fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Manajemen Konflik dalam Kepemimpinan Pesantren

Manajemen Konflik dalam Kepemimpinan Pesantren sangat diperlukan karena pondok pesantren baru bisa tumbuh dan berkembang apabila para pengasuhnya memiliki sistem yang solid untuk mengelola konflik yang bisa saja muncul dan terjadi. Karena, tidak jarang terjadi konflik dan perpecahan di antara pengasuh pesantren itu disebabkan oleh masalah yang sepele atau adanya miskomunikasi dan kesalahpahaman. Ponpes yang tidak solid biasanya sulit untuk tumbuh menjadi pesantren yang besar dan memiliki kualitas tinggi.
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot
Ponpes Al-Khoirot Malang

Setiap ada pengasuh pesantren yang meninggal dunia akan selalu timbul pertanyaan: siapa yang akan mengganti sebagai pengasuh. Dan kalau pengganti pengasuh yang wafat ternyata lebih dari satu, maka akan ada pertanyaan lanjutan: apakah tidak akan terjadi konflik kalau pengasuhnya banyak? Bahkan, pertanyaan itu tak jarang terwujud dalam pernyataan: tidak akan lama lagi akan terjadi konflik internal.

Saat KH. Zainal Ali Suyuthi, pengasuh kedua PP Al-Khoirot, meninggal pada April 2011 rumor akan terjadi konflik internal sempat mengemuka dari sebagian kalangan, termasuk dari sebagian pengasuh pesantren lain. Namun, alhamdulillah, rumor itu tidak terbukti. Sebaliknya, manajemen PP Al-Khoirot justru semakin solid di bawah kepemimpinan Dewan Pengasuh yang unsurnya terdiri dari putra-putri, menantu dan cucu pendiri pesantren.

Pertanyaan dan pernyataan akan terjadinya konflik internal wajar mengemuka saat sebuah pesantren ditinggal wafat pengasuh sebelumnya . Karena, hal itu memang kerap terjadi di banyak pesantren.

Suksesi Kepemimpinan

Sampai saat ini sebagian besar pesantren—kalau tidak semuanya– masih menggunakan cara lama dalam pengelolaan pesantren yaitu manajemen keluarga. Dalam sejarahnya mayoritas pesantren di Indonesia didirikan oleh individu santri dan biasanya dibangun di atas tanah milik pribadi, atau tanah hibah/tanah wakaf yang diserahkan oleh pemiliknya pada kyai pengelola pesantren. Pada proses pembangunannya, kyai biasanya dibantu oleh banyak pihak sukarelawan termasuk masyarakat, wali santri dan simpatisan. Dengan demikian, kyai menjadi figur sentral dalam kepemimpinan pesantren dan terkadang menjadi figur sentral dalam masyarakat.

Dalam sistem kultur Indonesia yang paternalistik[1], maka biasanya saat pendiri pesantren wafat, ia secara natural akan diganti oleh putra atau menantunya. Tidak penting apakah mereka memenuhi syarat atau tidak secara keilmuan dan kepribadian untuk memimpin pesantren. Dalam kultur Indonesia, khususnya Jawa, yang masih menghormati budaya feodal[2], putra atau menantu kyai adalah penerus natural dalam suksesi kepemimpinan pesantren. Masyarkat memaklumi itu dan mereka menerimanya.

Sistem dinasti ini bukan hanya monopoli pesantren. Dalam politik pun, tradisi ini terjadi. Partai PDIP tidak bisa melepaskan diri dari sosok Megawati yang merupakan anak pendiri ideologinya yaitu Soekarno. Saat ini, Puan Maharani, anak Megawati, sudah digadang-gadang untuk meneruskan estafet kepemimpinan Megawati. Walaupun secara kualitas kepemimpinannya masih kalah dibanding para aktifis internal partai.

Sistem dinasti dalam suksesi kepempinanan di pesantren sebenarnya merupakan tradisi turun temurun yang terjadi juga di luar pesantren. Karena itu, tidak ada masalah cara ini terus diterapkan. Tapi dari praktik ini pula konflik internal dapat muncul.

Terjadinya Konflik Internal

Konflik internal itu akan muncul biasanya apabila pengasuh yang wafat meninggalkan calon-calon pengasuh lebih dari satu dan mereka tidak terdidik secara baik dalam bidang keilmuan dan kepemimpinan (leadership).

Untuk menghindari konflik antar-saudara semacam ini, para kiai di Madura dan sebagian Jawa memiliki cara yang mereka anggap jitu. Yaitu, setiap anak laki-laki akan dibuatkan pesantren baru di luar. Dan hanya satu yang akan menjadi penerus pesantren asal. Dengan cara ini ada dua keuntungan yang diperoleh, pertama, jumlah pesantren akan terus bertambah dan itu baik bagi pendidikan masyarakat. Kedua, potensi konflik antar-saudara akan terhindari.

