Tauhid Uluhiyah dan Auto Syirik
Mengapa kalangan Salafi Wahabi (Sawah) dan ormas turunannya suka memakai istilah syirik dalam menilai orang lain yang di luar kelompoknya? artikel ini menjelaskan akar masalahnya.
Tauhid Uluhiyah menurut Wahabi dan Ahlussunnah
Oleh: A. Fatih Syuhud
Pemahaman Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) tentang tauhid uluhiyah sudah jelas: bahwa tauhid uluhiyah sama dengan tauhid rububiyah. Yakni, mengesakan Allah tanpa menyekutukannya dengan siapapun atau apapun. Begitu juga sebaliknya, tauhid rububiyah otomatis meliputi tauhid uluhiyah. Kedua istilah ini sering disebut secara berkelindan (bergantian) dalam Al-Quran maupun hadits. Misalnya, dalam QS Al-A’raf 7:172 Allah berfirman: “Tidakkah aku ini Rabb-mu?” Menurut Syeikh Alawi Al-Hadad, ayat ini meliputi tauhid rububiyah dan uluhiyah sekaligus.[1] Pandangan ini didukung oleh banyak dalil Al-Quran dan hadits sebagaiman sudah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya.[2] Salahsatunya adalah hadits sahih di mana Nabi bersabda: “Allah berfirman, “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu”,(QS.Ibrahim 14:27). Nabi bersabda, “Ayat ini turun mengenai azab kubur. Orang yang dikubur itu ditanya, “Siapa Rabb (Tuhan)-mu?” Lalu dia menjawab, “Allah Rabbku, dan Muhammad Nabiku.”[3] Hadits ini memberikan pengertian, bahwa Malaikat Munkar dan Nakir akan bertanya kepada si mayit tentang Rabb, bukan Ilah, karena kedua Malaikat tersebut tidak membedakan antara Rabb dengan Ilah atau antara Tauhid Uluhiyyah dengan Tauhid Rububiyyah.[4]
Namun menurut Wahabi, tauhid uluhiyah dan tauhid rububiyah adalah dua hal yang berbeda. Apa itu tauhid uluhiyah? Banyak definisi yang dibuat oleh mereka. Salah satu yang paling sederhana adalah “mengesakan Allah dalam ibadah.”[5] Ibnu Taimiyah sendiri mendefinisikannya sebagai berikut: “Tauhid yang diperintahkan Allah pada hambaNya adalah tauhid uluhiyah yang meliputi juga tauhid rububiyah yakni dengan cara menyembah Allah dan tidak menyekutukan (mensyirikkan) Allah pada apapun. Sehingga semua dien itu untuk Allah.”[6]
Dalam pernyataan Ibnu Taimiyah di atas secara implisit dapat dipahami bahwa muslim yang bertauhid uluhiyah sudah otomatis bertauhid rububiyah. Namun tidak sebaliknya, muslim yang bertauhid rububiyah belum tentu bertauhid uluhiyah. Hal ini ditegaskan dalam pernyataan Ibnu Taimiyah berikut: “Tauhid rububiyah saja tidak cukup dan tidak menghilangkan kekufuran.:[7]
Cakupan Teori Uluhiyah ala Wahabi
Tauhid uluhiyah yang berbeda dengan tauhid rububiyah ini dijadikan alat untuk secara lebih spesifik mengafirkan atau mensyirikkan mereka yang melakukan perbuatan yang menurut mereka bertentangan dengan konsep tauhid uluhiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab, pelopor gerakan Wahabi, memberikan penegasan secara khusus bahwa berdoa dengan cara tawasul melanggar tauhid uluhiyah. Pelakunya dianggap musyrik dan kafir yang halal darah dan hartanya. Ia menyatakan hal ini secara eksplisit dalam Kasyfusy Syubhat:
