Pendidikan Menghargai Orang Lain
Pendidikan Menghargai Orang Lain
Oleh A. Fatih Syuhud
Dalam literatur Jawa, ada istilah tepo seliro atau tenggang rasa. Di Barat ada adagium “Do not do unto others what you do not want others do unto you.” Jangan melakukan pada orang lain sesuatu yang kamu tidak mau orang lain lakukan padamu. Makna dari kedua adagium di atas adalah kita harus memberi hormat dan respek pada orang lain agar orang lain hormat dan respek pada kita dengan selalu berusaha menghormati dan menjaga perasaan orang lain tanpa memandang status sosial dan strata ekonomi mereka.
Penghargaan juga perlu diberi penekanan terutama pada mereka yang memiliki status sosial dan ekonomi lebih rendah. Adalah mudah menghormati mereka yang lebih kaya dan lebih tinggi status sosialnya seperti menghormati keluarga kyai, habaib, pejabat, atau orang kaya; akan tetapi tidak mudah untuk memberi penghormatan yang sama pada keluarga fakir, miskin, cacat dan tua.
Sebagaimana umumnya setiap perilaku, sikap “menghormati orang lain” ini juga memerlukan proses pembiasaan sejak kecil. Dalam hal ini, orang tua memainkan peran yang sangat signifikan dalam mengajarkan anak bagaimana membentuk hubungan yang sehat dengan teman-temannya. Kemampuan sosial ini akan memudahkan anak mengutarakan perasaannya, berempati pada yang lain, dan bersikap kooperatif (mudah berkompromi atau ngalah), serta dermawan.
Cara terbaik dalam mengajarkan perilaku ini adalah dengan memberi contoh. Seperti, di depan anak orang tua menggunakan kata “terima kasih”, “maaf”, atau menolong mereka yang memerlukan adalah pada esensinya mengajarkan anak bagaimana orang tua menginginkan anak untuk bersikap.
Kedua, bicarakan kebaikan orang; bukan keburukannya. Di depan anak, hindari membicarakan keburukan orang lain. Karena hal ini akan berdampak ganda: (a) anak akan menilai bahwa membahas keburukan orang lain adalah baik; (b) saat anak tahu perilaku ini tidak baik, maka respek anak pada orang tua akan berkurang. Kalau harus membicarakan orang lain, maka biasakan membahas hal-hal positif yang menjadi kelebihan orang tersebut untuk dicontoh. Apabila anak sendiri yang membicarakan keburukan seseorang, maka ingatkan dengan singkat bahwa hal semacam itu jangan sampai dilakukan oleh anak.
Ketiga, di depan anak orang tua jangan tertawa pada humor yang menyakitkan orang lain. Saat ini banyak tontonan lawak di TV di mana bahan lawakannya dengan cara menertawakan kekurangan atau kecacatan fisik orang lain. Ini humor yang tidak sehat. Dan tertawa pada humor semacam ini akan mengakibatkan insensitifitas (sifat tidak sensitif), berkurangnya rasa empati dan rasa tepo seliro anak pada orang lain.
Ada dua macam penghinaan yang sama-sama harus dihindari yaitu (a) penghinaan langsung melalui kata-kata atau bahasa tubuh; (b) penghinaan tidak langsung yaitu dengan cara “menyetujui” dalam bentuk tertawa pada penghinaan yang dilakukan sesorang pada orang lain.
Keempat, ajarkan kedermawanan. Sikap dermawan adalah salah satu bentuk empati karena ia timbul dari rasa peduli pada orang lain. Kedermawanan pada anak dapat dimulai selain dengan memberi contoh, juga dengan membiasakan anak berbagi mainan pada teman-teman sebayanya. Jangan lupa untuk mengapresiasi anak karena sudah mau berbagi dan bersikap respek dan ramah pada orang lain.
Apabila orang tua berhasil mendidik anak untuk menghargai orang lain, maka dampaknya akan positif pada anak itu sendiri. Anak akan memiliki kompetensi sosial atau kemampuan bergaul yang sehat. Hal itu terjadi karena anak memiliki perasaan berharga dan penting. Seorang anak yang melihat dirinya secara positif akan mudah untuk melihat orang lain secara positif pula.[]