fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Bid’ah itu Baik (1)

bidah baik

Bid’ah itu baik, walaupun ada juga yang buruk. Bahkan ada bid’ah yang wajib, sunnah dan baik, walaupun ada juga yang haram dan makruh. Intinya, bid’ah tidak otomatis buruk apalagi sesat

Bid’ah itu Baik (1)
Oleh: A. Fatih Syuhud

Ada sekelompok aliran ekstrim dalam Islam yang selalu memberi label “bid’ah” pada setiap perbuatan yang tidak ada di zaman Nabi dan para Sahabat. Dan bahwa bid’ah itu sesat dan tempatnya di neraka. Di Indonesia, yang paling dipergunjingkan kelompok ini adalah perilaku kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang suka mengamalkan tahlil dan yasinan saat keluarga ada yang meninggal, ziarah kubur ke makam leluhur, peringatan maulid Nabi setiap bulan Rabiul Awal, halal bihalal, dan lain-lain.

Pendapat ini tidak sepenuhnya salah. Ucapan mereka itu berdasarkan pada hadis riwayat Tirmidzi di mana Nabi bersabda, “Jauhkan dari memperbarui perkara. Karena seburuk-buruk perkara adalah membuat hal baru (inovasi). Setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”[1] Dalam hadist lain riwayat muttafaq alaih Nabi bersabda, “Barangsiapa membuat hal baru dalam perkara yang bukan berasal dariku maka ia tertolak.”[2] Dalam hadits serupa dengan kalimat yang sedikit berbeda Nabi bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak berasal dari kami maka ia tertolak.”[3]

Sepintas, hadits ini memang seakan bermakna bahwa semua bid’ah itu sesat secara mutlak. Setidaknya inilah pendapat kalangan Wahabi yang anti-bid’ah. Namun, para ulama salaf tidak sependapat dengan pemahaman ini. Imam Syafi’i (wafat, 204 H/820 M), menyatakan:


المحدثات من الأمور ضربان أحدهما: ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا، فهذه البدعة الضلالة والثاني: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، وهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر رمضان: (نعمت البدعة هذه) يعني أنها محدثة لم تكن

“Perkara baru (al-muhdatsat) itu ada dua macam. Pertama, yang berlawanan dengan Quran, Sunnah, atsar (perilaku Sahabat) dan ijmak ulama, ini disebut bid’ah sesat (dhalalah). Kedua, bid’ah hasanah adalah suatu hal baru yang baik yang tidak bertentangan dengan prinsip Quran, hadits, atsar Sahabat, dan ijmak ulama. Ini bid’ah yang tidak tercela. Umar bin Khattab berkata dalam soal shalat sunnah tarawih bulan Ramadhan: sebaik-baik bid’ah adalah ini. Yakni, bahwa shalat tarawih itu adalah hal baru yang tidak ada pada zaman Nabi.”[4]

Pemahaman Imam Syafi’i bahwa bid’ah terbagi dua macam itu berdasarkan pada dan didukung oleh sejumlah hadits Nabi yang lain sebagai berikut:

1) Hadits sahih riwayat Muslim di mana Nabi bersabda: “Barang siapa yang melakukan perbuatan yang baik maka dia akan mendapat pahala dan pahala orang yang melakukan itu setelahnya tanpa kurang sedikitpun. Barangsiapa yang melakukan perbuatan buruk maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang menirunya tanpa kurang sedikitpun.”[5]

2) Hadits sahih riwayat Muslim Nabi bersabda: “Barangsiapa yang mengajak kepada hidayah (kebaikan) maka ia akan mendapat pahala seperti pahala yang mengikutinya tanpa kurang sedikitpun. Barang siapa yang mengajak pada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti dosa yang mengikutinya tanpa berkurang sedikitpun.”[6]

3) Hadits sahih riwayat Muslim Nabi bersabda, “Barangsiapa menunjukkan pada kebaikan maka pahalnya sama dengan yang melakukannya.”[7]

4) Perkataan Sahabat Umar bin Khattab dalam shalat tarawih yang dilakukan secara berjamaah (atas inisiatif Umar): “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”[8]

5) Imam Bukhari dalam Sahih Bukhari “Bab Shalat Tarawih” menyatakan: “Ibnu Syihab berkata: Maka Rasulullah wafat sedangkan manusia masih dalam keadaan seperti itu (yakni shalat sunnah Ramadan tidak berjamaah). Dan hal itu terjadi juga pada masa Khalifah Abu Bakar dan awal kekhalifahan Umar. Dan atas inisiatif Umar, maka dilakukan shalat tarawih berjamaah. Umar berkata, ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini.’”[9]

Titik Temu Dua Macam Hadits

Kedua macam hadits di atas di mana yang pertama menyatakan bahwa setiap perkara baru adalah ditolak, bid’ah dan sesat sedangkan pada kelompok hadits kedua mendorong untuk menjadi pelopor dalam kebaikan, maka ulama mengambil kesimpulan yang kurang lebih sama dengan pendapat Imam Syafi’I di atas: a) bahwa hadits tentang bid’ah sesat itu adalah kata umum yang berifat khusus yakni khusus bagi bid’ah yang berlawanan dengan syariah; sedangkan b) bid’ah yang tidak bertentangan dengan syariah itu masuk dalam kategori bid’ah baik yang tidak dilarang.

