fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Pelopor Intelektual Muslim India: Shah Waliullah (1703-1762 AD)

Pelopor Intelektual Muslim India: Shah Waliullah (1703-1762 AD)
Oleh: A Fatih Syuhud

Shah Waliullah sebagai Pemikir

Shah Waliullah mengikuti tradisi Al-Ghazali dan Imam Shatibi dalam mengkombinasikan esensi Syariah, pengertiannya, perkembangan dan interpretasinya pada isu-isu dan berbagai problema kehidupan. Dia sebagaimana Al-Ghazali menggunakan akhirat sebagai poin penjelasan atas hubungan antara eksistensi duniawi dan Akhirat. Syariah bagi Waliullah dilihat sebagai sebuah desakan alami kemanusiaan yang harus terjadi dalam sejarah sebagai berasal dari kehendak Allah karena Allah hendak melindungi makhluknya, manusia dan yang lain, baik dalam kehidupan ini dan dari hukuman neraka yang tidak terbatas. Melalui Syariah, Allah juga akan membalas tindakan individual di dunia dengan pahala yang tidak terbatas di akhirat dan dengan demikian proses perkembangan masyarakat Islam adalah memberi penjelasan dari Realitas Akhirat. Hal ini merupakan konsekuensi alami dari utilitas besar atas tanggung jawab di dunia ini.

Dalam soal pemikiran sosio-ekonomi, Shah Waliullah menekankan pentingnya ijtihad, tanpa ijtihad adalah mustahil dapat menemukan pengetahuan baru dalam memahami Quran, Sunnah dan berhasil dalam Syariah. Karena itu, Shah Waliullah memperkenalkan sebuah cara baru yang dinamis dalam memahami Quran. Hal itu guna membuat investigasi interpretif atas ayat-ayat Quran dengan cara yang independen dari segala bentuk penafsiran dan yang secara natural menekankan penggunaan rasio pada kebesaran Allah yang termanifestasi dalam ayat-ayat Quran yang sedang dikaji. Ilmu-ilmu Quran, yaitu, ilmu perintah (hukum-hukum), ilmu perbedaan (science of disputation) dengan kalangan polytheist, ilmu pertolongan Tuhan, ilmu tentang kejadian-kejadian khusus yang ditentukan Allah, dan ilmu Akhirat, yang hendaknya dikaji secara keseluruhan untuk memahami totalitas Quran dalam usaha memahami signifikansi Quran dalam kehidupan (lihat karyanya Al-Fauz al-Kabir fi Usul al-Tafsir). Dengan demikian, sebagaimana Imam Ghazali, Shah Waliullah adalah seorang sufi yang percaya atas kapasitas individual untuk self-annihilation (penghapusan diri) dalam rangka menuju pencapaian tertinggi dalam kehidupan seperti diperintahkan oleh syariah. Waliullah juga percaya bahwa karena pengetahuan manusia pasti tidak akan sempurna, adalah tidak mungkin untuk mencapai keseimbangan sempurna dalam sistem sosio-ekonomi. Oleh karena itu, dia mendukung pencarian menuju kesempurnaan (excellence) dengan kesadaran untuk selalu memperbaiki dan mengembangkan pengetahuan. Dia percaya bahwa banyak Tanda-tanda Allah dapat dipahami secara nalar manusiawi melalui usaha-usaha suci yang mendalam.

Tidak sebagaimana Al Ghazali, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun, Shah Waliullah percaya pada revolusi terhadap penguasa yang zalim dan korup demi mencapai perdamaian dan keadilan yang berpuncak pada kekuasaan syariah dalam tatanan Islam internasional yang akan datang. Oleh karena itu, banyak tulisan-tulisannya tidak hanya menganjurkan Jihad pada Muslim untuk membentuk tatanan tersebut, tetapi juga mengeritik keras pada para penguasa Muslim yang korup, sekte-sekte dan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Filosofinya sangat berbeda dengan para sarjana Islam lain yang meniru Yunani dalam pemahaman mereka terhadap ilmu Quran.

Di bidang historisisme dan epistemology yang memainkan peran penting dalam perkembangan teori sosio-politis Islam, terdapat perbedaan pendapat antara kalangan mutakallimun (teolog) dan rasionalis. Kalangan teolog membentuk suatu model keseimbangan yang berkelanjutan — yang menurut Shah Waliullah merupakan keseimbangan yang tidak komplit dan mencapai keseimbangan menurut al-Ghazali — dari evolusi historis di bawah bimbingan Hukum Tuhan (syariah) tanpa melihat pada keadaan perkembangan manusia, dari level primitif sampai level material tertinggi.

