fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Kredibilitas Santri

kredibilitas santri

Kredibilitas Santri
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Santri Ponpes Alkhoirot

Santri secara etimologis (ta’rif lughawi) adalah seorang pelajar yang sedang menimba ilmu di pesantren. Karena itu seseorang yang sudah berhenti mondok, tidak lagi disebut santri.

Namun, dalam artian yang lebih luas, terutama dalam konteks sosiologis (ta’rif istilahi), santri bermakna “setiap orang Islam yang relatif taat dalam menjalankan ajaran Islam” baik ia alumnus pesantren atau bukan. Dengan demikian ia merupakan kebalikan dari muslim abangan, sebuah istilah bagi seorang muslim yang tidak taat.

Dari kedua ta’rif santri secara lughawi maupun secara istilahi di atas dapat dipahami jika keduanya mengacu pada satu pemahaman : bahwa seorang santri adalah seorang muslim yang dalam perilaku kesehariannya akan selalu berusaha menjadi representasi atau mewakili ajaran Islam ideal (QS Al Baqarah 2:207).[1]

Apa ajaran Islam ideal itu? Setidaknya ada lima unsur pokok perilaku yang harus dilakukan seorang santri dalam perannya sebagai individu yang mewakili Islam.

Pertama, level personal. Memelihara diri sendiri dan keluarga (anak dan istri) untuk selalu mengikuti perintah dan menjauhi larangan Islam. (QS Thaha 20:132).[2] Inilah syarat dasar seorang pemimpin: yakni memulai kebaikan dari diri sendiri (QS Al Baqarah 2:44).[3]

Kedua, sikap kepemimpinan. Memposisikan diri sebagai pemimpin dan pelopor kebaikan dengan menunjukkan kepedulian pada sesama muslim salah satunya adalah dengan berusaha meningkatkan level keilmuan, keislaman dan keimanan mereka (QS Ali Imron 3:110 ).[4]

Ketiga, keilmuan. Seorang santri yang kredibel adalah seorang yang berilmu. Santri adalah ahlul ilmi. Ia adalah ulama di mana keilmuannya melebihi kalangan yang dipimpinnya dan karena itu ia dihormati (QS Al MujadIlah 58:11).[5] Setidaknya ia melebihi yang lain di bidang ilmu agama (QS At Taubat 9:122).[6] Tanpa itu apa bedanya santri dengan kalangan non-santri?

Keempat, level sosial dengan non-muslim. Menghormati dan mentolerir (tidak membenci) pemeluk agama lain selagi mereka tidak mengganggu kita. Bahkan jika perlu melindungi hak-hak nonmuslim yang didzalimi seperti yang ditunjukkan Rasulullah pada non-muslim Madinah.

Kelima, memakai standar etika tinggi. Seorang yang memposisikan diri sebagai seorang santri yang baik hendaknya memakai standari etika yang tinggi. Baik etika Islam maupun sosial. Quran menyebutnya dengan istilah iffah (QS An Nur 24:33;[7] An Nisa’ 4:6).[8]

Sikap iffah ditandai dengan kemauan yang kuat untuk menghindari perilaku yang tidak dianjurkan dalam agama dan juga sikap yang dianggap kurang baik dalam pandangan etika sosial di suatu masyarakat tertentu.

Iffah juga dapat bermakna selalu berusaha menjaga martabat, kehormatan dan harga diri dengan cara selalu bersikap konsisten antara kata dan tindakan; disiplin dalam memelihara kesucian diri, berkemauan kuat menjunjung reputasi dan nama baik. Hanya dengan itu santri akan memiliki kredibilitas dan mendapat respek di mata orang-orang di sekitarnya. Bukan hanya di mata kawan dan “lawan,” tapi juga terutama dalam pandangan orang-orang yang dipimpinnya.

Inilah lima unsur yang akan membuat seorang santri kredibel dan dapat mengklaim dirinya mewakili kepribadian muslim sejati.[]

CATATAN AKHIR:

[1] Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. (2:207)

[2] Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa. (20:132)

[3] Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (2:44)

[4] Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (3:110)

[5] Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (58:11)

[6] Tidak sepatutnya bagi mu’minin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (9:122)

[7] Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan (24:33)

[8] Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). (4:6)

Kembali ke Atas