Imam Ghazali (wafat, 505 H/ 1111 M) termasuk ulama yang mendukung argumen ini. Dalam Ihya Ulumiddin ia menyatakan: “Tidak semua bid’ah itu dilarang. Bid’ah yang terlarang itu adalah bid’ah yang berlawanan dengan sunnah yang pasti dan menjadikannya sebagai bagian syariah.” [10]

Imam Nawawi (wafat, 676 H/1233 M), seorang ulama madzhab Syafi’I yang sangat dihormati di bidang hadits dan fiqih oleh seluruh ulama berbagai madzhab, menjelaskan maksud hadits no. (1) di atas dalam Syarah Muslim: “Sabda Nabi ‘Barangsiapa menjadi pelopor kebaikan dalam Islam maka dia akan mendapat pahala… dst’ Hadits ini adalah dorongan untuk menjadi pelopor dalam kebaikan dan peringatan bagi yang memelopori kejahatan dan dosa. Adapun sabda Nabi ‘Setiap sesuatu yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’ maksudnya adalah bid’ah yang batil dan tercela. Dan sudah dijelaskan dalam bab Shalat Jum’at bahwa bid’ah terbagi menjadi lima yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.”[11]

Imam Nawawi bahkan menggolongkan bid’ah tidak hanya terbagi menjadi baik dan buruk, tapi terbagi sesuai dengan bagian hukum Islam yakni wajib, haram, sunnah, dan mubah. Dengan mengutip pendapat Abdul Aziz bin Abdussalam ia menyatakan dalam Al-Adzkar, “Abu Muhammad bin Abdul Aziz bin Abdussalam berkata dalam akhir kitab Al-Qawaid bahwa bid’ah terbagi menjadi wajib, haram, sunnah, mubah .. dst.”[12]

Dari uraian singkat di atas maka dapatlah disimpulkan dengan mudah bahwa anggapan yang menyatakan semua bid’ah itu sesat adalah pendapat yang sempit dan berpotensi besar dapat memecah belah umat dan itulah yang terjadi saat ini. Karena, sikap seperti ini memberi justifikasi dan ruang yang lebar untuk menyesatkan golongan yang tidak sama dengannya tanpa ada keharusan untuk menelitinya terlebih dahulu apakah ada unsur yang berlawanan dengan syariah atau tidak. Apabila itu terjadi, maka “perang” kata-kata akan terus berkecamuk antara kedua pihak. Kalaupun perang kata-kata ini tidak otomatis berakhir pada perang fisik, tapi satu hal yang pasti, tidak akan ada rasa cinta di antara kedua golongan yang saling berseteru dan itu melanggar perintah Rasulullah yang menganjurkan umat Islam untuk mencintai sesama muslim dan menjauhi saling menyakiti.[13] Juga, Nabi bersabda bahwa sesama muslim adalah bersaudara tidak boleh saling menghina dan merendahkan karena takwa itu ada di hati dan tidak ada yang tahu kecuali Allah.[14][]

Bacaan lanjutan:

Footnote

[1] Hadits riwayat Tirmidzi dan Nasa’i. Teks hadits: إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

[2] Hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim. Teks hadits: مَنْ أحْـدَثَ فِي أمْرِنا هَذا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

[3] Hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim. Teks hadits: مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

[4] Al-Baihaqi dalam Manaqib As-Syafi’i, hlm. 1/468; Abu Nuaim, dalam Hilyatul Auliya, hlm. 9/113, Imam Nawawi dalam Tahdzibul Asma wal Lughat, 277.

[5] Teks hadits:

من سن في الإسلام سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها من بعده لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا، ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده لا ينقص ذلك من أوزارهم شيئا

[6] Teks hadits:

من دعا إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا ومن دعا إلى ضلالة كان عليه من الإثم مثل آثام من تبعه لا ينقص ذلك من آثامهم شيئا

[7] Teks hadits: من دل على خير فله مثل أجر فاعله

[8] Hadits riwayat Malik bin Anas dalam Al-Muwatta’. Penjelasan rinci lihat Abul Walid Al-Baji dalam Al-Muntaqi Syarah Muwatta Imam Daril Hijrah Malik bin Anas, hlm. 2/207. Teks lengkap:

ن عبد الرحمن بن عبد القاري أنه قال خرجت مع عمر بن الخطاب في رمضان إلى المسجد فإذا الناس أوزاع متفرقون يصلي الرجل لنفسه ويصلي الرجل فيصلي بصلاته الرهط فقال عمر والله إني لأراني لو جمعت هؤلاء على قارئ واحد لكان أمثل فجمعهم على أبي بن كعب قال ثم خرجت معه ليلة أخرى والناس يصلون بصلاة قارئهم فقال عمر نعمت البدعة هذه والتي تنامون عنها أفضل من التي تقومون يعني آخر الليل وكان الناس يقومون أوله

[9] Ibnu Hajar Asqalani, dalam Fathul Bari, hlm. 4/296.

[10] Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, hlm. 2/248. Teks asal:

ليس كل ما أبدع منهيًّا عنه، بل المنهيُّ عنه بدعةٌ تضاد سنةً ثابتةً، وترفع أمرًا من الشرع

[11] Imam Nawawi dalam Syarah Muslim hlm. 7/92. Teks asal:

قوله : من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها إلى آخره فيه الحث على الابتداء بالخيرات وسن السنن الحسنة والتحذير من اختراع الأباطيل والمستقبحات وفي هذا الحديث تخصيص قوله : كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة. وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام : واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة

[12] Imam Nawawi dalam Al-Adzkar, hlm. 382. Teks lengkap:

قال الشيخ الإمام المجمع على جلالته وتمكُّنه من أنواع العلوم وبراعته، أبو محمد عبد العزيز بن عبد السلام -رحمه الله ورضي عنه- في آخر كتاب القواعد: البدعة منقسمة إلى واجبة ومحرمة ومندوبة ومباحة … إلخ

[13] Hadits sahih riwayat Bukhari Nabi bersabda: المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده، والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه.

[14] Hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah Nabi bersabda: الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا

Kembali ke Atas