وتحققت أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – إنما قاتلهم ليكون الدعاء كله لله والنذر كله لله والذبح كله لله والاستغاثة كلها لله وجميع أنواع العبادة كلها لله وعرفت أن إقرارهم بتوحيد الربوبية لم يدخلهم في الإسلام وأن قصدهم الملائكة والأولياء يريدون شفاعتهم والتقرب إلى الله بذلك هو الذي أحل دماءهم وأموالهم عرفت حينئذٍ التوحيد الذي دعت إليه الرسل وأبى عن الإقرار به المشركون
Setelah engkau pastikan bahwa Rasulullah memerangi kaum musyrik supaya berdoa hanya kepada Allah, bernadzar hanya kepada Allah, menyembelih hanya kepada Allah, meminta tolong hanya kepada Allah dan sekalian ibadah hanya kepada Allah dan telah kamu ketahui bahwa pengakuan mereka dengan tauhid Rububiyyah tidaklah memasukkan mereka dalam agama Islam dan tujuan mereka kepada para Malaikat dan para Auliya` adalah untuk meminta syafa’at mereka dan pendekatan diri kepada Allah dengan cara demikian merupakan hal yang menghalalkan darah dan harta mereka. Dapatlah kamu ketahui ketika itu tauhid yang diajak oleh para Rasul dan enggan diakui oleh kaum musyrik.[8]
Yang Dianggap Perbuatan Syirik oleh Wahabi
Ada beberapa perbuatan yang oleh kalangan Salafi Wahabi dianggap berlawanan dengan tauhid uluhiyah versi mereka. Sehingga termasuk perilaku syirik dan pelakunya dianggap musyrik yang keluar dari Islam. Berikut beberapa di antaranya:
Pertama, tawasul. Tawasul adalah menjadikan perantara antara manusia dan Allah. Berdoa dengan cara tawasul memiliki dasar dalil yang kuat dan disepakati bolehnya oleh mayoritas ulama madzhab empat. Al-Alusi (wafat, 1270 H/1854 M) dalam Tafsirnya mengutip pendapat Tajuddin Al-Subki (wafat, 771 H/1370 M) menyatakan: “Tawassul dan istighosah dengan Nabi kepada Allah itu baik dan tidak ada satupun ulama salaf dan khalaf yang mengingkarinya. Kecuali Ibnu Taimiyah yang telah merubahnya dari jalan yang lurus. Ia mengada-ngada sesuatu yang tidak diucapkan oleh seorang alim dan menyebabkan pertentangan di kalangan umat.[9]
Pandangan Tajuddin Al-Subki atas bolehnya tawasul ini didukung oleh sejumlah dalil dari Al-Quran dan hadits. Dari Al-Quran, misalnya, disebutkan dalam QS An-Nisa 4:64 “Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka.”[10] Kemudian kisah Nabi Yusuf dalam QS Yusuf 12:97-98 di mana Nabi Yusuf dan saudaranya bertawasul pada ayahnya untuk meminta ampun pada Allah “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).[11]
Imam Ahmad bin Hanbal (wafat, 241 H/855 M), pendiri madzhab Hanbali, termasuk pengamal tawasul. Ibnu Muflih meriwayatkan bahwa Ahmad bin Hanbali selalu bertawasul pada Nabi dalam setiap doanya.[12] Putra Ahmad bin Hanbal bernama Abdullah meriwayatkan ucapan ayahnya sebagai berikut: “Aku mendengar ayahku berkata: “Aku berhaji lima kali dua kali berkendara, tiga kali berjalan kaki atau dua kali berjalan kaki tiga kali berkendara. Lalu aku tersesat jalan pada haji yang berjalan kaki. Lalu aku berkata: Wahai Hamba Allah, tunjukkan kami jalan! Aku selalu mengatakan kalimat tersebut sampai aku menemukan jalan.”[13]
Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali dalam fikih dan akidah, adalah madzhab yang diikuti oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab. Namun kemudian hari mereka keluar dari madzhab ini dan membuat kelompok baru bernama Salafi Wahabi. Nasiruddin Al-Albani, salah satu tokoh Wahabi, menyatakan: “Kami bukanlah golongan madzhab Ahmad bin Hanbali. Kami menghormati para Imam dan mengambil manfaat dari ilmu mereka. Akan tetapi kami tidak menyerahkan kepemimpinan akidah kami pada mereka kecuali yang jelas benarnya.”[14]
