dipelopori oleh Islamil Al-Faruqi yang terkenal dengan Islamisasi sains-nya. Menurut Al-Faruqi, Islamisasi ilmu pengetahuan harus diarahkan pada suatu kondisi analisis dan sintesis tentang hubungan realitas yang sedang dipelajari dengan hukum (pola) hukum Tuhan. Ini bertujuan untuk a) menguasai disiplin modern; b) menguasai warisan Islam; c) menetapkan relevansi khusus pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern; d) mencari jalan untuk sintesis khusus kreatif antara warisan (Islam) dan ilmu pengetahuan modern; e) meluncurkan pemikiran Islam pada jalan yang mengarah pada kepatuhan pada hukum Tuhan.[27] Metode ini ditentang keras oleh Ziauddin Sardar, menurutnya program al-Faruqi dalam menentukan relevansi Islam pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern, tampak seakan-akan mengerjakan sesuatu yang terbalik. Jadi bukan Islam yang dibuat relevans dengan ilmu pengetahuan modern, tetapi ilmu pengetahuan modernlah yang seharusnya dibuat relevansi Islam.[28]

Kedua, mereka yang menilai bahwa yang perlu diambil dari Al-Quran adalah motivasinya yang kuat agar muslim mencari ilmu dan mengeksplorasi alam. Mewujudkan iklim ilmu pengetahuan jauh lebih penting dari pada berusaha mencocokkan teori ilmiah dengan Al-Quran. Kalangan ini diwakili oleh Quraish Shihab. Bagi kelompok ini, sains bersifat universal yang didasarkan pada konsep empiris dan rasionalitas yang tidak bisa dicampuri oleh agama (kepercayaan) dan budaya.[29]

Ketiga, mereka yang menilai bahwa berusaha mencocokkan sains dengan ayat kauniyah dalam Al-Quran adalah suatu usaha yang ironis dan tidak perlu, yang semakin membuktikan ketidakpercayaan diri umat. Terutama karena di satu sisi dikatakan bahwa sains itu bersifat sekuler bahkan ateis, tapi kita berusaha bersikap apologetik dengan mengaitkannya dengan Al-Quran. Ini pandangan yang diwakili oleh Munawir Sadzali dan Dr. Hasanudin Abdurakhman. Bagi Abdurakhman, tema-tema kajian seperti kecocokan Quran dengan sains maupun Islamisasi sains terasa lebih menghibur ketimbang serius. Setelah puluhan tahun tema itu dikumandangkan dalam berbagai pengajian dan diskusi, dengan berbagai buku dan makalah diterbitkan, fakta di dunia sains tidak berubah, yaitu bahwa kontribusi dari negara-negara Islam pada perkembangan sains tetap minim.

Bagi Hasanuddin, yang harus dilakukan adalah: bagaimana meningkatkan kontribusi terhadap perkembangan sains. Bagaimana kebijakan yang harus dibuat oleh negara-negara berpenduduk muslim agar sains berkembang. Berapa besar anggaran, bagaimana peneliti diperlakukan, apa yang harus dijadikan prioritas, bagaimana strategi untuk mengejar ketertinggalan, dan sebagainya.[30]

END NOTE

[1] Dr. Shamsher Ali et al, Scientific indication in Holy Qur’an, Islamic Foundation,

Bangladesh, page: xiv

[2] Tantawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim, Mustafa Halabi, Mesir, 1350 H.

[3] Maurice Bucaille, The Bible, The Qur’an and Science, hal. 77. Translated from French By Alastair D. Pannell and The Author.

[4] Teks Quran:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَات

[5][5] Teks Quran:

وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا

[6] Teks Quran:

وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

[7] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 2008

[8] Mubarak. W. I. (2011). Promosi kesehatan. Jogyakarta : Graha ilmu.

[9] Notoatmodjo, Soekidjo (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka cipta.

[10] ‘a posteriori’, yaitu yang melibatkan deduksi teori dari fakta dan pengalaman.

