fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Refleksi Dua Tahun Tragedi WTC

Oleh : A Fatih Syuhud
Republika, Kamis, 11 September 2003

Dua tahun setelah peristiwa pengeboman gedung kembar WTC yang dikenal dengan serangan 9/11, imperialisme Amerika telah terperangkap oleh kebingungannya sendiri. Salah satu dari kebingungan itu timbul dari sebuah sumber agung, idealisme Amerika.

Amerika adalah koloni Inggris yang mendapatkan kemerdekaan dari kekuatan imperialisme sekitar 170-an tahun yang lalu. Spirit konstitusi Amerika adalah kebebasan di dalam negeri, dan persamaan equality di luar.Imperialisme tidak dapat direkonsiliasikan dengan idealisme semacam itu, dan AS selalu merasa berkewajiban untuk melakukan intervensinya, atau penaklukan, dengan alasan pembebasan. Woodrow Wilson memasuki Perang Dunia I dalam rangka untuk membebaskan sejumlah bangsa dengan 14 poinnya, dan Franklin D Roosevelt menjanjikan empat kebebasan pada “Persatuan Bangsa-bangsa” istilah Roosevelt untuk aliansi anti-Poros.

Kedua ide tersebut tidak ada yang berhasil setelah kemenangan perang; karena Roosevelt meninggal sebelum perang berakhir. Harga kegagalan sangatlah mahal. Jerman percaya pada Wilson, dan membalas dendam atas pengkhianatannya melalui Adolf Hitler.

Setelah Perang Dunia II, Ho Chi Minh, yang percaya pada janji anti-kolonialismenya Roosevelt, menunggu bantuan Amerika dalam perang kemerdekaan melawan Prancis. Pengkhianatan terhadap Vietnam adalah permulaan babak terburuk dalam sejarah Amerika.
Saat ini, berbagai argumen dilontarkan dengan membandingkan jatuhnya Saddam Hussein dengan kekalahan Adolf Hitler. Analogi ini melupakan sebuah fakta kebenaran yang vital.

Riwayat kaum imperialis
Abad keduapuluh ditandai dengan terjadinya dua macam perang. Pertama adalah perang antara sejumlah kekuatan besar yang disebut dengan perang dunia. Disebut perang dunia bukan karena tersebarnya medan perang secara geografis tetapi karena hasil akhir, baik pada Perang Dunia I (1918) maupun PD II (1946), akan menentukan siapa yang akan mengontrol dunia.

Para pelaku perang adalah mereka yang ingin memelihara imperialisme atau yang sedang dalam proses menjadi imperialis. Hitler mengatakan dengan nada yang sama ketika dia menawarkan pembagian kue jajahan secara damai pada Inggris pada 19 Juli 1940: Inggris tetap memiliki tanah jajahannya apabila Irak (untuk minyaknya) dan Mesir (untuk terusan Suez-nya) diberikan pada Jerman.

Yang kedua adalah perang pembebasan pada abad keduapuluh, ketika bangsa-bangsa terjajah menuntut kemerdekaan dari para penguasa Eropa. Hanya satu dari bangsa-bangsa itu, yaitu India, yang tidak melalui kekerasan (non-violence). Amerika menjadi satu-satunya kekuatan yang tetap berdiri tegak setelah robohnya Uni Soviet.

Dalam tatanan internasional yang didesain oleh Washington, Amerika hanya akan menjadi patriach (saudara tua) bukan sebagai Raja-Kaisar, yang akan selalu membantu dan royal pada saudara-saudaranya yang miskin. Dalam situasi yang genting, Amerika akan menangani urusan dunia berdasarkan varian dari Stockholm Syndrome. Bangsa yang ditaklukkan oleh Amerika akan jatuh cinta pada penakluknya, karena alasan penaklukannya semata-mata demi kebaikan.

Imperialis tradisional menganggap sikap ini naif. Pada 1918, Arthur Balfour menjustifikasi pendudukan Inggris atas Irak dengan komentar yang tajam bahwa dia tidak peduli di bawah sistem apa Irak akan diatur, sepanjang Inggris dapat menguasai minyak Irak. Imperialisme akan bertahan sepanjang ia dapat bertahan. Ia bisa berabad-abad seperti Belanda di Indonesia, atau seumur hidup. Akan tetapi tidak ada imperialis yang dapat bertahan dari ambigu.