Namun, sistem ini juga mengandung beberapa kelemahan. Seperti, pertama, pesanren asal akan sulit tumbuh besar karena kemampuan para penerusnya jadi terpecah-pecah ke dalam sejumlah pesantren kecil. Apalagi kalau para pendiri pesantren baru itu lemah secara ekonomi dan komunikasi. Kedua, cara ini seperti menghindari masalah, bukan memecahkan akar masalah itu sendiri yang sebenarnya dapat diatasi dengan manajemen konflik yang baik. Dan yang tak kalah penting, tanpa pemecahan masalah yang komprehensif dalam hal suksesi ini, sebuah pesantren akan sulit menjadi besar, kokoh dan solid secara organisasi.

Dengan demikian, solusi konflik internal yang biasa dilakukan– dengan cara hanya satu orang yang menjadi pengasuh pesantren dan yang lain harus keluar– saya kira tidak tepat. Dan malah akan semakin memperlemah pesantren itu sendiri. Baik secara kualitas maupun kuantitas. Apalagi, lemah kuantitas biasanya berakibat pada lemahnya tawar menawar (bargaining power) dengan pihak lain.

Manajemen Konflik

Sebenarnya akar masalah dari konflik antarpengasuh dalam satu pesantren dapat terjadi karena kurangnya kemampuan atau kemauan (political will) masing-masing pihak yang bertikai untuk mengatasi konflik (conflict management). Padahal, konflik itu bersumber dari perbedaan dan mengatasi perbedaan itu tidaklah sulit asal ada kemauan dari setiap individu terkait.

Unsur paling menonjol terjadinya suatu keretakan internal dalam kepemimpinan plural biasanya karena salah satu atau beberapa faktor di bawah dan begitu juga solusinya.

Pertama, komunikasi dan musyawarah mufakat. Komunikasi adalah kata kunci utama atas keberhasilan atau kegagalan suatu kepemimpinan yang plural (tidak tunggal). Terjadinya keretakan atau konflik internal pasti dikarenakan oleh kurang atau tidak adanya komunikasi. Pemicu awal dari konflik adalah kesalahpahaman. Dan kesalahpahaman terjadi karena minimnya komunikasi. Komunikasi bisa dalam bentuk formal dan informal. Dalam setiap keputusan, hedaknya diprioritaskan musyawarah mufakat. Tidak ada ego yang harus menang atau kalah. Semua ego harus mendapatkan bagian dari “kemenangan” dan bagian “kekalahan.” Itulah esensi dari musyawarah mufakat.

Kedua, persamaan visi. Dari komunikasi yang intens, maka kesempatan untuk menyamakan visi (rencana besar ke depan) dan menghindari konflik akan semakin besar.

Ketiga, kerja sama tim. Kepemimpinan plural ibarat main bola. Semua keberhasilan adalah karena hasil kerja sama tim. Langsung atau tidak langsung. Begitu juga, tanggung jawab kegagalan harus dipikul bersama. Dengan pola pikir (mindset) seperti ini, maka tidak ada seorang pun yang akan merasa dilupakan saat suka. Dan jadi kambing hitam saat duka.

Keempat, hindari kepentingan pribadi. Pengasuh pesantren adalah posisi untuk ibadah kepada Allah dan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dengan mengorbankan waktu, tenaga dan materi. Bukan posisi untuk mencari keuntungan. Berangkat dari paradigma ini, maka semua tugas yang diemban oleh masing-masing pengasuh adalah mulia.

Kelima, pembagian tugas. Setiap individu memiliki potensi tertentu yang tidak dimiliki oleh yang lain. Akan sangat ideal apabila setiap Dewan Pengasuh memikul tugas khusus tertentu sesuai dengan bidang dan potensinya. Di PP Al-Khoirot, misalnya, semua tugas kepesantrenan dan kemasyarakatan ditanggung bersama sesuai potensi dan kesepakatan sebelumnya. Termasuk acara rutin seperti imam shalat berjamaah. Dengan demikian, tugas menjadi lebih ringan. Dan masih ada waktu yang tersisa bagi setiap pengasuh untuk melaksanakan pekerjaan pribadi masing-masing.

Keenam, penghasilan tetap. Kiai sebaiknya punya penghasilan tetap. Entah itu dengan cara bekerja, berbisnis atau bertani. Sebab, salah satu faktor terjadinya keretakan internal tidak jarang disebabkan oleh—meminjam istilah Kyai Syuhud Zayyadi– “rebutan tumpeng.” Realita ini menyedihkan, tapi harus dengan besar hati diakui. Ada pesan almarhum Kiai Nabrawi, mantan takmir masjid jamik kota Malang, yang patut diingat oleh semua kiai dan calon kiai demikian: “Kiai koduh alakoh, malّe tak rep-ngarep pessenah santreh.”

Dengan melaksanakan enam poin di atas, konflik antarpengasuh pesantren insyaAllah akan terhindari. Dengan cara itu pula pesantren akan lebih cepat maju dan besar karena dipimpin oleh sebuah tim yang solid dengan berbagai macam dan ragam potensi dan kemampuan individunya.[]

CATATAN AKHIR

[1] Paternalistik adalah budaya dalam suatu masyarakat yang menggantungkan diri pada figur tokoh kharismatik tertentu.
[2] Di mana orang dihargai dan tidak dihargai karena faktor keturunannya. Bukan karena kualitas individunya.

Kembali ke Atas