fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Ideologi Nahi Munkar

Ideologi nahi munkar

Ideologi Nahi Munkar

Oleh: A. Fatih Syuhud

Amar makruf nahi munkar atau menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran) adalah perintah syariah. Seruan ini tertuang jelas dalam QS  Ali Imran 3:104 “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.”[1] Seruan ini kembali diulang pada QS Ali Imran 3:110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar.”[2] Hal yang sama juga disebut dalam QS Al-Haj 22:41 “Mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar.”[3] Perintah yang kurang lebih sama terdapat juga dalam  QS Al-Ashr 103:2-3 “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

Khusus dalam masalah nahi munkar Nabi bersabda: “Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangan, apabila tidak mampu rubahlah dengan lisan, apabila tidak bisa maka dengan hati. Itu adalah selemah-lemahnya iman.  Dalam tulisan ini, sebutan amar makruf nahi munkar akan disingkat menjadi ‘nahi munkar’ saja.

Hukum Nahi Munkar: Wajib, Haram, Makruh, Sunnah

Dari dalil naqli di atas, dapat dipahami bahwa amar makruf nahi munkar adalah perbuatan yang disyariatkan dalam Islam. Namun, ulama berbeda pendapat tentang status hukumnya. Ibnu Asyur menjelaskan bahwa QS Ali Imran 3:104 bermakna wajib. Karena, kalimat “waltakun” merupakan bentuk amar (perintah) yang berasal dari fi’il amar if’alu (افعلوا). Menurut Ibnu Asyur, amar makruf nahi munkar tidak dikenal sebelum turunnya ayat ini. Oleh karena itu, perintah pada ayat tersebut menunjukkan wajib.[4]

Pandangan wajibnya didukung oleh mayoritas ulama (jumhur).  Apakah wajib di sini bermakna fardhu kifayah atau farhu ain? Imam Nawawi menjelaskan: “Amar makruf nahi munkar adalah fardhu kifayah. Apabila ada sebagian orang yang melakukannya maka gugurlah dosa yang lain. Apabila tidak ada seorangpun yang melakukannya, maka berdosalah semua yang bisa melakukannya tanpa adanya udzur dan takut. Terkadang hukumnya fardhu ain. Seperti apabila seseorang berada di suatu tempat yang tidak ada yang tahu tempat itu kecuali dia, atau tidak bisa menghilangkan kemungkaran kecuali dia. Atau seperti pria yang melihat istri atau anak atau pembantunya melakukan kemungkaran atau sembrono dalam melakukan kebaikan.”[5]

Kendatipun nahi munkar wajib hukumnya bahkan fardhu ain dalam kondisi tertentu, namun itu bukan harga mati yang harus dilakukan secara mutlak dalam situasi apapun. Ibnu Athiyah, seperti dikutip Al-Qurtubi, menyatakan: “Nahi munkar wajib secara ijmak bagi mereka yang mampu melaksanakannya dan aman dari kemudaratan bagi dirinya dan bagi umat Islam secara umum. Apabila ia takut atau kuatir untuk melakukannya, maka ia hendaknya mengingkari dengan hati dan menjauhi pelakunya dan tidak bergaul dengannya.”[6]

Menurut Imam Ghazali, nahi munkar bisa berubah hukumnya menjadi haram dalam dua keadaan. Pertama, apabila pelaku nahi munkar adalah orang bodoh yang tidak bisa membedakan antara baik dan buruk. Haram bagi orang semacam ini karena bisa berpotensi menyuruh pada hal munkar dan mencegah dari kebaikan. Kedua, apabila dapat menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Seperti mencegah orang minum khamar kemudian larangan tersebut berakibat terjadinya pembunuhan.[7]

Nahi munkar bisa berubah hukumnya menjadi makruh apabila dapat berakibat terjadinya perkara makruh. Dan hukumnya sunnah apabila mencegah seseorang untuk meninggalkan perkara sunnah atau mencegah seseorang agar tidak melakukan perkara makruh.[8]

Hukum nahi munkar dapat bersifat kondisional atau dirinci apabila level maslahah (manfaat) dan mafsadah (kerusakan) yang ditimbulkan itu setara. Karena, memastikan terjadinya maslahah dan menolak kerusakan itu harus menjadi prioritas dalam melaksanakan nahi munkar. Jika berpotensi akan menghasilkan maslahah dan mafsadah pada waktu yang sama, maka a) apabila memungkinkan terjadinya maslahah dan dapat menghindari mafsadah, maka nahi munkar hendaknya dilakukan. Berdasarkan pada perintah Allah pada QS At-Taghabun 64:16[9]; b) namun apabila tidak memungkinkan untuk menghindari mafsadah, maka nahi munkar hendaknya tidak dilakukan. Dengan kata lain, menolak mafsadah harus didahulukan walaupun berakibat tidak tercapainya maslahah.[10]

Syarat Nahi Munkar

Ulama menegaskan bahwa walaupun nahi munkar itu wajib, namun ada empat syarat yang harus terpenuhi yang apabila salah satu tidak terpenuhi maka tidak wajib baginya untuk melakukannya.

