Aisyah Ulama Perempuan Pertama
Aisyah Ulama Perempuan Pertama. Aisyah menjadi figur inspiratif bagi semua perempuan muslimah bahwa tidak ada halangan apapun yang dapat mencegah seorang wanita untuk menjadi seorang ilmuwan kelas atas. Ia juga contoh bahwa menjadi wanita karir tidak harus menjadi penghalang untuk tetap setia, dan taat pada suami dan tetap menjaga keharmonisan rumah tangga.
Oleh: A. Fatih Syuhud
Aisyah binti Abu Bakar merupakan sosok wanita yang patut menjadi teladan bagi perempuan muslimah modern saat ini. Betapa tidak, ia dikenal sebagai salah satu ummul mukminin yang paling disayang Rasulullah setelah Khadijah binti Khuwailid. Dikenal sebagai ibu rumah tangga sejati yang sangat taat dan hormat pada suaminya. Namun, pada saat yang sama ia juga masyhur sebagai ulama perempuan pertama yang masuk dalam 10 besar ulama ahli hadis yang paling banyak meriwayatkan hadis Rasulullah.
Kedalaman ilmu Aisyah bukan hanya di bidang hadis, tetapi juga di bidang tafsir Al-Quran dan hukum fiqih. Menurut Masruq bin Al-Ajda, banyak kalangan Sahabat Nabi yang berkonsultasi masalah faraidh pada Aisyah.[1]. Bahkan Umar bin Khattab yang dikenal sebagai mujtahid dari kalangan Sahabat, selalu bertanya pada Aisyah terkait masalah yang berkaitan dengan hukum-hukum perempuan, atau keadaan rumah tangga Nabi. Az-Zuhri berkata: “Seandainya dikumpulkan seluruh kaum wanita, niscaya ilmu Aisyah lebih utama.”[2]
Tentang keahliannya di bidang fiqih, Al-Hakim dalam Al-Mustadrok berkata “Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih tahu soal halal, haram, ilmu, syair, dan kesehatan melebihi Aisyah.”[3] Kemampuannya di bidang hadis juga diakui oleh Abu Musa Al-Asy’ari di mana ia mengatakan “Setiap kali kami menemui kesulitan tentang suatu hadis, lalu kami bertanya pada Aisyah pasti dia dapat menjawabnya.” [4]
Mengapa Aisyah begitu tinggi keilmuannya di berbagai bidang? Bukankah ia sudah menikah dan berumah tangga sejak usia yang masih sangat muda? Pada dasarnya, sudah menikah atau belum tidak bisa menjadi tolok ukur atas keberhasilan atau kegagalan seseorang dalam mencapai apapun yang ingin dicapainya termasuk di bidang keilmuan. Walaupun, tidak sedikit perempuan yang ketika sudah menikah lalu menyerah dan membiarkan cita-citanya terpendam. Banyak wanita dan laki-laki yang menikah pada usia muda, namun berhasil menjadi orang yang ahli di bidang yang ditekuninya.
Letak sukses atau gagalnya seseorang dalam bidang keilmuan sebenarnya terletak pada niat dan semangat mencari ilmu itu sendiri. Niat yang besar untuk menambah wawasan keilmuan tidak akan mudah padam oleh halangan yang sebesar apapun. Apalagi kalau penghalang itu hanya berupa pernikahan, rumah tangga, anak dan suami. Sebaliknya, keluarga justru dapat dijadikan sebagai pemicu semangat dan peluang untuk menambah wawasan keilmuan. Itulah yang terjadi pada Aisyah.