[11] ‘a priori’, yaitu sesuatu berkaitan dengan alasan atau pengetahuan yang berasal dari deduksi teoritis yang bukan dari pengamatan atau pengalaman.

[12] Maier, R. (2007). “Knowledge Management Systems Information and Communication Technologies for Knowledge Management.” In Springer (3rd ed.).

[13] Lagemaat, Richard van de (2006). Theory of Knowledge for the IB Diploma. Cambridge: Cambridge University Press.

[14] Pengertian ini adalah definisi lughawi yang dipilih dan dianggap sahih oleh Imam Syafi’i. Lihat, Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, hal. 1/276.

[15] Al-Mausuah al-Quraniyah al-Muyassarah, hal. 989, Darul Fikri, Lebanon.

[16] Mushaf al-Madinah an-Nabawiyah bi-Riwayah ad-Durr ‘an Abi Amr al-Bashri. Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd li-Thiba’ah al-Mushaf asy-Syarif. Halaman Jim (ج).

[17] Abdullah bin Yusuf Al-Judai, Al-Muqaddimat al-Asasiyah fi Ulum al-Quran, Muassasah Al-Rayyan, 2001.

[18] Maurice Bucaille, The Bible, The Qur’an and Science, hal. 96.

[19] Maurice Bucaille, ibid.

[20] Arifin S.Pd, “Sains dalam Kitab Suci Al-Qur’an,”  https://sman1baubau.sch.id/editorial/sains-dalam-kitab-suci-al-quran/. Diakses pada 15/12/2021.

[21] Quraish Shihab, Membumikan Alquran: Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992, hal 41-44.

[22] “Islam Anti Sains dan Teknologi? Quraish Shihab: Persepsi yang Jauh dari Kebenaran” Pikiran Rakyat (pikiran-rakyat.com), 8 Oktober 2021. Diakses pada 16 Desember 2021.

[23] “Pro-Kontra Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, Sindo News, Edisi 13 Februari 2015. Diakses dari sindonews.com pada 16 Desember 2021.

[24] Ziauddin Sardar, Explorations in Islamic Science, Mansell, London, 1989. P163-164.

[25] “Narasi Hubungan Islam dan Sains”, DetikNews edisi 14 Oktober 2019, diakses dari detik.com pada 17 Desember 2021.

[26] Tantawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim, Mustafa Halabi, Mesir, 1350 H, hal. 1/2. Teks ayat:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

[27] Al Faruqi, “Islamization of Knowledge: Problems, Principles and Prospective,” in Islam: Source and Purpose of Knowledge (Herndon: IIIT and Jeddah: King Abdul Aziz University, 1988),hal. 32.

[28] Ziauddin Sardar, loc.cit.

[29] Ziauddin Sardar, Explorations in Islamic Science, Mansell, London, 1989. hal. 163-164

[30] “Narasi Hubungan Islam dan Sains”, Detiknews, edisi 14 Oktober 2019. Diakses dari detik.com pada 24 Desember 2021.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Shamsher Ali et al, Scientific indication in Holy Qur’an, Islamic Foundation,

Bangladesh.

Dr. Hasanudin Abdurakhman, “Narasi Hubungan Islam dan Sains”, DetikNews edisi 14 Oktober 2019

“Islam Anti Sains dan Teknologi? ” Quraish Shihab: Persepsi yang Jauh dari Kebenaran Pikiran Rakyat (pikiran-rakyat.com), 8 Oktober 2021. Diakses pada 16 Desember 2021.

Maurice Bucaille, The Bible, The Qur’an and Science, hal. 77. Translated from French By Alastair D. Pannell and The Author.

“Pro-Kontra Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, Sindo News, Edisi 13 Februari 2015.

Quraish Shihab, Membumikan Alquran: Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1992.

Tantawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim, Mustafa Halabi, Mesir, 1350 H.

Ziauddin Sardar, Explorations in Islamic Science, Mansell, London, 1989. hal. 163-164.

Islamisasi Sains dan Ilmu Pengetahuan
Kembali ke Atas