Kedua, tabarruk. Tabaruk atau mengharap berkah (kebaikan) dari orang saleh yang hidup atau yang sudah mati termasuk dianggap syirik oleh kaum Wahabi. Bagi Wahabi, tabaruk boleh hanya pada Nabi, itupun saat Rasul masih hidup. Di luar itu syirik. Abdul Aziz Bin Baz menyatakan: “Tabaruk tidak boleh pada seorangpun selain Nabi, tidak pada air wudhunya, rambutnya, keringatnya atau bagian manapun dari tubuhnya. Ini hanya khusus pada Nabi saat Allah menjadikan tubuh Nabi penuh kebaikan dan barokah. Oleh karena itu, tidak boleh bertabaruk pada Sahabat Nabi saat hidup dan matinya. Tidak boleh bertabaruk setelah wafatnya Nabi, Khulafaur Rasyidin dan Sahabat yang lain. … karena hal itu menjadi perantara pada kesyirikan.”[15]
Kalangan ulama Ahlussunnah tidak melarang tabaruk pada orang saleh. Bukan hanya itu, bertabaruk bahkan sudah menjadi amalan mereka. Al-Khatib Al-Baghdadi mengisahkan: “Sayid Muhamad bin Idris As-Syafi’i (Imam Syafi’i) berkata: Aku bertabaruk pada Abu Hanifah. Aku datang ke kuburnya setiap hari. Saat aku ada keinginan tertentu, aku shalat dua rakaat lalu mendatangi makamnya dan meminta pada Allah di sisi makamnya agar Allah memenuhi keinginanku. Dan tak lama kemudian keinginanku terkabul.”[16]
Ibnul Jawzi, salah satu ulama madzhab Hambali, dalam mengisahkan Ibrahim Al-Harbi berkata: “Al-Harbi wafat di Baghdad tahun 285 hijriah. Makamnya jelas. Banyak orang datang untuk mengharap barokah (tabaruk).”[17]
Mulla Ali Al-Qari mengutip gurunya Al-Jazari menyatakan: “Aku berziarah ke makam Imam Muslim di Nisapur. Aku membaca sebagian Sahih Muslim untuk mendapat tabaruk di sisi kuburnya. Aku merasakan keberkahan dan harapan terpenuhi di makamnya.”[18]
Ketiga, istighosah. Istighatsah adalah meminta tolong pada sesama manusia baik yang masih hidup atau yang sudah mati. Umumnya istigosah dilakukan pada Rasulullah, para wali atau orang saleh yang sudah wafat. Wahabi menganggap istigotsah termasuk kegiatan syirik karena berlawanan dengan konsep tauhid uluhiyah mereka. Termasuk istighasah pada Nabi Muhammad apabila dilakukan setelah wafatnya Nabi. Ulama Wahabi, Bin Baz, menyatakan: “Istighasah saat Rasulullah masih hidup dan pada perkara yang beliau mampu itu boleh… sedangkan istigosah setelah wafatnya Nabi maka tidak boleh baik kepada Rasul atau pada lainnya. Istigosah pada orang mati hukumnya kufur pada Allah dan syirik besar.”[19]
Menurut ulama Ahlussunnah, istighosah dalam arti ibadah (menyembah) tentu tidak dilakukan kecuali pada Allah. Sedangkan istighosah pada makhluk itu bukanlah ibadah akan tetapi merupakan permintaan tolong atas sebab. Syamsuddin Al-Jazari (wafat, 1429 M/833 H) menyatakan: “Keyakinan tauhid termasuk kewajiban Islam. Apabila kita melihat seorang muslim istigosah (meminta tolong) pada seorang makhluk, maka kita tahu secara pasti bahwa dia tidaklah menyekutukan makhluk tersebut dengan Allah. Itu adalah bentuk meminta tolong atau menghadap Allah dengan barokah makhluk tersebut.”[20]