“Imperialisme baik hati dan konservatif” adalah omong kosong. Satu hal yang pasti adalah kekuasaan dipenuhi dengan ketidakmenentuan. Amerika memilih untuk menaklukkan Irak, melawan mayoritas opini dunia. AS sekarang punya dua pilihan, menguasai dan mengatur Irak atau keluar dari Irak. Apabila Amerika memutuskan untuk berkuasa, harganya akan sangat mahal.

Presiden Bush mengawali jabatan kepresidenannya sebagai seorang isolasionis. Hal itu berakhir pada 9/11. Pasukan Amerika saat ini tersebar di 137 negara. Bush telah melakukan dua perang yang dapat berlangsung lebih lama dari masa jabatannya di Gedung Putih, sekalipun dia terpilih kembali nantinya. Washington melakukan perang terhadap rezim yang berkuasa.

AS kaget dan tidak mengira bahwa menggulingkan Saddam ternyata mudah. Di sinilah analogi dan komparasi yang sering diulang dengan PD II menjadi mentah. Rakyat Jerman dan Jepang patuh dan jinak setelah menyerah karena rakyat mengidentifikasikan diri dengan rezim mereka.

Rakyat Jepang dan Jerman merestui penaklukan-penaklukan yang dilakukan tentara mereka, dan kalah bersama-sama pemerintah mereka. Di Irak, hanya Saddam yang dikalahkan. Sementara rakyat Irak terus melanjutkan perlawanan.
Saddam Hussein adalah seorang tiran yang mensubversi nasionalisme rakyat Irak dengan menduduki sendiri ruang nasionalisme.

Adalah mustahil bagi seorang tiran menjadi seorang nasionalis; dia hanya dapat mengeksploitasi patriotisme sebagai perlindungan terakhir. Dengan menggulingkan Saddam, Bush telah melepaskan nasionalisme rakyat Irak dari genggaman seorang despot. Di sinilah paradoks itu terjadi: nasionalisme rakyat Irak tidak dapat dibarter dari seorang Saddam yang brutal dengan Bush yang kolonialis.

Antara freedom dan equity
Siapa yang mengkonfirmasi pada rakyat Irak bahwa Amerika datang untuk menjajah? Pemerintahan Bush. Dalam pernyataan-pernyataan terakhir dari kalangan hawkish, Paul Wolfowitz secara terus terang menyatakan bahwa argumen adanya senjata pembunuh massal (weapons of mass destruction – WMD) di Irak hanyalah alasan birokratis, dan bahwa alasan sebenarnya atas pendudukan Amerika di Irak adalah untuk mendapatkan rumah baru buat basis militer Amerika.

Kita sudah pernah di sini sebelumnya. Inggris kurang eksplisit pada 1918, tetapi punya alasan yang sama: senjata dan minyak emas hitam kawasan Eufrat. Ketika perang Irak mencapai puncaknya, sebuah Hadis Nabi didengungkan di hampir seluruh masjid di dunia. Dalam Hadis tersebut Nabi telah meramalkan bahwa sebuah perang antara Muslim dan Kristen akan terjadi di kawasan emas hitam sungai Eufrat.

Inilah bahaya yang paling serius bagi pendudukan AS-Inggris: bahwa nasionalisme Irak akan dicampuri bumbu agama, mengubah perang menjadi semacam jihad seperti yang pernah dialami Rusia di Afghanistan. Amerika terlalu mengandalkan taktik divide-and-rule. Ada sesuatu yang dilupakan di sini. Syiah dan Sunni memang selalu dalam gejolak konflik sejak 1.400 tahun lalu. Tetapi sebuah ideologi baru telah berkembang sejak abad ke-19, ketika kekaisaran Islam mulai takluk pada imperialisme Barat.

