Legitimasi Pemilu di Irak
Oleh A. FATIH SYUHUD
Senin, 31 Januari 2005
KEKERASAN dan kebingungan mendominasi Irak menjelang pemilu 30 Januari memasuki fase akhir. Sedikitnya 100 orang tewas akibat bom bunuh diri, ledakan di pinggir jalan, dan tembakan pada tiga minggu bulan Januari saja. Sebanyak 31 pasukan AS tewas dalam kecelakaan terburuk di Al Anbar pada 26 Januari.
Di tengah terjadinya kekerasan, militan misterius kelahiran Yordania Abu Musab Al Zarqawi di luar kebiasaan tampil high profile. Kebanyakan sejumlah serangan terakhir menargetkan Syiah, yang merupakan mayoritas di Irak. Al Zarqawi juga mengecam pemimpin spiritual Syiah tertinggi, Ayatullah Ali Al Sistani, karena keengganannya mengutuk invasi brutal AS atas markas Sunni di Fallujah pada November 2004.
Berbagai tindakan Zarqawi tampak terfokus untuk semakin memperdalam perbedaan Syiah dan Sunni. Tidak sebagaimana Sunni, yang kebanyakan sudah memutuskan untuk memboikot pemilu, ulama Syiah justru menyerukan pengikutnya untuk berpartisipasi dalam pemilu mendatang dalam jumlah besar.
United Iraqi Alliance (UIA), kelompok yang didominasi Syiah dan mendapat restu Al Sistani, berada dalam barisan terdepan dalam pemilu untuk memilih Dewan Transisi Nasional (DTN).
Sikap anti-Syiah Al Zarqawi yang begitu transparan, yang semakin meningkatkan kemungkinan terjadinya disintegrasi sektarian, telah memicu berbagai teka-teki niat riil di balik itu.
Banyak kalangan akademisi progresif Amerika dan Inggris yang mengisyaratkan bahwa Al Zarqawi memiliki agenda tersembunyi, dan tidak menutup kemungkinan ada kaitannya dengan agen-agen intelijen barat dan koalisi.
Alex Callinicos, pengajar The University of York, baru-baru ini menulis, “Saya menemukan sejumlah insiden –seperti pembunuhan atas sejumlah orang Syiah dari atas mobil di kota-kota selatan Bagdad, konon dilakukan oleh militan Salafist– sangat mencurigakan. Dikonfrontasikan dengan modus operandi ini, adalah masuk akal… untuk mengingat sejarah lama dan berdarah dari CIA, SIS, dan trik-trik kotor imperium Anglo-Amerika yang lain.”
Kekerasan itu kemungkinan untuk membuat partisipasi pemilih dalam pemilu rendah. Berbeda dengan kesan yang disampaikan media bahwa resistensi Irak hanya terbatas pada “segi tiga Sunni” –kawasan yang relatif kecil yang berada di seputar Bagdad– pengaruh gerilyawan pada hakikatnya menyebar ke kawasan yang jauh lebih luas.
Penulis kantor berita Associated Press (AP) Denis D. Gray mendokumentasikan secara geografis penyebaran resistensi di Irak. Dia mengatakan bahwa “Sedikitnya enam provinsi –Bagdad, Al Anbar, Diyala, Salahuddin, Kirkuk, dan Nineveh– telah menjadi tempat signifikan berbagai serangan atas pasukan AS dan pemerintah Irak. Kawasan satu-satunya yang tidak dibanjiri darah adalah tiga provinsi di bagian utara Irak yang dikontrol suku Kurdi. Sedang situasi di sejumlah kawasan lain tidak diketahui disebabkan perjalanan wartawan dibatasi karena masalah keamanan”.
Mayoritas partai politik Sunni yang besar, termasuk Iraqi Islamic Party yang populer, menyatakan tidak akan berpartisipasi dalam pemilu. Asosiasi Ulama Muslim (AUM) yang sangat berpengaruh mengeluarkan fatwa untuk memboikot pemilu. AUM mengatakan bahwa pemilu mendatang tidak akan memiliki legitimasi karena ia dilakukan dan diprakarsai oleh Amerika yang sedang menduduki Irak.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Bureau of Research and Intelligence di bawah Departemen Luar Negeri AS memprediksi bahwa mayoritas Sunni akan memboikot pemilu; hanya 12% dari mereka menganggap pemilu mendatang sah. Studi itu juga menyatakan bahwa tiga perempat komunitas Syiah Irak tidak akan memilih apabila diperintahkan oleh seorang tokoh agama yang berpengaruh.
Prosedur pemilu yang sulit dan berbelit-belit untuk memilih 275 anggota dewan juga kemungkinan akan mendorong para pemilih untuk tidak berpartisipasi. Dalam banyak kasus, rakyat Irak tidak memilih individu tapi partai atau semacam koalisi di mana kalangan individu bergabung. Di samping itu, banyak kontestan tidak atau belum membeberkan nama-nama mereka di daftar nama koalisi yang mereka pilih untuk bergabung, karena ketakutan pada kalangan militan. Konsekuensinya, banyak pemilih Irak merasa memilih secara “membuta” dan pada sejumlah kasus, tidak dapat mengidentifikasi kandidat pilihan mereka di daftar calon.
Di samping itu, seandainya pun kandidat yang diinginkan terdapat di daftar kandidat, itu tidak menunjukkan bahwa dia akan terpilih. Hal ini karena pemilu Irak mengadopsi sistem representasi proporsional.
Jumlah individu yang terpilih menjadi anggota dewan akan bergantung pada persentase suara yang didapat. Sekadar contoh, apabila gabungan kandidat yang berjumlah 275 mendapat 20% suara, maka hanya 55 dari anggota koalisi itu yang akan dipilih secara random, yang akan menjadi anggota dewan yang baru.
Legitimasi pemilu juga banyak dipertanyakan. Pemilu yang diprakarsai PBB pada 1999 di Timor Timur dianggap sebagai model pemilu di bawah pendudukan yang sah. Akan tetapi, dalam kasus Irak, PBB tidak berada dalam posisi untuk menjamin bahwa pemilu akan berjalan bebas dan jurdil. Kehadiran PBB dalam pemilu Irak tidaklah signifikan; dan kebanyakan kerja supervisinya akan diadakan dari ibu kota Yordania Amman, yang berjarak hampir 1.000 km dari Baghdad.
Di samping itu, dalam kasus Timor Timur, TNI yang di mata internasional dianggap “pasukan pendudukan” dapat dimonitor untuk tidak terlibat dalam pemilu. Tidak ada jaminan bahwa militer AS tidak akan campur tangan dalam pemilu di Irak.***
Penulis, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University, India.