Maria Qibtiyah
Maria Qibtiyah adalah salah satu dari istri Nabi menurut sebagian ulama ahli sejarah Islam sehingga ia pantas disebut sebagai Ummahat al-Mukminin (ibunda kaum beriman).Menurut sebagian ulama yang lain ia adalah surriyyah atau milkul yamin Nabi. Terlepas dari itu, ia adalah Ummu Ibrahim karena ibunda dari putra ketiga Nabi yang bernama Ibrohim.
Oleh A. Fatih Syuhud
Maria Qibtiyah adalah ibunda dari putra ketiga Nabi yang bernama Ibrahim yang meninggal saat masih kecil. Nama aslinya adalah Maria binti Syam’un seorang perempuan cantik jelita asal Mesir. Ia lebih dikenal dengan sebutan Maria Al-Qibtiyah karena ia asalnya seorang pemeluk agama Kristen aliran Koptik yang dalam bahasa Arab disebut Qibti. Walaupun sudah menjadi muslimah setelah menikah dengan Nabi, namun dia tetap dikenal dengan julukan Al-Qibtiyah.
Ahli sejarah Islam Thabari menuturkan dalam Tarikh Al-Rusul wal Muluk, bahwa pada tahun ke-6 hijriah, Hatib bin Abi Balta’ah sebagai utusan Nabi kembali dari Al-Muqawqis, Gubernur Bizantium, dengan membawa sejumlah hadiah antara lain dua perempuan hamba sahaya bernama Maria dan saudaranya Sirin di samping beberapa hadiah lain. Rasulullah kemudian menjadikannya sebagai istrinya dan dengan demikian dia berhak mendapat gelar ummahat al-muslimin (ibu kaum beriman). Sedangkan Sirin Qibtiyah oleh Nabi diserahkan pada Sahabat Hasan bin Tsabit.[1]
Pada tahun ke-8 hijrah, dari Maria lahirlah seorang putra Nabi yang diberi nama Ibrahim. Nabi sangat bersuka-cita dengan kelahiran putranya ini. Namun, takdir berkehendak lain, Ibrahim bin Muhammad menghembuskan nafas terakhirnya saat usianya baru menginjak 18 bulan.[2] Rasulullah sangat berduka atas wafatnya sehingga beliau menangis. Dalam sebuah hadits riwayat Syaiban, Nabi bersabda terkait meninggalnya Ibrahim: “Air mata mengalir, hati bersedih, tapi aku tidak akan mengatakan apapun kecuali perkataan yang diridhai Allah.”[3] Ibrahim dimakamkan di Baqi’, tempat pemakaman Sahabat yang berada di samping masjid Nabawi, Madinah.
Kembali pada Maria, ada perbedaan ulama ahli sejarah tentang statusnya apakah dia menjadi istri Nabi ataukah hanya sebagai surriyyah atau hamba sahaya yang dinikah secara tasarri. Tasarri adalah istilah dalam ilmu fiqih di mana seorang tuan menikahi hamba sahayanya tanpa merubah statusnya sebagai milkul yamin. [4]
Ibnu Saad Az-Zuhri dalam Tabaqat Al-Kubro menyatakan bahwa ia berstatus sebagai milkul yamin dengan demikian sebagai surriyyah .[5] Ibnu Qayyim dalam Zad Al-Ma’ad menjelaskan bahwa Nabi bertasarri (menikahi milkul yamin) dengan empat hamba sahaya antara lain Maria dan Raihanah binti Jahsy.[6] Pendapat yang sama terdapat dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah.[7]
Apabila berstatus sebagai surriyyah, maka Maria Al-Qibtiyah tidak berhak untuk menyandang predikat Ummahat Al-Mukminin (Ibunda Kaum Beriman) karena menurut jumhur ulama hanya perempuan yang berstatus zawjah yang berhak menyandang gelar tersebut.[8] Adapun ulama yang menyebut Maria sebagai istri Nabi kebanyakan adalah para ulama Syiah.[9] Namun demikian, Mariya mempunyai gelar yang tidak dimiliki oleh istri-istri Nabi yang lain yaitu Ummu Ibrahim.
