Kontraterorisme Dunia dan Dilema HAM
Oleh A Fatih Syuhud
Harian Pelita Senin, 17 Oktober 2005
Bangsa-bangsa di seluruh dunia saat ini sedang terobsesi dengan kebijakan kontraterorisme. Kontra terorisme bagaikan menghirup napas baru setelah 11 September 2001, ketika dua pesawat menabrak gedung kembar WTC di New York. Tragedi 11/9 menjadi alasan untuk mengembangkan kebijakan kontraterorisme yang destruktif. Amerika Serikat (AS) melancarkan perang ke Afghanistan dan Irak dengan alasan-alasan yang menantang kesabaran PBB. PBB telah meloloskan resolusi untuk kontraterorisme yang mengikat bangsa-bangsa dunia yang berkewajiban mengimplementasikannya.
Sejumlah negara telah membuat hukum kontrateroris yang saling tumpang tindih dalam menciptakan cara menindas rakyat sendiri. Kontraterorisme saat ini dianggap sebagai ancaman besar pada perdamaian dunia. Pada 12 September 2001, Majelis Umum PBB telah meloloskan Resolusi 1268 yang menghendaki seluruh bangsa untuk menekan aksi-aksi teroris. Cepatnya tindakan PBB itu di luar dugaan. Lebih signifikan lagi, pada 28 September 2001, Dewan Keamanan (DK) PBB berdasarkan Bab VII Piagam PBB meloloskan Resolusi 1373 yang mengikat seluruh negara-anggota PBB untuk membentuk langkah kontraterorisme dalam waktu 90 hari dan tetap di bawah pengawasan Counter Terrorisme Committee (CTC). Berbagai Resolusi yang dibuat berdasarkan Bagian VII Piagam PBB bukan bersifat pilihan tapi harus diikuti. Pada 16 Januari 2002, PBB meloloskan Resolusi 1390 menuntut langkah-langkah internasional untuk melakukan pembekuan aset yang berorientasi terorisme khususnya ditujukan pada ‘organisasi yang masuk daftar hitam’ yang disebut dalam resolusi sebelumnya. Pada 18 Maret 2003, Departemen Obat Terlarang dan Kriminal PBB membuat 12 konvensi sebagai petunjuk usaha antiterorisme. Diktat PBB ini bersifat wajib diimplementasikan segera.
Inisiatif PBB menimbulkan respons regional dan nasional. Pada 17 Oktober 2001, Uni Eropa (UE) membuat cetak biru antiteroris yang berujung pada keputusan kerangka kerja pada 22 Juni 2002, yang bersamaan dengan langkah-langkah fundamental lain mengamandemen hukum ekstradisi dan hukum-hukum lain, melupakan kebebasan sipil, guna memperkuat interaksi dalam tubuh UE. Guna mengimplementasikan Resolusi 1373, Persemakmuran menciptakan Central Committee on Terrorism (CCT)-nya sendiri dan berjanji untuk memperkuat legislasi antiteroris yang sudah ada. Uni Afrika (UA) menciptakan rencana aksi guna mengimplementasikan resolusi PBB di Aljazair pada 14 September 2002. Amerika membentuk Patriot Acts dan legislasi lain sejak 2002 dan seterusnya guna melimpahkan kekuasaan luas pada pemerintah terhadap kelompok etnik, minoritas, imigran, turis dan lain-lain yang bersifat opresif.
AS telah menciptakan rezim paling opresif, rasis, reaksioner dan antirakyat sejak era Perang Dunia II dan McCarthy. Pada 2000-02, Inggris memperbarui hukum antiterorisnya dalam bentuk yang belum pernah dikenal dalam sejarah hukum umum Inggris seperti penahanan tanpa pemeriksaan, dan deportasi. Pakistan mengamandemen hukum antiterorisnya pada 2002, yang antara lain, dapat menahan seseorang tanpa tuduhan selama 12 bulan. Sebagaimana hukum antiterorisme India, ia sering disalahgunakan dan dipakai terhadap lawan politik dan balas dendam personal. Menyusul pengeboman di Bali, pada 12 Oktober 2002, Indonesia juga memperketat hukum antiterornya yang menimbulkan penyalahgunaan tak terkendali. Salah satunya yang paling kontroversial adalah menyangkut penahanan Abu Bakar Baasyir. Di Eropa, Jerman menggunakan hukum antiterorisnya terhadap kelompok “ekstremis” agama.
