Nabi sebagai Penggembala
Nabi sebagai Penggembala *
Oleh A. Fatih Syuhud
Dalam sebuah hadits sahih riwayat Bukhari Nabi bersabda: “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi pun melainkan dirinya pasti pernah menggembala kambing”. Maka para Sahabat bertanya: ‘Apakah engkau juga wahai Rasulullah? Beliau menjawab: “Ya, Aku pernah mengembala kambing milik seorang penduduk Mekah dengan upah beberapa qirath”[1]
Sebagai anak yatim piatu yang miskin yang ikut pamannya Abu Thalib yang juga tidak kaya, beliau berusaha untuk membantu meringankan beban pamannya mencari tambahan penghasilan apa saja yang halal. Salah satunya yang tercatat dalam sejarah adalah bekerja sebagai penggembala kambing milik kerabat dan tetangga.
Mengapa Nabi memilih prefesi penggembala? Ada banyak hal yang dapat dianalisa, pertama, secara faktual, Makkah pada saat itu adalah daerah padang pasir yang tandus. Pilihan pekerjaan tidak banyak. Penggembala adalah pekerjaan yang paling mudah dan tidak memerlukan keahlian individu tertentu. Oleh karena itu, menjadi penggembala menjadi pilihan yang wajar.
Karena beliau ditakdirkan untuk menjadi seorang Nabi dan pemimpian yang istimewa, untuk menghadapi orang-orang keras kepala yang sulit diatur, untuk memerangi kepercayaan dan ttadisi yang salah pada masa Jahiliyah, dan untuk meletakkan dasar-dasar hukum dan keadilan yang tepat, beliau merasa perlu untuk menjadi seorang penggembala.
Nabi Muhammad menggembala kambing milik kerabat dan orang-orang Makkah ke sekeliling gurun untuk merumput. Gaji yang didapatnya akan diberikan pada pamannya.[2] Sosok yang memiliki kecerdasan dan sensitivitas yang tinggi akan mendapat banyak pelajaran dari profesi ini.
Kegiatan di luar lingkungan kota Makkah yang ramai dan jauh dari konflik penduduk Makkah memberinya kesempatan tak ternilai untuk memperoleh banyak pengalaman berharga yang akan tampak di kemudian hari saat beliau menjalankan tugasnya sebgai Nabi dan Rasul. Tentu, berbagai karakter positif sudah menempel pada diri Nabi sejak lahir. Namun nilai-nilai positif memerlukan pengasahan dan pelatihan serta perenungan terus menerus untuk membuatnya menjadi semakin melekat dan tak terpisahkan dari diri seseorang.
Kedua, tidak perlu ada rasa malu untuk melakukan pekerjaan halal. Profesi penggembala bukanlah pekerjaan yang bergengsi. Profesi ini kurang lebih sama dengan buruh atau kuli. Garis keturunan ayah dan ibu beliau yang berasal dari keturunan bangsawan tidak membuatnya malu untuk melakukan pekerjaan apapun asalkan halal.. Ini pelajaran berharga bagi kita. Karena, tidak sedikit orang yang merasa berasal dari keturunan mulia merasa malu dan gengsi untuk bekerja kasar dan merasa lebih senang untuk meminta-minta dan menjadi pengemis.
Ketiga, Husain Haekal dalam Hayatu Muhammad (Kehidupan Muhammad) mengutip perkataan Nabi yang dengan rasa gembira mengenang saat-saat yang dialaminya pada waktu menggembala kambing di masa mudanya. Di antaranya Nabi berkata: “Nabi-nabi yang diutus Allah itu penggembala kambing. Musa diutus, dia penggembala kambing, Daud diutus, dia penggembala kambing, aku diutus, juga penggembala kambing keluargaku di Ajyad.”[3]
Keempat, dari perkataan Nabi di atas seakan menyimpulkan bahwa menjadi penggembala merupakan suatu profesi mulia. Walaupun secara lahiriah seperti suatu pekerjaan yang kasar dan tidak bergengsi. Hikmah yang dapat diambil dari profesi ini pelatihan karakter antara lain: (a) Melatih kesabaran. Menggembala mirip dengan kegiatan memancing yang memerlukan sifat sabar dan telaten. Apalagi, menggembala di tanah tandus seperti di Makkah bukanlah perkara mudah. Ia harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan rumput yang tidak begitu banyak. (b) Melatih sikap rendah hati. Seperti disebut di muka, gembala adalah pekerjaan kasar. Bukan profesi bergengsi. Kalau mental sudah mampu bekerja di tempat yang paling rendah, maka ia pun akan mampu menempati posisi yang paling tinggi. (c) Keberanian, kepedulian dan tanggung jawab. Menggembala kambing dalam jumlah yang banyak dari satu tempat ke tempat yang lain akan melatih keberanian seseorang karena selalu ada potensi ancaman dari binatang buas. Ini juga akan melatih rasa peduli dan tanggung jawab untuk selalu melindungi gembalaannya agar selamat sampai kembali pulang ke kandang.
Kelima, menurut Syafi’i Antonio[4], kegiatan menggembala akan memiliki enam manfaat kepemimpinan yaitu a. Pathfinding (mencari) padang gembalaan yg subur; b. Directing (mengarahkan) menggiring ternak ke padang gembalaan; c. Controlling (mengawasi) agar tidak tersesat atau terpisah dari kelompok; d. Protecting (melindungi) dari hewan pemangsa dan pencuri; e. Reflecting (perenungan) Alam, manusia, dan Ciptaan Allah []
*Ditulis untuk Buletin Santri Madin PP Al-Khoirot Malang
CATATAN AKHIR
[1] Teks Arab: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ. فَقَالَ أَصْحَابُهُ وَأَنْتَ فَقَالَ: نَعَمْ ,كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ
[2] Lihat, Adil Salahi, Muhammad: Man and Prophet, The Islamic Foundation; 2010
[3] Muhammad Husain Haekal, Hayatu Muhammad. Terjemah bahasa Inggris, The Life of Muhammad, oleh Isma’il Ragi Al-Faruqi, Millat Book Center, American Trust Publications, 2005, hlm. 58.
[4] Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec, Muhammad SAW: the Super Leader Super Manager, Tazkia Publishing, 2008, hlm. 80.