Israel, AS dan Palestina
Oleh A. Fatih Syuhud
Harian Pelita, 18 Juli 2005
Larry Franklin, analis program nuklir Iran di Pentagon, diketahui telah membocorkan informasi rahasia pada Direktur Kebijakan dan Analis Senior soal Iran di AIPAC (American Israeli Public Committee), organisasi berpengaruh Yahudi AS, yang kemudian meneruskannya pada seorang diplomat senior bagian politik kedutaan Israel.
Investigasi pun dilakukan, sang diplomat diam-diam dipanggil balik sedangkan kedua pejabat dipecat dari AIPAC. Ketiganya dituduh berdasarkan Espionage Act. Kasus ini, yang mirip dengan kasus Pollard 1985, memiliki dua aspek signifikan: pertama, tingginya jabatan kedua mediator dan kedua, reaksi kalangan elit politik AS. Detil kasus ini kemudian menjadi publik sebelum Konvensi Tahunan AIPAC pada Mei.
Biasanya dalam kasus semacam itu walaupun melibatkan aliansi, kelompok yang dirugikan akan menunjukkan ketidaksukaan di depan publik. Kali ini pejabat Washington bersikap sebaliknya. Di depan Perdana Menteri Ariel Sharon dan sejumlah Senator dan anggota Kongres, Menlu Condoleeza Rice memanfaatkan forum AIPAC untuk pidato kebijakan masalah Timur Tengah, mempererat hubungan dan dukungan pada Israel.Rice menggambarkan penarikan mundur Sharon dari Jalur Gaza sebagai “sebuah tindakan sulit dan luar biasa bagi perdamaian.” Rice tampak sengaja tidak menyebut Peta Jalan walaupun secara selektif merujuk pada beberapa kandungan isinya. Hadirin di forum sama sekali tidak ragu kemana AS berpihak, apapun yang diperbuat Israel. Rice menggambarkan rencana demokratisasi Bush di Timteng sebagai contoh “ketegasan komitmen moral”.
Secara terpisah, AIPAC menyeru pada seluruh anggota Senat untuk menyeponsori keputusan yang semakin memperkuat sangsi yang ada atas Iran, melarang subsidi perusahaan AS yang melakukan bisnis di Iran, serta memotong bantuan asing pada negara yang berinvestasi di Iran. Pemerintah Bush belum merespons hal ini. Namun demikian, dapat menjadi isyarat bagi negara mana saja –termasuk Indonesia—seputar kemungkinan konsekuensi bagi negara yang hendak melakukan hubungan bisnis dengan Iran.
Manuver lihai pun sedang berlangsung di Timteng. AS, walaupun hanya dalam retorika, dilaporkan sedang memulai proses peninjauan kembali kebijakan pasca-11/9 perang kontraterorisme; melintas jalan ke Yerusalem via Baghdad; reformasi dan demokratisasi Timur Tengah Raya; membiarkan Israel menunda-nunda Peta Jalan; dan merubah dunia Islam.
First Lady Laura Bush, setelah kunjungannya ke kawasan pada minggu ketiga Mei, mengatakan bahwa Amerika hendaknya bersiap diri atas lambatnya penyebaran demokrasi di kawasan. Apakah ini sebuah sinyal perubahan persepsi atau taktik atau keduanya?
***
Efraim Helevy mantan direktur Mossad dan Penasihat Keamanan Nasional Sharon mempertanyakan kebijakan demokratisasi dalam perang melawan teror dan memprediksi akan meningkatnya intervensi militer AS dan kehadiran militer AS dalam waktu lama di kawasan. Dia mengakui bahwa rencana penarikan diri Sharon dari Jalur Gaza sebagai alat untuk memotong Peta Jalan. Dalam soal Iran, dia mengatakan Israel “tidak dapat berharap kombinasi pemain yang lebih baik (dari AS) dan situasi dalam kampanye politik yang sedang berlangsung” atas Iran.
Dalam konteks ini, kunjungan Presiden Mahmoud Abbas ke Washington cukup signifikan.
Sumber resmi Palestina tampak cukup puas dengan hasil yang diperoleh. Abbas yang mengajukan tiga permintaan khusus pada Bush: sebuah komitmen bahwa (1) rencana penarikan Gaza akan menjadi bagian integral Peta Jalan bukan sebagai pembuka atau substitusi; (2) Israel hendaknya didesak untuk memenuhi kewajiban Peta Jalan khususnya penghentian konstruksi perkampungan dan penarikan mundur pasukan Israel ke posisi pra-intifada pada September 2000; dan (3) jaminan konkrit hendaknya diberikan seputar kandungan negara Palestina dan jadual realisasinya.
Teks pidato sambutan Bush cukup menarik: bahwa Israel hendaknya tidak melakukan aktivitas apapun yang bertentangan dengan komitmen peta jalan atau prasangka apapun atas negosisasi status final Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem; membongkar perkampungan ilegal dan menghentikan ekspansi perkampungan; tidak mempolitisir pagar keamanan; negara Palestina harus memiliki teritorial berkesinambungan; kesepakatan status final harus bersifat negotiable dan perubahan pada Perbatasan Armistice 1949 harus disepakati bersama. “Inilah posisi AS saat ini, ia akan menjadi sikap AS pada saat negosiasi status final,” kata Bush.
Pernyataan Bush di atas berbeda dengan komitmen yang dia berikan pada Sharon dalam suratnya pada April 2004 yang menyatakan bahwa “berdasar pada realitas baru, adalah tidak realistik mengharapkan hasil negosiasi status final akan persis sama dengan perbatasan Armistice 1949.” Juru bicara penasihat Keamanan Nasional menolak tuduhan perubahan sikap. Sementara kalangan pengamat Arab skeptis atas klaim keberhasilan Palestina.
Kalender politik memberi tenggat waktu 18 bulan untuk memenangkan perang atas teror, menentramkan Irak yang bergolak, menggolkan proses damai Israel Palestina, demokratisasi Timteng dan menghukum Iran. Semuanya menjadi prasyarat awal bagi terbentuknya Pax-Americana; kegagalan salah satu unsur di atas akan membahayakan rencana besar itu.
Ada kemungkinan bahwa negosiasi diam-diam terjadi sebelum kunjungan Abbas. Di sinilah letak relevansi ucapan Halevy; semuanya harus dibaca secara bersama dengan teks yang berasal dari kunjungan Palestina dan pernyataan bersama yang dikeluarkan setelah kunjungan Putra Mahkota Saudi Arabia ke ranch-nya Bush di Crawford.
Dalam skenario semacam itu, komitmen formal akan terefleksi pada seluruh kandungan proses damai. Sejumlah negosiasi akan diadakan; hasilnya pun sudah ditentukan. Akankah opini Palestina termasuk di dalamnya?***
* Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University, India