Saudah binti Zamah
Istri kedua setelah meninggalnya Khadijah binti Khuwailid adalah Saudah binti Zam’ah. Ia termasuk perempuan dari suku Quraish yang masuk Islam sejak pertama risalah Nabi Muhammad.
Oleh A. Fatih Syuhud
Sepeninggal Khadijah binti Khuwailid, Nabi membutuhkan seorang pendamping di samping untuk mengurus rumah tangga juga untuk mengasuh Fatimah, putri Nabi yang masih kecil. Maka, ketika Saudah binti Zam’ah ditawarkan pada Nabi, beliau tidak menolak walaupun Saudah bukanlah perempuan yang cantik. Siapakah Saudah binti Zam’ah?
Ayahnya bernama Zam’ah bin Qais berasal dari klan Amir bin Luay yang termasuk dari suku Quraish di Makkah. Sedangkan ibunya Shamus binti Qais berasal dari klan Najjar yang termasuk dari suku Khazraj di Madinah.
Sebelum menikah dengan Rasulullah, Zam’ah menikah dengan As-Sakran bin Amr dan memiliki enam putra. Ketika Saudah masuk Islam dan berbaiat pada Nabi, suaminya juga ikut masuk Islam. Saudah dan suaminya lalu hijrah ke Habasyah (sekarang Ethiopia). Ia adalah perempuan pertama yang hijrah ke negera Raja Najasyi ini. Namun beberapa tahun kemudian ia kembali ke Makkah. Setelah suaminya wafat di Makkah, Saudah hanya tinggal dengan ayahnya yang sudah sangat tua.
Nabi menikahi Saudah pada bulan Ramadhan tahun ke-10 setelah kenabian atau bulan April/Mei 620 masehi, beberapa tahun setelah wafatnya Khadijah. Menurut satu pendapat pada tahun ke-8 hijrah . Usia Saudah saat itu sekitar 27 atau 37 tahun, sedangkan Nabi berusia 50 tahun. Adapun maskawinnya sekitar 400 dirham atau 1190 gram perak atau sekitar Rp. 13.000.000 (tiga belas juta rupiah) . Nabi lalu hijrah dengan Saudah ke Madinah.
Saudah meriwayatkan lima hadits Nabi. Kalangan perawi hadits yang meriwayatkan hadits langsung darinya antara lain Abdullah bin Abbas, Yahya bin Abdullah Al-Anshari. Sedangkan perawi hadits yang meriwayatkan hadits untuknya adalah Abu Daud, Nasai dan Bukhari. Ayat hijab juga turun karena Saudah. Ia dikenal sebagai perempuan dermawan yang banyak memberikan sedekah. Ia juga dikenal baik hati terhadap istri Nabi yang lain. Misalnya, ia rela memberikan waktu kunjungan Nabi untuknya pada Aisyah.
Saudah wafat pada akhir masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Satu pendapat menyatakan ia wafat di Madinah pada bulan Syawal tahun 54 hijrah pada masa khilafah Muawiyah. Ketika Saudah wafat, Abdullah bin Abbas bersujud. Saat ditanya kenapa dia lakukan itu, Ibnu Abbas menjawab: Rasulullah bersabda, “Apabla kamu melihat suatu peristiwa besar, maka bersujudlah!” Maksudnya adalah bahwa wafatnya istri Nabi adalah peristiwa yang besar.
Hikmah yang dapat diambil dari pernikahan Rasulullah dengan Saudah adalah, pertama, seorang lelaki yang ditinggal mati istrinya hendaknya segera menikah kembali untuk menjaga keteraturan hidup dan mengurus rumah tangga dan putra-putri yang ditinggalkan istri sebelumnya.
Kedua, calon istri yang dipilih hendaknya memprioritaskan pada kesalihan, kepribadian dan kedewasaan, bukan pada kecantikan.
Ketiga, menjadi istri seorang ulama hendaknya dijadikan kesempatan untuk lebih memperdalam ilmu agama dan meningkatkan ketakwaan dengan banyak belajar dari suaminya. Sehingga suami tidak hanya dijadikan sebagai teman hidup, tapi juga sebagai guru, imam dan teladan untuk meningkatnya keimanan dan ketakwaannya.
Keempat, perempuan hendaknya memilih calon suami dengan prioritas utama kebaikan pribadi, taat agama, pekerja keras. Tampilan fisik hendaknya menjadi kriteria terakhir dalam rangka mencapai kenyamanan dan keharmonisan rumah tangga dan kemasalahan keluarga.[]