Keempat, meminta syafaat pada Nabi atau orang yang sudah mati. Menurut Abdul Aziz bin Baz perilaku ini juga termasuk perbuatan syirik. Ia menyatakan: “Meminta syafaat (pertolongan) pada Nabi atau orang mati yang lain itu tidak boleh. Ini termasuk syirik besar karena Nabi tidak memiliki kemampuan apapun sesudah wafatnya.”[21]
Pandangan Wahabi di atas berlawanan dengan hadis sahih dari Usman bin Hunaif berikut: Seorang buta menemui Nabi lalu berkata, “Doakan saya agar Allah menyembuhkan saya.” Nabi bersabda, “Jika kau mau, aku akan berdoa untukmu, dan jika kau mau bersabar, itu lebih baik buatmu.” Ia berkata, “Doakanlah.” Lalu Nabi menyuruhnya berwudhu dan memperbagus wudhunya (lalu shalat dua rakaat) dan berdoa dengan doa ini, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu dan menghadap kepadaMu dengan Nabi kami Muhammad, Nabi pembawa rahmat. (Ya Muhammad), sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanmu (Tuhanku), agar memenuhi keperluanku ini. Ya Allah, jadikanlah ia penolongku (pemberi syafaatku).”[22]
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bolehnya tawasul dan meminta syafaat pada Nabi. Tentunya dalam kapasitas Nabi sebagai sebab atau perantara. Apabila boleh meminta syafaat pada Nabi saat beliau hidup, maka boleh juga meminta syafaat saat Nabi wafat. Karena a) tidak ada dalil yang melarangnya; b) semua Nabi pada dasarnya hidup di alam barzakh sebagaimana disebut dalam hadis riwayat Muslim tentang Isra dan Mi’raj; c) pemberi syafaat hakiki adalah Allah, bukan makhluk-Nya. Mengaitkan tercapainya keinginan pada makhluk bersifat majazi.[23]
Bagi ulama Ahlussunnah, tawasul, tabaruk, istighosahn dan meminta syafaat pada orang yang masih hidup atau yang sudah mati itu tidak terkait dengan tauhid uluhiyah. Dan tidak dilarang. Perbuatan yang bertentangan dengan tauhid uluhiyah hanya satu: yakni apabila muslim menyembah selain Allah seperti perilaku non-muslim selain Ahli Kitab, atau menyembah Allah bersamaan dengan menyembah yang selain Allah seperti yang dilakukan kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).[24] Bagi ulama Ahlussunnah, hal-hal di atas tidak masuk ke dalam ranah akidah, melainkan termasuk dalam kategori masalah furuiyah atau fikih. Sehingga hukumnya berkisar antara haram, halal, mubah, sunnah atau makruh. Bukan syirik atau tidak syirik. Ini disebabkan oleh fakta bahwa seorang yang membaca dua kalimah syahadat, maka dia sudah otomatis menjadi muslim dan mukmin yang bertauhid (mengesakan Allah). Dalam hadis sahih riwayat Bukhari Nabi bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi manusia kecuali apabila mereka membaca dua kalimah syahadat.”[25] Dalam hadis muttafaq alaih Nabi bersabda: “Barang siapa bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu baginya, bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, bahwa Nabi Isa adalah Hamba Allah, Rasul-Nya, kalimat-Nya yang dia sampaikan kepada Maryam dan ruh dariNya, bahwa surga adalah, maka niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga sesuai dengan amal yang dia lakukan.”[26][]
ENDNOTE
[1] Alawi bin Ahmad Al-Haddad, Misbahul Anam wa Jala’ Al-Zholam fi Raddi Syibhil Bida’i An-Najdi allazhi Adhalla biha Al-Awam, hlm. 17.