Arsitek utama respons intelektual atas datangnya “Umat Kristiani” adalah seorang pembaru Syiah, Jamaluddin, yang menyebut dirinya sebagai Afghani (bangsa Afghan) karena ia tidak menghendaki pandangan pan-islamisme-nya tersubversi oleh konflik Syiah-Sunni. Muridnya Sayid Qutb, di antara yang lain, yang paling dikenal membawa pandangan Jamaluddin ini menuju abad berikutnya.

Ayatullah Khomeini meminjam pandangan Jamaluddin Afghani ini guna memoles fron persatuan Islam-nya dalam sebuah perang melawan dua pilar Barat (Amerika si Setan Besar dan Uni Soviet) dan “klien-klien” Barat, seperti Arab Saudi dan Saddam Hussein.

Kendatipun terjadi kekerasan irasional yang dilakukan fundamentalis Sunni di Pakistan terhadap minoritas Syiah, perbedaan tradisional Syiah-Sunni menjadi semakin kabur dalam konteks politik di Timur Tengah. Semangat berapi kelompok Hizbullah di Lebanon, misalnya, tidak padam dengan adanya fakta bahwa bangsa Palestina adalah mayoritas pengikut Sunni.

Oleh karena itu Amerika berkonfrontasi dengan aliansi yang tumpang tindih di Irak. Krisis di garis depan menjadi ujian bagi determinasi AS untuk berkuasa di Irak. Apakah George W Bush memiliki determinasi, dan AS mempunyai kemampuan, untuk mencapai apa yang hendak mereka inginkan?

Ketegangan dan kekacauan berdarah yang hampir tiap hari terjadi di Irak akan membuat gentar seorang imperialis yang lebih memiliki determinasi dibanding Bush yang sedang menghadapi persiapan pemilu keduanya. Para pejuang Irak termotivasi oleh spirit jihad. Mereka juga mengantongi simpati implisit dari kalangan sipil yang tidak ingin imperialisme Amerika menjadi fakta sentral waktu-waktu mereka.

Dua tahun lalu, jawabannya adalah iya. Dalam waktu 18 pekan antara 9 April sampai 11 September tahun ini, sikap goyah itu tampak jelas. Pada 9 April Amerika mendeklarasikan kemenangan ketika patung Saddam dirobohkan. George W Bush mencoba tampak serius dalam kemenangan dan merancang peta damai di Timur Tengah. Sekarang, Amerika berdiri di ambang pintu PBB, yang pernah dicapnya sebagai “cerewet”, mengemis tambahan pasukan internasional agar supaya mereka tewas di Irak sebagai ganti dari pasukan AS.

Wakil Presiden Dick Cheney dan Menhan Donal Rumsfeld pernah meledek Prancis dan Jerman sebagai “negara pembuat coklat”. Rupanya membuat coklat jauh lebih bijak dibanding membuat perang. Apabila kepentingan pribadi telah membuat Bush mengetuk pintu PBB, maka kepentingan pribadi dari bangsa-bangsa lain akan menutup pintu itu sampai AS mengerti bahwa Amerika tidak dapat hidup dengan memegang prinsip George Washington di negeri sendiri, dan menggunakan aturan Rudyard Kipling di luar.

Amerika juga tidak dapat memprivatisasikan atau melakukan sub-kontrak perangnya pada negara lain. India, misalnya, telah menolak untuk mengirimkan pasukan untuk menjadi polisi di daerah koloni AS. Uni Soviet membutuhkan waktu satu dekade untuk mengerti bahwa imperialisme tidak akan berhasil, sekalipun dilakukan di negara yang sangat miskin seperti Afghanistan.

Amerika mengkampanyekan cerita fiksi bahwa ia menduduki Irak demi tujuan moral yang tinggi. Ungkapan Rudyard Kipling dengan nada moralis serupa adalah “white man’s burden”. Beban itu terbukti terlalu berat bagi kekaisaran tua itu; dan ia tidak menjadi lebih ringan di era sekarang.
Saat ini, AS menjadi satu-satunya bangsa terkuat di dunia. Ia akan menjadi pemimpin dunia yang merdeka hanya apabila ia dapat menerima bahwa kebebasan (freedom) tidaklah komplet tanpa adanya kesetaraan (equality).

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Agra University, India

Kembali ke Atas