Pertama, harus berupa perkara munkar yang pasti. Dalam arti hal tersebut betul-betul dilarang terjadi secara syariah. Imam Ghazali berkata: “Mungkar itu lebih umum dari maksiat. Karena, orang yang melihat anak kecil atau orang gila meminum khamar maka wajib baginya untuk mencegahnya … walaupun hal itu bukan maksiat apabila dilakukan oleh keduanya karena bukan mukallaf.[11]

Kedua, perkara munkar itu terjadi pada saat sekarang. Dalam arti, si pelaku terus menerus melakukan kemunkaran. Oleh karena itu, termasuk pengecualian apabila a) ada orang yang selesai dari minum khamar dan saat ini tidak lagi melakukannya; b) mengetahui bahwa akan ada orang yang berencana meminum khamar pada malam nanti, misalnya, maka tidak boleh kita melakukan apapun kecuali nasihat. Apabila ternyata dia tidak mengakui tujuannya maka tidak boleh menasihatinya. Karena itu berarti berburuk sangka pada sesama muslim.[12]

Ketiga, perilaku pencegahan yang hendak kita lakukan diyakini tidak akan berakibat kemungkaran yang lebih besar.[13]

Keempat, perkara mungkar tersebut dimaklumi kalangan awam tanpa perlu ijtihad. Di mana keharaman dari perkara mungkar tersebut sudah disepakati (ijmak) seluruh ulama dan menjadi pengetahuan umum.[14] Seperti haramnya zina, korupsi, minum khamar dan membunuh. Dengan demikian, perkara haram yang masih jadi perselisihan ulama tidak perlu dicegah. Seperti masalah rokok, musik dan gambar.[15] Adapun perkara ijmak yang  terkait masalah detail yang tidak diketahui secara luas, maka hanya kalangan ulama saja yang boleh melakukan nahi munkar.[16]

Tingkatan dan Standar Prosedur Nahi Munkar

Saat melakukan upaya nahi munkar, ada prosedur standar yang harus dilalui dan ditaati sehingga perbuatan nahi mungkar dapat membuahkan hasil yang baik atau minimal tidak mengakibatkan kemungkaran lain yang lebih besar.

Tingkat pertama, mengingatkan. Orang awam terkadang melakukan perbuatan dosa di luar kesengajaan. Oleh karena itu, hendaknya mereka diingatkan dan diberitahu dengan cara yang lembut.[17]

Tingkat kedua, mencegah dengan nasihat dengan mengingatkan agar takut pada Allah dengan mengutip dalil Quran, Sunnah dan mengisahkan perilaku teladan tokoh muslim di masa lalu. Ini dilakukan pada orang yang mengerti atas keharamannya. Bagi pelaku nahi munkar nasihat harus diungkapkan dengan cara yang baik, sabar dan lembut tanpa kekerasan atau kesan marah.[18] Yang tidak kalah pentingnya adalah pelaku nahi munkar harus memastikan untuk mengevaluasi diri sendiri lebih dahulu sebelum mengoreksi perbuatan orang lain seperti disebut dalam QS At-Tahrim 66:6.[19]

Tingkat ketiga, mencegah dengan ucapan. Tahap ini dilakukan pada orang yang tidak mempan dinasihati dan diperingatkan dengan lembut. Bahkan, ia tetap melakukan kemungkaran dan meremehkan nasihat dan anjuran. Namun, bagi pelaku nahi munkar tetap diharuskan untuk menjaga etika bicara dan tidak berlebihan dalam mengutarakan nasihat serta tidak berbohong sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim dalam QS Al-Anbiya 21:67 “Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?”[20]  Dengan kata lain, ucapan pencegahan pada tahapan ini diucapkan dengan tekanan yang lebih tegas.[21]

Tingkat keempat, merubah kemungkaran dengan tangan. Seperti menumpahkan minuman keras, mengeluarkan pelaku kemungkaran dari rumah yang dicuri. Terkait tahapan keempat ini ulama memberi dua syarat: pertama, hendaknya tidak merubah kekerasan secara langsung dengan kekerasan. Kecuali apabila kita tidak mampu memaksanya untuk menghentikan kemungkaran tersebut. Misalnya, apabila kita bisa memaksanya keluar dari rumah yang dicurinya maka hendaknya tidak menggunakan cara-cara yang bersifat kekerasan fisik. Kedua, terhadap peminum miras, maka dalam membuang air miras tidak sampai berakibat pecahnya gelas atau botol mirasnya apabila memungkinkan. Apabila tidak memungkinkan, maka boleh memecah wadah miras. Menurut Ibnu Qudamah, perbuatan merubah kemungkaran dengan tangan, seperti dalam kasus peminum khamar atau mengusir pencuri dari rumah yang dicurinya, adalah hak eksklusif bagi pemerintah, tidak boleh bagi individu rakyat.[22]

