fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Asal Mula Imbroglio Israel-Palestina

Oleh A. FATIH SYUHUD
Pikiran Rakyat, Sabtu, 29 Nopember 2003

ERIC Hobsbawm dalam autobiografinya, Interesting Times, mengenang nasihat ibunya agar “tidak berbuat sesuatu yang mengesankan bahwa kamu malu menjadi seorang Yahudi”. Kemudian, Eric menulis, “Sejak itu aku selalu berusaha untuk mengikuti nasihatnya walaupun terkadang tekanan untuk merasa malu menjadi Yahudi itu mencapai tahap yang tak tertahankan melihat perilaku pemerintah Israel.”

Eric Hobsbawm tidak sendirian. Banyak kalangan Yahudi lainnya yang memiliki perasaan yang kurang lebih sama dengan apa yang dirasakannya. Baru-baru ini, sekelompok pilot AU Israel menulis surat pada pemerintah Israel, “Kami, pilot veteran dan yang sedang aktif, menolak untuk melakukan serangan-serangan ilegal dan imoral yang dilakukan oleh Israel di kawasan pendudukan kami, yang telah dididik untuk mencintai negara Israel, menolak mengambil bagian dalam serangan-serangan udara pada pusat-pusat populasi warga sipil. Kami menolak untuk terus menyerang warga sipil yang tidak berdosa.”Mengomentari pernyataan itu, seorang panglima AU Israel berkata, “Pendudukan semakin merusak bangsa ini. Kami tidak cukup sensitif dan tidak juga menyadari terhadap apa yang sedang kita lakukan pada pihak lain. Kita harus mulai menghentikan pendudukan. Kita harus mengakui bahwa kesepakatan Oslo gagal tidak hanya karena pihak lain, tetapi juga karena kita sendiri.” Sikap pilot-pilot ini bukan yang pertama. Beberapa waktu lalu, sekelompok tentara juga menolak untuk “mengusir, menghancurkan, memblokade, membunuh, membikin kelaparan, dan mempermalukan seluruh rakyat (Palestina)”.

Kehadiran Israel di tanah yang dipercaya oleh Yahudi sebagai pemberian Tuhan itu memang selalu mengundang kontroversi. Dalam bukunya, A History of the Jews, Paul Johnson menulis, “Terdapat sejumlah isyarat berulang dalam Injil yang mengatakan bahwa bangsa Israel merasa berbuat salah telah mengambil tanah kaum Kan’an (Cannanites).” Akan tetapi, hal itu tidak menghentikan mereka untuk “merampas atau menjadikan kaum Kan’an sebagai budak”.

Proses itu berlanjut di era modern ini sejak Deklarasi Balfour 1917 menyerukan dibentuknya sebuah Rumah Nasional bagi bangsa Yahudi di tanah Palestina. Kendati demikian, seorang Zionis yang cerdik bernama Asher Ginzberg mengakui pada tahun 1890-an bahwa Palestina tidak dapat menampung seluruh massa Yahudi; ia hendaknya dijadikan sebuah pusat budaya dan spiritual bukan sebagai basis politik dan ekonomi bangsa Yahudi.

Seperti dikutip oleh Peter Mansfield dalam bukunya The Arabs, Ginzberg menulis, “Kami terbiasa berpikir bahwa bangsa Arab adalah orang-orang gurun yang liar dan tidak pernah melihat atau memahami apa yang terjadi di sekitar mereka, tetapi itulah kesalahan terbesar. Seandainya saja kami tumbuh di Palestina sampai tahap melanggar batas ruang hidup rakyat pribumi… mereka tentu tidak akan menyerahkan tempat mereka dengan mudah.”

Lord Curzon, yang menggantikan Arthur James Balfour sebagai Menlu Inggris, juga mencatat bahwa orang-orang Arab telah tinggal di tanah itu selama 1.500 tahun. Mereka telah menguasai tanah itu mereka memeluk Islam. Mereka tidak akan mau diambil alih untuk para imigran Yahudi atau bertindak sebagai budak Yahudi. Oleh karena itu, pandangan Zionis bahwa Palestina merupakan sebuah kawasan tak bertuan yang siap diberikan pada sebuah bangsa tanpa kawasan adalah murni timbul dari pikiran yang tidak logis.