Walaupun status sosialnya sebagai milkul yamin, namun dalam pandangan Allah, Maria adalah wanita muslimah yang salihah dan sangat mulia. Ia menjadi sebab turunnya Surah At-Tahrim di mana Allah membela kesucian namanya. Oleh karena itu sebagian ulama tetap menyebut Maria sebagai salah satu dari Ummahat Al-Mukminin sejajar dengan para istri Nabi yang lain.
Lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, Maria meninggal dunia pada bulan Muharram tahun ke-16 hijriah pada zaman Khalifah Umar bin Khattab. Umar meminta para Sahabat dari kalangan Anshar dan Muhajirin untuk bersaksi di depan jenazahnya, menyolati dan mendoakannya.[10] Ia dimakamkan di Baqi’ di sisi putra tunggalnya Ibrahim dan bersebelahan dengan para istri Nabi yang lain.
Pelajaran yang dapat diambil dari Maria adalah bahwa Allah memandang tinggi rendah derajat seseorang dari tingkat ketakwaannya. Bukan dari status sosial dan keturunannya. []
CATATAN KAKI
[1] Tabari, Tarikh Al-Ruasul wal Muluk, hlm. 131.
[2] Menurut Waqidi, dan 16 bulan lebih delapan hari menurut Al-Makhzumi.
[3] Teks hadits: تدمع العين، ويحزن القلب، ولا نقول إلا ما يرضي ربنا
[4] Hamba sahaya perempuan disebut jariyah atau amat atau milkul yamin. Tuan atau pemilik hamba sahaya boleh menikahi hamba sahaya miliknya dengan cara tasarri ) QS An-Nisa’ 4:24 dan Al-Mukminun :5-7 ) dan perempuan yang dinikah disebut surriyyah. Syaratnya, wanita tersebut bukan istri orang lain. Wanita hamba sahaya yang sudah di-tasarri oleh tuannya berlaku sebagaimana istri pada umumnya dalam arti tidak boleh menikah dengan pria lain pada waktu yang sama. Adapun status anak adalah merdeka mengikuti status ayahnya. Sedangkan milkul yamin menjadi merdeka setelah tuannya meninggal dunia. Hamba sahaya itu diperoleh dari tahanan orang kafir harbi yang kalah perang dengan pasukan Islam. Adapun orang kafir yang bukan harbi, yang tidak memerangi Islam, tidak bisa jadi hamba sahaya. Saat ini, hamba sahaya sudah dihapuskan baik di dunia Islam maupun non-muslim karena semua negara sudah menjadi anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang di dalamnya terdapat aturan Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) yang menghapus perbudakan dalam segala bentuknya yang wajib ditaati oleh seluruh anggotanya.
[5] Ibnu Saad Az-Zuhri, At-Tabaqat Al-Kubro, 1/134-135
[6] Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah, Zad Al-Ma’ad, 1/114.
[7] Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 7/328
[8] Berdasarkan firman Allah dalam QS Al-Ahzab :6. Lihat juga, Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 7/328. Teks asal:
يؤخذ من استعمال الفقهاء أنهم يريدون ب ” أمهات المؤمنين ” كل امرأة عقد عليها رسول الله صلى الله عليه وسلم ودخل بها ، وإن طلقها بعد ذلك على الراجح . وعلى هذا فإن من عقد عليها رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يدخل بها فإنها لا يطلق عليها لفظ ” أم المؤمنين ومن دخل بها رسول الله صلى الله عليه وسلم على وجه التسري ، لا على وجه النكاح ، لا يطلق عليها ” أم المؤمنين ” كمارية القبطية
[9] Lihat misalnya, Bihar Al-Anwar, 22/202
[10] Ibnu Abdil Barr, Al-Istiab fi Makrifatil Ashab, hlm. 4/1912