Wanita Santri Kunci Sukses dalam Rumah Tangga
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Pondok Pesantren Putri Al-Khoirot
Dalam sebuah hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih), Nabi bersabda: “Wanita dinikah karena salah satu dari empat (pertimbangan): harta, keturunan, kecantikan fisik, agama (kecantikan batin). Maka pilihlah yang agamis (dzatiddin) supaya kamu beruntung.”
Pada kalimat pertama, Nabi hanya mengungkapkan fakta sosiologis yang dijadikan pertimbangan seorang lelaki dalam menikahi seorang wanita. Pada kalimat kedua, Nabi menganjurkan agar laki-laki memilih wanita agamis agar beruntung dalam membina keluarga. Itu artinya bahwa kecantikan batin hendaknya menjadi prioritas pertama dan utama sebelum pertimbangan yang lain. Wanita agamis dalam konteks Indonesia adalah wanita santri yaitu perempuan yang pernah belajar di pesantren dan komitmen dalam mengamalkan ajaran agama Islam.
Pertanyaan yang sering dikemukakan sebagian orang adalah apakah menikahi wanita santri akan menjamin terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah? Tentu saja tidak sembarang santri. Ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang wanita santri agar dapat membawa biduk rumah tangga menjadi sukses dalam konteks hubungan suami istri maupun dalam pendidikan keluarga.
Pertama, taat dan komitmen pada syariah. Ketaatan pada syariah pada gilirannya akan membuat seorang istri taat pada suami dan tidak pernah menentang selagi perintah suami benar dan tidak berlawanan dengan syariah. Rasulullah pernah ditanya tentang “siapa wanita terbaik?” Nabi menjawab, “Wanita yang dapat menyenangkan suami, menaati perintah suami, dan tidak pernah melawan suami dengan perilaku yang tidak menyenangkannya.” Dari hadits sahih riwayat Nasai ini Nabi membuat tiga kriteria wanita salehah yaitu (a) dapat menyenangkan suami karena perilaku, cara berinteraksi dan tampilannya yang agamis; (b) apabila suami sedang pergi, istri selalu menjaga diri dari fitnah dan menjaga harta suami dari konsumsi yang tidak perlu; (c) menaati perintah suami selagi bukan perinah maksiat.
Kedua, membantu suami dalam meningkatkan kualitas agamanya. Mendorong suami untuk selalu menaati perintah dan anjuran syariah dan melarang suami dengan tegas untuk tidak melakukan perbuatan yang haram. Ini merupakan poin krusial. Banyak suami yang asalnya baik kemudian menjadi jahat karena dorongan istri atau karena ketidakpedulian istri atas perilaku suami yang menyimpang. Istri agamis berfungsi tidak hanya mendidik anak, tapi juga “mendidik” suami terutama apabila suami memiliki wawasan dan komitmen keagamaan yang lemah. Abul Ala Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakpuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarah Sunan Tirmidzi (8/390) menyatakan “seorang istri yang santri hendaknya membantu suaminya untuk meningkatkan kualitas iman dan Islam-nya dengan cara mengingatkan suami untuk shalat, berpuasa dan ibadah wajib lain dan mencegahnya dari perbuatan zina dan perbuatan haram yang lain.
Ketiga, memiliki akhlak yang baik. Istri yang mengamalkan kewajiban agama dan menjauhi larangannya belum menjamin memiliki akhlak yang baik. Akhlak yang baik sama pentingnya dengan ketaatan pada syariah. Wanita santri yang memiliki akhlak yang baik akan selalu membuat senang suami, pintar dalam mendidik anak, pandai berinteraksi dengan mertua, tetangga, kerabat dan manusia yang lain. Karena wanita santri yang berakhlak memiliki kemampuan yang baik bagaimana cara bergaul dengan santun dan beretika. Untuk menjadi wanita santri yang berakhlak diperlukan pembelajaran dan pelatihan secara terus menerus dengan banyak bertanya, berkonsultasi, membaca dan mencoba. Salah satu caranya adalah belajar pada orang yang memiliki akhlak yang baik.
Jadi, pengertian agamis tidak hanya pintar agama tapi juga mencakup perilaku yang memenuhi standar etika universal.[]