Hobshawm percaya bahwa partainya Ariel Sharon, Partai Likud, mendapatkan inspirasi dari Vladimir Jabotinsky (1880-1940) atau “Vladimir Hitler”, julukan yang diberikan padanya oleh Ben Gurion, yang berpandangan masukkan sebanyak-banyaknya orang Yahudi ke kawasan Palestina agar supaya mereka dapat diorganisasi secara politis dan militer untuk mengambil alih negara. Sharon saat ini sedang mengimplementasikan kebijakan ini di kawasan yang diduduki. Visi Sharon atas negara Palestina, tulis kolumnis Boston Globe H.D.S. Greenway, adalah sebuah entitas yang akan tetap berada di bawah kontrol de facto Israel atas 42 persen dari kawasan yang diduduki dengan perkampungan Yahudi mendominasi setiap puncak bukit dan sumber mata air. Bangsa Palestina dapat memilih pemimpin mereka, tetapi hanya pemimpin yang lunak yang dapat diterima Israel. Ini serupa dengan apa yang ada dalam pikiran kalangan apartheid Afrika Selatan dengan republik-republik kecil kulit hitam pada perbatasan-perbatasannya.

Implementasi awal dari visi ini sudah bisa dilihat berupa pembangunan apa yang disebut dengan pagar keamanan (security fence) yang berada bukan pada sepanjang perbatasan negara, yang memang tidak tampak dalam peta resmi Israel, tetapi pada tanah Palestina dan terkadang berpenetrasi beberapa kilometer ke dalam untuk memasukkan perkampungan ilegal Yahudi. Israel saat ini memiliki tidak kurang dari 125 perkampungan di dalam teritorial Palestina, yang terdiri dari 230.000 orang (bandingkan dengan 4.000 warga Israel pada 1977). Setiap perkampungan punya satu garnisun militer, yang juga berpatroli di jalan-jalan yang saling berhubungan dengan perkampungan ilegal lainnya. Karena pagar keamanan itu melingkungi dan menghubungkan perkampungan-perkampungan itu, ia mengelilingi dan memotong kawasan Palestina sehingga warga Palestina harus hidup layaknya bagaikan dalam “sarang” yang terisolasi, yang untuk berhubungan antara satu sarang dan sarang yang lain selalu berada di bawah pengawasan patroli pasukan Israel.

Pengusiran, perusakan, blokade, pembunuhan, kelaparan, dan penghinaan atas seluruh rakyat Palestina, seperti ungkapan protes dari sebagian tentara Israel yang sudah disinggung di muka, tidak akan mungkin terjadi tanpa dukungan Amerika. Seperti yang dikatakan harian konservatif Inggris Daily Telegraph London, apabila Israel membunuh Yasser Arafat, ini akan melibatkan pemerintahan Bush dalam waktu lama dan diperhitungkan bahwa kemarahan Arab akan secara gradual habis dengan sendirinya.

Keterlibatan Amerika saat ini telah mencapai tahap di mana harian The Jerusalem Post dalam editorialnya berkata, “Kita harus membunuh sebanyak mungkin kalangan pemimpin Hamas dan Islamic Jihad. Dan kita harus membunuh Yasser Arafat.” Barabara Amiel, Direktur Jerusalem Post, melangkah lebih jauh, “Aku semakin yakin bahwa konflik di Timur Tengah ini tidak akan dapat selesai dengan solusi damai dan hanya dapat diatasi dengan kemenangan total di satu pihak. Ini artinya Arab menghancurkan Israel atau Israel terpaksa menggunakan segala cara, tidak terkecuali kekuatan nuklir, untuk mempertahankan diri. Apabila Anda sebuah bangsa berpenduduk di bawah enam juta orang dan dikelilingi oleh 70 juta musuh yang tidak menerima keberadaan Anda, satu-satunya opsi adalah bertempur sampai mati.”

Apakah selama berabad-abad dalam penyiksaan selama masa diaspora yang berpuncak pada Holocaust telah bertanggung jawab atas nihilisme yang berbahaya semacam itu? Atau apakah ide melenyapkan “70 juta musuh sebuah Solusi Final?” terjadi dengan mudah dalam pikiran kalangan Yahudi karena, seperti yang dikatakan Arnold Tonybee dalam A Study of History, “Dalam masalah Ras, dorongan dari ramalan Perjanjian Lama sangatlah jelas dan kejam?”

Sungguh sangat disayangkan bahwa rakyat Palestina saat ini sedang menghadapi kekejaman karena dosa-dosa bangsa-bangsa Eropa. Yahudi tidak pernah dianiaya di Timur Tengah. Seluruh penderitaan mereka dilakukan dan disebabkan oleh bangsa Eropa. Ironisnya, warga Palestina-lah yang saat ini harus membayar harga yang tragis. Padahal, seperti yang dikatakan Edward Said, mereka (rakyat Palestina) sama kali tidak ada hubungannya dengan apa yang menjadi komplisitas Eropa.

Seakan-akan dengan mendirikan sebuah National Home bagi Yahudi di tanah Palestina dan bukan di Afrika Timur seperti yang disarankan oleh Inggris pada 1903, Eropa merasa telah mengikuti resep pertama Pierre-Joseph Proudhon bagi Yahudi, “Kita harus kirim kembali ras (Yahudi) ini ke Asia atau kita habisi.” ***

Penulis mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Agra University, India

Kembali ke Atas