Pendidikan Anak Habaib
Pendidikan Anak Habaib atau habib adalah panggilan untuk etnis keturunan Arab di Indonesia yang keturunan Nabi Muhammad. Mereka memiliki karakter yang berani dan percaya diri. Perilaku ini akan sangat positif apabila dimiliki oleh orang yang berilmu dan berkomitmen pada Islam maka akan menjadi pendakwah yang efektif. Oleh karena itu mereka harus pintar, harus ahli agama atau umum sehingga memeiliki kontribusi bagi diri sendiri dan agama sebagaimana para Wali Songo. Kaum habib yang miskin harus dibantu pendidikannya sampai minimal SLTA, idealnya sampai perguruan tinggi.
Pendidikan Anak Habaib
Oleh A. Fatih Syuhud
Habaib, bentuk jamak dari Habib, adalah sebutan bagi kaum lelaki dari kelompok etnis Arab di Indonesia yang dikenal memiliki darah keturunan dari Nabi Muhammad. Sedang yang perempuan dipanggil dengan sebutan syarifah atau ipa. Kelompok ini dianggap berjasa sebagai salah satu juru dakwah (da’I atau mubaligh) yang sukses besar mengislamkan Indonesia dalam waktu yang realtif singkat. Perlu dicatat bahwa tidak semua keturunan Arab di Indonesia adalah habaib. Banyak juga kelompok orang Arab yang bukan habaib. Mereka umumnya masuk dalam organisasi Al-Irsyad.
Karena jasa para habaib jaman dahulu dalam mengembangkan dakwah Islam di Indonesia, maka anak cucu mereka mendapat tempat yang terhormat dan menjadi kelompok elite di masyarakat Indonesia. Khususnya, di Jawa Timur dan Jakarta. Tidak sedikit dari para habaib yang meneruskan tradisi mulia leluhur mereka dengan menjadi mubaligh yang handal dan ulama Islam ternama.
Namun, tidak sedikit pula dari kelompok habaib yang hidup dengan mengagungkan kejayaan masa lalu, menggembar-gemborkan kemuliaan darah keturunan dengan tanpa memiliki kontribusi atau sumbangan yang berguna untuk agama dan umat Islam. Di antara mereka, tidak sedikit yang berperilaku menyimpang dari prinsip syariah. Tidak sedikit pula yang mengorbankan muru’ah dan harga dirinya dengan meminta-minta dalam berbagai bentuk, seperti berjualan pada kalangan non-habib dengan harga mahal dan agak memaksa atau meminta secara langsung,. Hal ini mengundang keprihatinan Habib Segaf bin Hasan Baharun, salah seorang pengasuh Ponpes Putri Darullughah Wadda`wah (Dalwa), Bangil. Saat berceramah di desa Brongkal, Malang dia berpesan pada hadirin kurang lebih demikian, “Kalau ada habib yang datang ke rumah Anda meminta-minta atau menjual dengan paksaan dan dengan harga tak pantas, laporkan pada saya. Itu perilaku yang memalukan.”
Pendidikan dan Reformasi Pola Pikir
Fenemona memprihatinkan yang terjadi di kalangan habaib ini tentu menjadi kepedulian kita bersama karena mereka adalah kelompok yang memiliki potensi besar untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan umat Islam saat ini dan masa yang akan datang. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu direformasi dalam mendidik dan memperlakukan putra-putri habaib ke depan agar mereka dapat kembali menjadi figur-figur elite Islam Indonesia yang memiliki kontribusi besar pada pengembangan Islam dan kesejahteraan umat.
Pertama, kalangan habaib hendaknya mendidik putra putrinya sejak kecil dengan doktrin kesetaraan: (a) bahwa Islam tidak mengenal kasta, karena manusia dilahirkan ke dunia dengan derajat yang sama. Yang akan membedakannya adalah ketakwaannya (QS ِAl Hujurat 49:13); (b) bahwa penilaian Allah pada individu muslim adalah berdasarkan pada usaha yang dilakukannya, bukan pada keturunan siapa dan darimana seseorang berasal (QS An Najm 53:39).
Mindset kesetaraan ini perlu ditanamkan sejak kecil agar yik—sebutan kehormatan untuk putra habaib—memiliki jiwa yang tumbuh dengan sehat dan normal serta tidak terkena sindrom feodalistik. Feodalisme adalah sebuah perilaku yang identik dengan sikap egois, keras kepala, arogan, memandang rendah orang lain dan pada waktu yang sama memandang diri sendiri dan keluarga lebih tinggi dan mulia hanya berdasar faktor keturunan.
Kedua, kalangan habaib yang hartawan hendaknya memberi putranya bekal pendidikan setinggi mungkin dengan tidak lupa menanamkan wawasan keagamaan yang cukup. Kedua tujuan ini dapat tercapai sekaligus dengan cara menyekolahkan putra-putrinya ke pesantren yang memiliki fasilitas SLTP dan SLTA formal. Sehingga saat mereka melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi, kemampuan dan wawasan keagamaan dasar sudah dimiliki.
Ilmu adalah bekal terpenting yang harus dimiliki oleh para habaib. Pendidikan yang tinggi tidak hanya berguna untuk memenuhi kebutuhan duniawi dan melepas ketergantungan finansial pada orang lain, tapi juga menjadi bekal dakwah dan sebagai cara meningkatkan keimanan diri dan mencapai kemulyaan di sisi Allah (QS Al Mujadalah 58:11).
Ketiga, kalangan kyai pesantren hendaknya membantu para habaib yang miskin dengan cara memberikan pendidikan gratis kepada putra putri mereka setidaknya sampai tingkat SLTA. Akan lebih ideal kalau sampai perguruan tinggi. Kyai pesantren bisa bekerja sama dengan para hartawan non-habaib dalam program beasiswa untuk putra habaib ini. Pada waktu yang sama, kalangan non-habaib hendaknya juga lebih kritis dalam menyikapi perilaku sebagian kalangan habaib yang kurang sesuai dengan prinsip ideal Islam.
Dengan pendidikan yang cukup dan pola pikir yang reformis, diharapkan para habaib muda ini nantinya dapat kembali menunjukkan potensinya seperti para leluhurnya dahulu dalam menyebarkan Islam dan menyejahterakan umat.[]