Hal ini mungkin sebagai model perkembangan sosio-ekonomi yang dihadirkan dan mungkin dapat diaplikasikan di bawah model aplikasi-Syariah yang didasarkan pada asumsi dan karakteristik model kebutuhan-kebutuhan dasar yang dinamis. Pasar, institusi, teknologi, produksi, factor pasar, harga, utilisasi sumber dan distribusi semuanya ditentukan di bawah perspektif perkembangan sosio-ekonomi. Implikasi tak tertulis dari model perkembangan sosio-ekonomi Syari’ah ini adalah dengan sebuah intra hubungan yang kondusif dan jelas antara pasar dan institusi-institusi termasuk pemerintahan, maka selalu ada kemungkinan untuk meningkatkan nasib umat bersamaan dengan lajunya kebutuhan-kebutuhan dasar dinamis dari rezim transformasi. Ilmu pengetahuan dan invokasi epistemologis akan memainkan peran mendasar dalam semua ini untuk mendapatkan hukum-hukum manusia yang fundamental guna mengatur, meregulasi dan membangkitkan secara berangsur perubahan yang dapat terjadi dikarenakan kecenderungan mereka pada Syariah dalam kerangka Ijtihad diskursif. Umat dapat tumbuh menuju level tertinggi kemajuan material bersamaan dengan kebutuhan-kebutuhan dasar dinamis perkembangan sosio-ekonomi. Ini merupakan argumen yang diajukan oleh Shah Waliullah dalam ekspektasi visioner-nya terhadap masa depan Umat sebagai sebuah kekuatan internasional.

Kalangan rasionalis membuat interpretasi berbeda pada historisisme, perubahan, realitas dan metode-metode. Mereka pada dasarnya campuran dari para sarjana Islam dan dialektika Helenik Percampuran antara kedua unsur ini sama sekali tidak feasible apalagi logis. Sejarah perubahan Filsafat Yunani adalah berdasar pada bidang awal-akhir dari pencarian rasionalis, di mana Tuhan menjadi sebuah realitas suci. Hal ini khususnya bisa dilihat pada pemikiran Aristotle bahwa Tuhan bukanlah kekuatan aktif, tetapi kekuatan atraktif. Tuhan dilihat bukanlah penyebab pergerakan dunia itu sendiri tetapi menghadirkan Dirinya secara pasif sebagai penyebab terjadinya sesuatu. Fenomena evolusioner dianggap sebagai penyebab dan efek dalam dunia materi, dengan adanya dimensi perubahan moralitas dan etika, sementara Tuhan tetap bersifat teologis dan suci dari dunia.

Qur’an menorehkan Sejarah dan Proses Universal sebuah Ide Realitas yang terhapuskan, yang berlaku pada seluruh konteks kehidupan pada Muslim dan non-Muslim tanpa pengecualian. Ide Realitas semacam itu disebut dengan Jiwa Universal dalam kesatuan dengan Allah sebagai esensi Tauhid oleh Shah Waliullah dan Ibnu Arabi. Oleh karena itu, apakah umat Islam setelah Nabi dan Khulafaur Rasyidin (empat khalifah pertama) telah atau belum memenuhi nilai-nilai ideal daripada Qur’an adalah masalah relatif dalam pandangan Penilaian Realitas Qur’an. Realitas itu bersifat abadi sebagai IDE, yang menentukan (determinisme). Ia menimbulkan kreasi setiap saat melalui tindakan Tuhan dalam tatanan material, sehingga menimbulkan dunia yang berbasis ilmu pengetahuan untuk bangkit dalam rasa interaktif-integratif-evolusioner. Sementara interpretasi secara empiris dan determinisme historisisme yang materialistic oleh kalangan rasionalis hanyalah narasi dari kejadian-kejadian yang terekam dengan sebuah kesimpulan rasionalistik yang kondisional.

Premis ekonomi politik Islam, menurut Shah Waliullah, berada dalam epistemologi Tauhid dan Unifikasi Ilmu melalui interaktif-integratif-evolusioner dari model realitas kesatuan yang berakar dari pandangan Qur’an dan bukan pada pandangan empiris para sejarawan. Oleh karena itu, ia membentuk sebuah pandangan dunia yang positifistik normatif dari sikap dan respons sosio-saintifik yang secara substantif berbeda dari pandangan Ibnu Khaldun, Al Tabari, Hegel, Marx, dan lain-lain.

Kembali ke Atas