Pada sebuah konferensi International Commission of Jurists (ICJ) pada 28 Agustus 2004, jubir Jerman secara lantang berbicara senada dengan tesis Huntington. Dalam pertemuan itu, aktivis hukum, Karina Moskalenko, mengisahkan sejumlah kasus di Rusia bagaimana orang dari etnis tertentu diambil dan menghilang. Kisah-kisah penyalahgunaan hukum antiteror seakan tiada akhir. Tragedi 11/9 digunakan sebagai alasan kebijakan kontraterorisme. Setiap negara tampaknya sedang ikut perangnya AS dan pada waktu yang sama menindas rakyat sendiri. Apabila ini berlanjut, kontraterorisme akan menjadi ancaman lebih besar pada rakyat dan pemerintahan yang baik, dibanding ancaman terorisme itu sendiri. Perangnya AS telah menjadi alasan dunia untuk ikut terlibat dalam peperangan, destruksi, kematian, penyiksaan dan pelanggaran kebebasan sipil.
Obsesi dengan kontraterorisme tidak mengenal batas. Seorang pengacara terkenal AS, Alan M. Dershowitz, dalam bukunya Why Terrorism Works (2002), menulis bahwa undang-undang hendaknya dibuat dalam prosedur kriminal agar memungkinkan pemerintah untuk dapat melakukan penyiksaan selama investigasi. Dengan kata lain, langkah kontrateroris dapat melakukan apapun yang diinginkan agar “efektif.”
Di mana hukum kontraterorisme melanggar HAM, maka ia akan menciptakan terorisme negara yang ditujukan pada rakyatnya sendiri. Norma internasional Artikel 4 dari Covenant on Civil and Political Rights dan lain-lain membicarakan hak-hak tertentu yang tidak dapat ditawar-tawar termasuk di dalamnya tidak boleh melakukan penyiksaan.
Secara internasional, ketika resolusi PBB harus diimplementasikan tidak ada mekanisme yang memonitor. Komite Kontraterorisme PBB mempromosikan kontraterorisme tetapi tidak melibatkan isu-isu pelanggaran HAM. Dr. Seiderman dalam makalahnya untuk ICJ menunjukkan perlunya mekanisme monitoring internasional dalam bentuk Pelapor Khusus atau Sub Komite dari Komite HAM atau Komite Khusus yang bertanggung jawab pada DK PBB. Mekanisme semacam itu akan sangat berguna.
Karena Resolusi DK PBB telah memberi mandat dibentuknya kebijakan kontraterorisme, maka semestinya ia secara efektif memonitor pelanggaran yang terjadi. Akan tetapi, pada Januari 2003, Komite Kontraterorisme PBB menyatakan bahwa memonitor pelanggaran HAM adalah di luar otoritasnya. Kontraterorisme di berbagai negara hendaknya dimonitor secara komprehensif baik dalam level nasional maupun internasional.
Dalam konferensi ICJ di Berlin pada Agustus 2004, kata-kata yang cukup melegakan keluar dari Menteri Kehakiman Jerman yang mengatakan bahwa negaranya berencana untuk melakukan kontraterorisme menurut hukum dan prosedur biasa. Inilah apa yang semestinya dilakukan Indonesia. Negara kita hendaknya memberi preseden positif bagi negara lain dengan membuat langkah antiterorisme dalam kerangka kerja legal yang normal. Kita jangan sampai memberi kekuasaan berbahaya pada aparat hukum untuk menteror rakyat sendiri atas nama antiterorisme.
Indonesia tidak dapat menggunakan kontraterorisme sebagai gaung dari sovinisme AS. Sebagaimana kita tidak dapat menggunakan alasan-alasan AS untuk menindas rakyat sendiri atau yang lain. Kita tidak dapat hidup dalam situasi darurat global berkesinambungan yang justru akan mengancam perdamaian dunia dan pemerintahan demokratik. Apabila itu terjadi, maka kontraterorisme akan sama destruktifnya dengan terorisme itu sendiri, seperti yang sudah sama-sama kita saksikan di sejumlah negara.[]
* Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University, India