Arab dan Demokrasi
Oleh A. Fatih Syuhud
Banjarmasin Post 16 April 2004
Dengan munculnya United Iraqi Alliance (UIA) yang didominasi Syiah sebagai partai mayoritas di Parlemen, Irak tampak sudah siap untuk merancang Konstitusi permanen yang akan menjadikan Syariah, atau hukum Islam, sebagai sumber utama UUD Irak. Prospek ini membuat kalangan Barat was-was, yang melihat hal ini sebagai pengantar menuju bangkitnya rezim theokratik di Baghdad.
Kekuatiran semacam itu sebenarnya tidak perlu. Sebaliknya, AS dan negara Barat lain sebaiknya meneliti bagaimana negara tetangga Irak telah mencampur aduk agama dan negara, dan bagaimana gagal dan suksesnya mereka dalam bergabung dengan dunia modern.
Sebenarnya, kekuatiran terbesar adalah Irak akan mengikuti langkah Iran. Sistem theokrasi Teheran adalah berdasarkan pada ide “aturan hukum Islam (vilayat-i faqih),” sebuah konsep yang dikembangkan dalam bentuknya yang modern oleh Ayatullah Ruhullah Khomeini, pemimpin revolusi 1979. Di bawah hukum itu, ulama berpartisipasi dalam keseharian menjalankan negara, dan memiliki kekuasaan guna menjamin bahwa seluruh hukum dan aturan sesuai dengan Islam dan Konstitusi negara.
Namun demikian, sangatlah tidak mungkin Irak akan melalui jalan ini. Sunni tidak terikat pada doktrin vilayat-i faqih, yang berakar dalam sejarah dan ideologi Syiah. 90% rakyat Iran adalah Syiah, sementara sedikitnya 35% populasi Irak adalah Sunni, yang terdiri dari Arab dan Kurdi. Karena Konstitusi interim memberi hak veto pada Arab Sunni dan Kurdi atas Konstitusi permanen apabila diadakan referendum, maka tidak ada peluang konsep legal Syiah akan menjadi fondasi hukum di Irak.
Apa yang dilupakan Barat adalah bahwa Iran bukanlah satu-satunya negara Teluk Persia yang mencampur elemen demokrasi dan agama. Lihat misalnya tetangga Irak, Saudi Arabia dan negara kecil Qatar.
Bulan lalu, untuk pertama kalinya dalam 73 tahun Saudi Arabia mengadakan pemilu untuk kursi di dewan lokal, sebuah langkah yang dilakukan Qatar enam tahun sebelumnya. Pemerintah Saudi menggembar-gemborkan pemilu lokal ini sebagai peristiwa historik, dan secara lihai menyeponsori konferensi antiterorisme internasional di ibukota Riyadh menjelang pemilu untuk menarik jurnalis asing yang mungkin tidak akan tertarik meliput pemilu lokal tersebut.
Keantusiasan ini tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa rezim Saudi sebenarnya telah menjanjikan reformasi politik pertama kali pada 1962. Tiga puluh tahun berlalu sebelum Raja Fahd mengisukan UUD negara, dan dia melakukan itu melalui dektrit kerajaan bukan melalui proses legislatif apapun.
Itulah mengapa rakyat Saudi begitu tak percaya pada janji pemerintah mereka ketika mengambil langkah pertama menuju demokrasi sehingga hanya seperempat pemilih yang mendaftar. Dan hanya dua pertiga dari pendaftar yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Dan seperti dimaklumi, wanita tidak dibolehkan untuk memilih, seperti tidak bolehnya mereka menyetir mobil serta wajib mengenakan abaya, semacam baju kurung tradisional yang menutup kepala sampai kaki.
Islam menjadi agama resmi Saudi Arabia. Seluruh legislasi diambil secara eksklusif berdasarkan Syariah. Anggota pemerintahan dari kalangan Wahabi yang sangat puritan. Legitimasi agama keseharian kerajaan dibuat oleh Dewan Agama Tertinggi, yang ditunjuk oleh raja.
Apa yang terjadi di Qatar agak berbeda. Rakyat Qatar merasa bangga atas sistem politik mereka di mana pemilu lokal pertama diadakan pada Maret 1999; dan tidak sebagaimana di Saudi, perempuan Qatar memiliki hak pilih yang sama dengan kaum lelaki.
Sebagaimana Saudi Arabia, keluarga kerajaan Qatar adalah Wahabi. Syariah Islam juga menjadi sumber utama perundang-undangan. Namun demikian, Qatar memiliki sistem politik yang relatif demokratis. Konstitusi membentuk Parlemen yang beranggotakan 45 orang yang disebut Dewan Penasihat (DP), dengan 30 anggota diangkat berdasarkan pemilu. DP memiliki otoritas untuk menyetujui APBN dan memonitor otoritas eksekutif yakni penguasa yang disebut amir.
Pasal 50 dari Konstitusi, yang menjamin kebebasan untuk beribadah, berlaku pada semua agama. Gereja Anglikan untuk kawasan Teluk Persia berpusat di Doha. Umat Kristiani dapat berkumpul bebas di gedung atau vila pribadi, di mana pastor atau pendeta dapat mengadakan misa.
Tak kalah pentingnya adalah Pasar 48 Konstitusi Qatar, yang menjamin kebebasan pers. Pada Maret 1998 amir Qatar, Sheikh Hamad bin Khalifa al Thani, menghapus departemen penerangan, dengan demikian menjadi akhir dari sensor media cetak maupun elektronik. Entitas media milik negara menjadi institusi publik yang independen. Kebebasan pers ini pada gilirannya telah memperluas horizon sumber berita Arab paling spektakuler, Al Jazeera, yang didirikan pada 1996.
Perempuan Qatar bebas menyetir mobil dan bercelana jeans; di pantai atau kolam renang mereka bahkan biasa berbikini. Perempuan memiliki hak-hak politik sama dengan lelaki. Menteri pendidikan juga seorang perempuan.
Apa yang ingin saya kemukakan dari gambaran singkat kondisi politik Saudi Arabia dan Qatar di atas adalah bahwa apabila dua negara homogen– yang sama-sama Sunni dan penguasanya berlatarbelakang puritan Wahabi– dapat begitu berbeda, maka kecil kemungkinan Irak – dengan aneka aliran agama dan kelompok etnis—akan meniru republik fundamentalis atau monarki. Karena itu, menarik untuk dilihat ke depan bagaimana kemunculan Republik Islam Irak menciptakan kategori bagi dirinya sendiri di antara negara-negara demokratik namun religius di Teluk Persia.[]
* Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University, India