Aisyah dikenal banyak bertanya pada Rasulullah tentang makna dan pengertian ayat-ayat Al-Quran. Itulah yang menempatkannya menjadi seorang ulama ahli tafsir Quran.[5] Sebagaimana juga dia begitu bersemangat, dengan daya ingatnya yang kuat, untuk menghafal banyak hadis dari Rasulullah di samping juga menghafal banyak syair. Terkait dengan seringnya Aisyah bertanya pada Nabi, Ibnu Abi Mulaikah menggambarkan kehausan Aisyah pada ilmu bahwa Aisyah tidak pernah mendengar sesuatu yang tidak ia ketahui kecuali ia menanyakan hal itu sampai ia tahu.[6]
Sebagai seorang wanita yang memiliki kemauan tinggi untuk selalu mencari dan menambah ilmu, maka memiliki suami yang sekaligus seorang Rasul betul-betul dimanfaatkan oleh Aisyah untuk belajar sebanyak-banyaknya. Tak heran apabila ia menjadi salah satu dari 10 Sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah. Dari kesepuluh Sahabat tersebut, hanya Aisyah satu-satunya yang perempuan. Menurut hitungan Adz-Dzahabi ada 2.210 hadis yang berasal dari Aisyah. Sebanyak 174 hadis diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih). Sedangkan yang diriwayatkan oleh Bukhari saja sebanyak 54 hadis, dan oleh Muslim saja sebanyak 69 hadis.[7]
Sebagai ulama ahli hadis ternama yang riwayatnya langsung dari Rasulullah, bukan dari pihak ketiga, maka Aisyah banyak memiliki murid yang ingin belajar hadis langsung darinya. Sebagian besar “murid-murid” Aisyah adalah laki-laki.[8]
Menurut Al-Dzahabi lebih dari 100 orang yang meriwayatkan hadis dari Aisyah. Banyak dari mereka adalah para ulama yang terkenal keilmuannya. Di antara mereka terdapat para Sahabat seperti Umar bin Khattab dan putranya Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair.
Adapun yang dari kalangan Tabi’in seperti Urwah bin Zubair, Al-Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar, Alqamah bin Qais, Ikrimah, Mujahid, Sya’bi, Zar bin Jaisy, Masruq bin Ajda’, Ubaid bin Umair Al-Kinani, Said bin Al-Musayyib, Aswad bin Yazid, Muhammad bin Sirin, Towus bin Kaisan, Ato’ bin Abu Robbah, Sulaiman bin Yassar, Ali bin Al-Husain, Yahya bin Yakmar, Ibnu Abi Mulaikah, Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Az-Zubair Al-Malaki, Mutrif bin As-Syukhair.
Sedangkan dari kalangan perempuan yang belajar pada Aisyah antara lain Umroh binti Abdurrohman, Muadah Al-Adawiyah, Aisyah binti Tolhah, Jisroh binti Dujajah, Hafsoh binti Abdurrohman bin Abu Bakar, Khairah Ummul Hasan Al-Bishri, Sofiyah binti Syaibah, dan lainnya.[9]
Banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran dan keteladanan dari kehidupan Aisyah baik baik laki-laki dan terutama bagi perempuan. Pertama, perempuan harus memiliki cita-cita dan keinginan yang tinggi sebagaimana laki-laki.
Kedua, pernikahan hendaknya tidak dijadikan alasan untuk mundur dan menyerah dari mencapai cita-cita mulia yang ingin diraih. Tentu saja atas seijin dan setelah berkomunikasi dengan suami.
Ketiga, memiliki ilmu dan kemampuan yang tinggi bukan untuk tujuan mencari jabatan tertentu, tapi sebagai komitmen seorang muslim dan muslimah pada tuntunan Islam untuk selalu membaca, berfikir dan tafaqquh fiddin (belajar agama) serta mengamalkan ilmu yang dimiliki sesuai dengan fungsinya.[]
FOOTNOTE
[1] Ibnu Saad, Tabaqat Al-Kubro, hadits no. 9756,
[2] Siyar Al-Ulama An-Nubala, “As-Shohabah, Aisyah Ummul Mukminin”, 7/9.
[3] Al-Hakim, Al-Mustadrok ala Al-Sahihain, no. 6733.
[4] Jamik Al-Tirmidzi, “Bab Min Fadhli Aisyah”.
[5] Abdul Hamid Mahmud Tihmaz, As-Sayyidah Aisyah Ummul Mukminin wa Alimatu Nisa’ al-Alamin, Darul Qalam, Damascus, 1994., hlm. 183.
[6] Tihmaz, As-Sayyidah Aisyah Ummul Mukminin wa Alimatu Nisa’ al-Alamin, Darul Qalam, Damascus, 1994.,hlm. 177.
[7] Siyar A’lam Al-Nubala, “Aisyah Ummul Mukminin”, 1/9.
[8] Tihmaz, As-Sayyidah Aisyah Ummul Mukminin wa Alimatu Nisa’ al-Alamin, Darul Qalam, Damascus, 1994., hlm. 189.
[9] Siyar A’lam An-Nubala, “Aisyah Ummul Mukminin”, hlm. 1/9.