fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Malu dan Harga Diri

Malu dan Harga Diri
Oleh A. Fatih Syuhud

الحياء من الإيمان

Artinya: Malu itu salah satu unsur keimanan.

Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dengan sanad dari Sahabat Ibnu Umar ini menjadi salah satu hadits “wajib” di kalangan santri, ustadz dan mubaligh. Dalam arti, tak seorang pun yang tidak mengenalnya setidaknya semua orang mendengar bunyi hadits ini dikumandangkan baik dalam versi Arabnya atau terjemahnya. Sayangnya, tidak semua orang menghayati kandungan dan kedalaman isinya.

Iman yang memiliki konotasi tauhid menjadi tema sentral Islam dan yang menjadi standar utama keislaman kita. Dalam Islam, setiap perbuatan baik tidak akan memiliki nilai relijius tanpa didasari kepercayaan (keimanan) pada Allah yang satu. Seorang nonmuslim bisa saja memiliki amal baik, namun tanpa menyandarkan pada Yang Satu, maka perbuatan baiknya hanyalah bersifat duniawi semata. Sebaliknya, seorang muslim yang berbuat baik akan memiliki keuntungan dua dimensi; dimensi duniawi dan ikhrowi (keakhiratan). Ini pada gilirannya akan menciptakan rasa tawadhu (rendah hati) di hati seorang muslim, bukan sikap sombong dan pongah, karena ia sadar bahwa amal baiknya semata karena timbul dari keimanannya pada Allah, bukan karena dirinya sendiri. Dan karenanya, seorang muslim tidak patut berbangga diri apalagi sombong atas segala perbuatan baiknya.

Haya’ yang secara literal positif bermakna “rasa malu, rasa segan, dan tidak sopan”[1] oleh Rasulullah disebut sebagai bagian dari keimanan. Ini artinya, seorang muslim sangat dianjurkan memiliki sifat haya’. Haya’ dalam arti rasa malu adalah identik dengan harga diri (muruah). Ketika kita mengatakan, “dia tak tahu malu” hampir dapat dipastikan maksudnya adalah “dia tak punya harga diri.”

Rasa malu dan harga diri dengan demikian adalah sifat mulia apabila dikaitkan dengan sifat mulia yang lain seperti kejujuran, kedermawanan, kesederhanaan dan kepedulian sosial. Kita merasa malu dan merasa tak punya harga diri apabila kita tidak jujur, tidak dermawan, tidak hidup sederhana dan tidak atau kurang peduli pada sesama yang membutuhkan uluran tangan kita.

Orang Jepang terkenal dengan sikap ini. Sering kita dengar berita di media seorang pejabat tinggi yang mengundurkan diri karena dituduh korupsi sekalipun belum terbukti. Orang India terkenal dengan sikap sederhana dan kepedulian sosialnya[2]. Orang Eropa terkenal dengan rasa malu untuk korupsi, bangga hidup sederhana dan merakyat.[3] Bangsa Eropa Barat terkenal dengan sikap disiplin dan bersihnya.

Sikap haya’ semacam tersebut di atas tampak kurang mendapat perhatian kita, umat Islam Indonesia. Padahal, seperti tersebut dalam hadits di atas, ia harus menjadi bagian dari keimanan kita. Way of life (jalan hidup) kita.

Sudah waktunya kita menata dan meninjau ulang; sejauh mana kita telah menjalankan ajaran Islam yang benar. Serta mana ajaran-ajaran mulia Islam yang perlu kita prioritaskan. Haya’ menurut penulis adalah salah satu nilai Islam yang harus menjadi prioritas utama kehidupan keseharian seorang muslim.[]

CATATAN AKHIR

[1] Pemahaman haya’ lebih detail lihat Lewis Maluf El-Yasui, Al-Munjid, Maktabah Syarqiyah (Beirut: 1986); J. M. Cowan (at.), Arabic-English Dictionary, Spoken English Services, Inc. (New York: 1976); J. G. Hava, Arabic English Dictionary, Goodwords (New Delhi: 2001).
[2] Lihat, A. Fatih Syuhud, “Hidup Sederhana sebagai Pilihan” dalam Akhlakul Karimah, Malang (Pustaka Alkhoirot:2011).
[3] Bangsa Skandinavia seperti Finlandia dan Norwegia terkenal sebagai negara yang pemerintahannya paling bersih dari korupsi. Presiden dan pejabat-pejabatnya sangat merakyat. Sering mereka keliling kota dengan menyetir sendiri tanpa pengawal pribadi. Mobil-mobil diparkir di pinggir jalan tanpa dikunci dan bahkan kunci mobil dibiarkan di tempatnya tanpa ada yang mencuri.[]

Kembali ke Atas