[2] “Tauhid Rububiyah menurut Wahabi Salafi dan Ahlussunnah”, dan “Tauhid Rububiyah (2): Firaun pun Bertauhid”, fatihsyuhud.net
[3] HR. Muslim. Teks asal: عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ عَنْ النَّبِيِّ قَال : يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ قَالَ نَزَلَتْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ فَيُقَالُ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ رَبِّيَ اللهُ َنَبِيِّي مُحَمَّدٌ
[4] “Mengkritisi Konsep Tauhid Ibnu Taimiyah”, LBM PCNU Jember, https://www.konsultasisyariah.in/2018/04/mengkritisi-konsep-tauhid-ibnu-taimiyah.html
[5] Rasail Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd fil Aqidah, hlm. 2/2.
[6] Ibnu Taimiyah, Minhajus Sunnah, hlm. 2/62. Teks asal: وإنما التوحيد الذى أمر الله به العباد هو توحيد الألوهية المتضمن توحيد الربوبية ، بأن يعبدوا الله ولا يشركوا به شيئاً فيكون الدين كله لله
[7] Ibnu Taimiyah, Risalatu Ahlis Shuffah, hlm. 34. Teks asal: توحيد الربوبية وحده لا ينفى الكفر ولا يكفى
[8] Khalid bin Abdullah bin Muhammad Al-Mushlih, Syarah Kasyfus Syubuhat, hlm. 3/2.
[9] Al-Alusi, Tafsir Al-Alusi (Ruhul Maany), hlm. 6/126. Teks asal: وقد شنع التاج السبكي – كما هو عادته – على المجد (ابن تيمية) فقال: ويحسن التوسل والأستغاثة بالنبي(صلى الله عليه وآله) إلى ربه ولم ينكر ذلك أحد من السلف والخلف حتى جاء ابن تيمية فأنكر ذلك وعدل عن الصراط المستقيم وابتدع ما لم يقله عالم وصار بين الأنام مثلة
[10] QS An-Nisa 4:64. Teks asal: وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُوا أَنفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّـهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّـهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
[11] QS Yusuf 12:97-98. Teks asal: قَالُوا يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي ۖ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
[12] Ibnu Muflih, Al-Mubdi’ Syarh Al-Muqni’, hlm. 2/207. Teks asal: إنه يتوسل بالنبي (صلى الله عليه وسلم) في دعائه وجزم به في «المستوعب» وغيره
[13] Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Masail, hlm. 217.
[14] “هل صح عن الإمام أحمد بن حنبل أنه أجاز التوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم”, http://majles.alukah.net/t135479/. Teks asal:
لأننا لسنا أحمديين ، وإنما كما سبق أن قلت آنفًا : نحن نقدر هؤلاء الأئمة ونجلهم ونستفيد من علمهم ومناهجهم ، لكننا لا نُسَلِّم قيادة عقيدتنا وأركاننا لهم ، إلا من تبين لنا أن الحق معهم
[15] Abdul Aziz bin Baz, Fatawa Nur alad Darb, hlm. 9/105. Teks asal: لا يجوز التبرك بأحد غير النبي صلى الله عليه وسلم … لأن ذلك وسيلة إلى الشرك وعبادة غير الله
[16] Al-Khatib Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, hlm. 1/123. Teks asal: كان سيدنا محمد بن إدريس الشافعي رضي الله عنه يقول: إني لأتبرك بأبي حنيفة وأجيء إلى قبره في كل يومٍ فإذا عرضت لي حاجةٌ صليت ركعتين وجئت إلى قبره وسألت الله تعالى الحاجة عنده فما تبعد عني حتى تقضى
