fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Palestina, Abbas, dan Perdamaian

Oleh A. FATIH SYUHUD
Pikiran Rakyat, Kamis, 27 Januari 2005

PRESIDEN baru Palestina, Mahmoud Abbas atau Abu Mazen adalah figur pragmatis dan moderat. Semua pihak, tidak hanya Israel, AS, dan Eropa, tetapi juga kalangan Islamis seperti Hamas, menginginkan dia memenangi pemilu yang baru diadakan untuk jabatan presiden Otoritas Palestina.

Abbas mengejutkan banyak pengamat dengan melakukan kampanye pemilu yang lihai di mana selama kampanye sempat menyebut Israel sebagai “Zionist enemy”. Israel mengenal Abbas dengan baik untuk tidak menganggap retorika pemilu semacam itu sebagai isu besar. Abbas akan merasa lebih nyaman seandainya ia memenangi pemilu dengan 70% suara, bukan 62%. Akan tetapi jelas dia telah mendapat mandat cukup untuk mengimplementasikan dan memenuhi manifesto pemilunya.Pemilu pasca-Arafat yang pertama ini melahirkan fakta menarik. Gerakan mainstream Fatah, komponen utama PLO, telah berhasil menciptakan image baru di tubuh Palestina. Gerakan ekstremis ini memberi ruang pada kelompok moderat. Terjadinya marginalisasi kalangan Islamis garis keras diharapkan menjadi awal yang baik bagi dimulainya dan berkembangnya pembicaraan damai.

Dalam banyak hal, alasan faktor Arafat tidak lagi ada bagi Ariel Sharon, yang akan berada di bawah tekanan AS dan yang dalam waktu dekat akan bertemu Abbas. George W. Bush pasti ingin sekali melihat berhasilnya proses Peta Damai di Timteng untuk alasan historis dan sebagai cara kompensasi penyelamat muka atas kekacauan di Irak.

Kalangan pimpinan Palestina dan Israel rencananya akan mengadakan pertemuan dalam minggu pertama setelah terpilihnya Abbas, tetapi insiden yang terjadi di Karni, Jalur Gaza, di mana enam Israel tewas, telah menggagalkan rencana itu. Diharapkan, insiden di Karni tidak akan mengakibatkan perubahan strategis dalam proses perdamaian, tetapi hanya sebuah penundaan taktis. Pemerintahan Sharon mengeluarkan statemen menyusul insiden Karni, tetapi sampai sejauh ini beberapa tindakannya tidak terlalu drastis. Abbas cenderung tidak ingin menggunakan kekuatan untuk menundukkan kelompok radikal dan memilih untuk membujuk mereka agar menyepakati gencatan senjata sebagaimana yang pernah dia lakukan semasa menjadi perdana menteri era Arafat.

Sharon tentunya akan semakin memperkuat posisi Abbas seandainya Sharon menawarkan untuk melepaskan sejumlah tahanan Palestina dalam jumlah signifikan. Secara emosional, ini merupakan satu-satunya isu paling penting bagi rakyat Palestina.

“Bantuan” Sharon berikutnya adalah dengan membongkar sejumlah pos pemeriksaan, blokade ekonomi, dan rintangan lain untuk rakyat Palestina. Namun demikian, adalah salah besar apabila bersikeras menuntut penghentian aktual seluruh kekerasan sebagai prasyarat bagi dimulainya pembicaraan damai, tidak hanya karena tidak realistis mengharapkan Abbas dapat mengontrol seluruh elemen radikal, tetapi juga karena peta jalan tidak menuntut hal tersebut.

Peta jalan, dalam tahap pertama, menuntut diakhirinya kekerasan oleh kedua belah pihak dan juga diakhirinya seluruh aktivitas perkampungan ilegal, termasuk perluasan perkampungan yang sudah ada dan pembongkaran sejumlah kamp militer di Tepi Barat. Penghentian kekerasan oleh Palestina bukanlah prasyarat bagi Israel untuk menaati kewajibannya dalam soal perkampungan. Keduanya harus diimplementasikan secara serentak.

Rencana Sharon untuk mundur dari Jalur Gaza merupakan langkah brilian. Hal ini pada dasarnya dimotivasi oleh keinginan untuk mengurangi korban dan menyelamatkan nyawa rakyat Israel sendiri. Rencana penarikan dari Jalur Gaza juga memiliki keuntungan tambahan untuk membangun image Sharon, orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal di Sabra dan Shatilla, sebagai sosok moderat di mata masyarakat internasional ketika banyak kalangan di dalam partainya menentang rencana itu.

Kebanyakan para pemukim ilegal bersedia menerima program yang ditawarkan oleh pemerintah dan keluar dari Gaza ketika rencana penarikan mulai akan diimplementasikan pada Juli 2005. Beberapa dari mereka akan bertahan tetapi tidak dalam skala yang akan menyulitkan pasukan keamanan mengatasinya tanpa mesti menggunakan jumlah pasukan berlebihan. Jalur Gaza tidak memiliki signifikansi religius bagi Yahudi seperti yang dimiliki Tepi Barat.

Namun demikian, permulaan dialog itu sendiri tidak akan menjamin keluarnya resolusi. Peta jalan memiliki aspek positif, tetapi ia tidak memiliki pengaruh besar dalam arti ia tidak menawarkan ide apa pun tentang bagaimana isu “status final”, seperti Jerusalem, perbatasan, dan pengungsi Palestina, sebaiknya dipecahkan. Hal ini tentu saja terserah pada kedua pihak untuk menegosiasikan formulasinya.

Untungnya, terdapat dua rencana komprehensif pada kedua belah pihak yang dapat dipakai sebagai model. Pertama, proposal Abu Mazen-Yossi Beilin. Kedua, dikenal dengan Inisiatif Jenewa yang diajukan pada 2003. Kedua proposal itu mengandung ide-ide kreatif untuk memecahkan isu-isu status final. Kemudian, terdapat hasil akumulasi dari sejumlah negosiasi alot yang diadakan di Camp David pada tahun 2000 dan, lebih konkret lagi, di Taba pada Januari 2001. Dengan demikian, terdapat cukup fondasi yang dapat dijadikan pijakan untuk memulai negosiasi serius. Isu riil adalah kemauan politik dan spirit untuk mengambil keputusan sulit.

Sementara kedua belah pihak berkomitmen pada peta jalan, AS telah menyepakati sejumlah persyaratan yang diajukan Israel berkenaan dengan interpretasi proposal itu. Di samping itu, Palestina –tanpa adanya figur internasional karismatik seperti Arafat– idealnya memilih untuk meloncat dari tahap pertama langsung ke tahap ketiga, dengan menyisihkan tahap kedua yang berisi pembentukan negara palestina dengan perbatasan sementara.

Di sisi lain, Israel berharap agar proposal itu tidak bergerak maju melebihi tahap kedua. Akankah AS akan memberi tekanan kuat pada kedua belah pihak, khususnya pada Israel, untuk membuat sejumlah keputusan sulit dalam minggu-minggu mendatang? Walaupun sangat sulit diprediksi, kita harus mengharapkan hal tak terduga akan terjadi di Timur Tengah.***

Penulis, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University, India.

Kembali ke Atas