fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Kepemimpinan (Leadership)

Kepemimpinan (Leadership)

Karakter kepemimpinan dalam level tertentu adalah bawaan lahir atau bakat. Dan setiap bakat memiliki level yang bervariasi.
Kepemimpinan
Oleh A. Fatih Syuhud

Apabila setiap muslim diharuskan untuk menjadi pemimpin, yang cakupan kepemimpinannya sesuai dengan wawasan keilmuan dan kapasitas kepribadian, maka dalam konteks muslim Indonesia santri-lah yang paling berhak menyandang gelar sebagai pemimpin dan pelopor baik dalam lingkup masyarakat lokal maupun pada level nasional.

Ada empat faktor yang mendasari hal ini: pertama, wawasan spiritual (QS At Taubah 9:123).[1] Santri adalah kalangan yang paling banyak mempelajari ilmu agama. Seorang pemimpin ideal hendaknya tidak diragukan wawasan keagamaannya. Sebab wawasan spiritual akan sangat membantu dalam menyeimbangkan kepribadian seorang pemimpin dalam berperilaku dan mengambil keputusan yang benar (QS Al Ankabut 29:13).[2]

Kedua, mandiri. Seorang pemimpin harus mandiri yakni memiliki kepribadian yang independen yang memiliki ketergantungan hanya pada Sang Pencipta (QS Yunus 10:62).[3] Pemimpin adalah sosok panutan banyak orang. Tidak ada satupun individu yang rela menjadi pengikut dari sosok pribadi yang tidak mandiri. Tentu saja pribadi mandiri bukan berarti pribadi yang tidak butuh pada orang lain sama sekali. Akan tetapi kebutuhan itu tidak pada tahap ketergantungan. Ia lebih bersifat mutual (saling memerlukan) seperti butuhnya penjual pada pembeli, bukan seperti butuhnya bayi pada ibu yang menyusuinya.

Apabila karakter kemandirian seseorang sebagian besar dibentuk oleh lingkungan, maka lingkungan pesantren dapat dikatakan memiliki pengaruh paling kuat dibanding lingkungan pendidikan lain dalam membentuk karakter mandiri seseorang.

Di pesantren, seorang santri dididik selama 24 jam tidak hanya dalam keilmuan “formal” seperti ilmu fiqh, Hadith, tafsir, dan lain-lain, tetapi juga dalam keilmuan “non formal” seperti kesabaran, percaya diri dan kerja keras; tiga sifat minimal yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin.

Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam pendidikan nonformal di pesantren adalah santri dilatih sebagai “pemimpin-pemimpin kecil” yang memiliki tugas-tugas rutin dalam mengkoordinir kegiatan harian pesantren. Kebiasaan ini pada gilirannya nanti menjadi modal yang kuat bagi seorang santri untuk melatih insting kepemimpinannnya saat terjun di masyakarat.

Ketiga, akhlakul karimah (QS Al Qolam 68:4).[4] Masyarakat membutuhkan pemimpin yang memiliki perilaku akhlakul karimah. Pribadi akhlakul karimah akan selalu mendasarkan setiap tindakan pribadinya pada etika tertinggi baik menurut tinjauan agama maupun pandangan sosial. Sebaliknya, ia akan bersikap bijak dan “agak longgar” dalam menilai dan memberi “fatwa” pada kalangan yang dipimpinnya. Karena berwawasan luas dan berkepribadian tasamuh (bijaksana), ia disenangi kawan dan disegani lawan.

Keempat, sederhana dan jujur. Lingkungan pesantren adalah lingkungan pendidikan yang sangat mendorong santri untuk hidup sederhana. Kesederhanaan adalah salah satu moralitas tertinggi di samping kejujuran. Sederhana dan jujur adalah dua hal yang tak terpisahkan. Sulit untuk hidup dalam kejujuran, apabila kita meninggalkan kesederhanaan.

Keempat faktor di atas menempatkan santri menjadi seorang calon pemimpin yang ideal untuk memimpin masyarakat dan bangsa Indonesia di masa depan. Kenyataan ini hendaknya tidak menjadikan kita berbangga hati, sebaliknya harus kita jadikan bahan introspeksi diri; sudahkan para santri selaras dengan keempat kriteria di atas?[]

CATATAN AKHIR

[1] Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

[2] Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

[3] Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

[4] Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Kembali ke Atas