[17] Ibnul Jawzi Al-Hanbali, Shifat as-Shofwah, hlm. 2/410. Teks asal: وتوفي في بغداد سنة خمسٍ وثمانين ومائتين وقبره ظاهرٌ يتبرك الناس به رضي الله عنه
[18] Nuruddin Mulla Ali Al-Qari, Mirqat Al-Mafatih Syarah Miskat Al-Masabih, hlm. 1/19. Teks asal: قال شيخ مشايخنا علامة العلماء المتبحرين شمس الدين بن الجزري في مقدمة شرحه للمصابيح: إني زرت قبره بنيسابور (يعني الإمام مسلم بن الحجاج القشيري) وقرأت بعض صحيحه على سبيل التيمن والتبرك عند قبره، ورأيت آثار البركة ورجاء الإجابة في تربته
[19] Abdul Aziz Bin Baz, Fatawa Nur alad Darb, hlm. 2/80. Teks asal: السؤال: هل تجوز الاستغاثة بالرسول ؟ الجواب: أما في حياته فيما يقدر عليه فلا بأسأما بعد الوفاة فلا، لا يستغاث بأحد لا الرسول ولا غيره أما طلب الأموات والاستغاثة بالأموات هذا كفر بالله، شرك أكبر
[20] Syamsuddin Al-Jazari, Syarih Minhaj Al-Imam Al-Baidhawi, mengutip dari Najmuddin At-Tufi dalam Al-Isyarat Al-Ilahiyah fil Mabahits Al-Ushuliyah, hlm. 3/90. Teks asal: اعتقاد التوحيد من لوازم الإسلام؛ فإذا رأينا مسلمًا يستغيث بمخلوق علمنا قطعًا أنه غير مشرك لذلك المخلوق مع الله عز وجل، وإنما ذلك منه طلبُ مساعدةٍ أو تَوَجُّهٌ إلى الله ببركة ذلك المخلوق
[21] Abdul Aziz bin Baz, Fatawa Nur alad Darb, hlm. 1/392. Teks asal: طلب الشفاعة من النبي صلى الله عليه وسلم أو من غيره من الأموات لا يجوز ، وهو شرك أكبر عند أهل العلم ؛ لأنه لا يملك شيئاً بعدما مات عليه الصلاة والسلام
[22] HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim, Ibnu Khuzaimah, Tabrani, Ibnu Sunni. Hadis ini sahih menurut Tabrani, Ibnu Khuzaimah, Tirmidz dan Hakim.Teks doa tawasul dan meminta syafaat dari hadis di atas sbb: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ فَتَقْضِي وَتُشَفِّعُنِي فِيهِ وَتُشَفِّعُهُ فِيَّ قَالَ فَكَانَ يَقُولُ هَذَا مِرَارًا ثُمَّ قَالَ بَعْدُ أَحْسِبُ أَنَّ فِيهَا أَنْ تُشَفِّعَنِي فِيهِ قَالَ فَفَعَلَ الرَّجُلُ فَبَرَأَ
[23] Daud bin Sulaiman An-Naqsyabandi, Naht Hadid Al-Batil, hlm. 55. Teks: وفي نسخة : ” لتَقضي ” بصيغة الفاعل ، أي : لتقضي أنت يا رسول الله الحاجة لي . والمعنى : لتكون سبباً لحصول حاجتي و وصول مرادي ، فالإسناد مجازي .
[24] QS At-Taubat 9:30 “Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putera Allah dan orang-orang Nasrani berkata: Al Masih itu putera Allah.”
[25] HR Bukhari. Teks asal: أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأني رسول الله
[26] HR Bukhari dan Muslim. Teks asal: عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : من شهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له ، وأن محمداً عبده ورسوله ، وأن عيسى عبد الله ورسوله وكلمته ألقاها إلى مريم وروح منه . والجنة حق ، أدخله الله الجنة على ما كان من العمل