Kesimpulan

Nahi munkar adalah kewajiban bagi pemerintah dan individu muslim. Wahbah Zuhaili menyatakan: “Allah mewajibkan penguasa dan individu muslim untuk menegakkan kewajiban amar makruf dan nahi munkar. Karena itu termasuk menegakkan perintah Allah dan menghancurkan setiap hal yang berlawanan dengan ajaran Islam dan termasuk kewajiban negara yang terpenting sebagaimana disebut Al-Mawardi dan lainnya.”[23]

Namun, individu muslim yang hendak mengamalkan nahi munkar harus memahami tata cara, syarat dan prosedur standarnya secara mendalam agar tidak terjerumus pada kemungkaran yang sama atau bahkan berakibat pada mafsadah yang lebih besar. Dr. Muhammad Za’bi, Mufti Yordania, menyatakan: “Memerangi dan merubah kemungkaran membutuhkan pemahaman  agama yang detail dan mendalam sehingga membuahkan hasil yang baik dan tidak mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar. Ada sebagian orang atau golongan yang berusaha memberantas kemungkaran dengan tangannya hanya berdasarkan pada zahirnya hadits tanpa memperhitungkan akibat buruknya .”[24]

Yang terpenting digarisbawahi adalah bahwa individu atau golongan muslim yang merasa memenuhi syarat-syarat di atas ketika hendak melakukan nahi munkar maka wajib baginya memahami bahwa batas hak dan kewajiban melakukan nahi munkar berakhir ketika suatu kemungkaran tertentu menjadi hak eksklusif negara untuk menanganinya. Dengan kata lain, semangat nahi mungkar tidak boleh menjadi alat untuk main hakim sendiri apapun alasannya. Karena, ketika suatu individu atau golongan tertentu berani melewati batasan ini, maka berarti dia telah a) membuka pintu mafsadah yang jauh lebih besar daripada manfaatnya dalam segi kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat); b) itu termasuk melawan atau membangkang pada negara (al-khuruj alal hakim) yang hukumnya haram.[]

Catatan Akhir:

[1] QS Ali Imran 3:104. Teks: وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

[2] QS Ali Imran 3:110. Teks: كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ

[3] HR Muslim dari Abu Said Al-Khudri. Teks hadis: مَن  رَأى مِنكُم مُنكَرَاً فَليُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطعْ فَبِقَلبِه وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإيمَانِ

[4] Ibnu Asyur, At-Tahrir wat Tanwir, hlm. 4/37. Teks asal: وصيغة ولتكن منكم أمة صيغة وجوب لأنها أصرح في الأمر من صيغة افعلوا لأنها أصلها . فإذا كان الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر غير معلوم بينهم من قبل نزول هذه الآية ، فالأمر لتشريع الوجوب

[5] An-Nawawi, Syarah Muslim, hlm. 2/23. Teks asal: ثم إن الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر فرض كفاية إذا قام به بعض الناس سقط الحرج عن الباقين، وإذا تركه الجميع أثم كل من تمكن منه بلا عذر ولا خوف، ثم إنه قد يتعين كما إذا كان في موضع لا يعلم به إلا هو، أو لا يتمكن من إزالته إلا هو، وكمن يرى زوجته أو ولده أو غلامه على منكر أو تقصير في المعروف.

[6] Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, hlm. 6/253. Teks asal: والإجماع منعقد على أن النهي عن المنكر فرض لمن أطاقه وأمن الضرر على نفسه وعلى المسلمين ، فإن خاف فينكر بقلبه ويهجر ذا المنكر ولا يخالطه

[7] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hlm. 2/428.

[8] Al-Ghazali, ibid.

[9] QS Al-Taghabun 64:16 “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”

[10] Berdasarkan kaidah fikih: “Menghindari kerusakan didahulukan dari mencapai kebaikan.”  Teks: درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

[11] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hlm. 2/414.

[12] Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhaj Al-Qasidin, hlm. 117.

[13] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hlm. 2/428

[14] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hlm. 2/416.

[15] An-Nafrawi, Al-Fawakih Ad-Dawani ala Risalat Ibni Abi Zaid Al-Qairawani, hlm. 2/392. Teks asal: يشترط كي يتغير المنكر أن يكون المنكر مجمعاً على تحريمه، أو يكون مدرك عدم التحريم فيه ضعيفاً

[16] Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 17/258.

[17] QS Ali Imran 3:150; Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 117; Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, hlm. 17/265.  An-Nawawi, Syarah Muslim, hlm. 2/24. Teks asal: وينبغي للآمر بالمعروف والناهي عن المنكر أن يرفق ليكون أقرب إلى تحصيل المطلوب

[18] Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin, hlm. 118

[19] QS At-Tahrim 66:6 Teks: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ

[20] QS Al-Anbiya 21:67. Teks asal:أُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّـهِ ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

[21] Ibnu Qudamah, Muktashar Minhaj Al-Qashidin, hlm. 118; Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 17/266.

[22] Ibnu Qudamah, ibid, hlm.129. Teks asal: إنما يجوز مثل ذلك للولاة، ولا يجوز لآحاد الرعية بخلفاء والاجتهاد فيه

[23] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, hlm. 8/6370.

[24] “Al-Munkar: Maratib  Taghyirihi”, aliftaa.jo

Kembali ke Atas