Karir dan Perselingkuhan
Islam membolehkan wanita berkarir dan bekerja di luar rumah apalagi kalau itu dilakukan untuk membantu finansial rumah tangga, membantu suami. Namun, jangan sampai salah fokus. Banyak godaan di luar sana. Dan istri harus menyadari ini dengan cara menjauhi godaan tersebut dengan penuh komitmen.
Karir dan Perselingkuhan
Oleh A Fatih Syuhud
Perempuan telah membuat kemajuan cukup cepat di bidang pendidikan dan partisipasi kerja. Indikator sosial dan ekonomi mereka semakin menunjukkan perbaikan luar biasa waktu demi waktu. Penyempitan gap gender ini nantinya akan mengarah pada peningkatan kekerasan pada perempuan, setidaknya dalam jangka pendek. Oleh karena itu, kita hendaknya dapat mengontrol beberapa konsekuensi dari pemberdayaan gender, khususnya disfungsional keluarga dan hubungan rumah tangga. Bagaimana membantu kaum pria merubah pola pikir yang ada agar kemajuan perempuan tidak harus dibayar mahal tampaknya memerlukan perhatian lebih.
Imej umum lelaki adalah sebagai sosok pencari nafkah yang kuat dan gigih. Dan perempuan digambarkan sebagai ibu rumah tangga yang menunggu dengan setia kepulangan suami dari tempat kerja. Pria sering terjebak dalam imej sebagai pencari nafkah dan ongkos psikologis dari kegagalan memenuhi peran ini dapat luar biasa. Apa yang terjadi apabila peran gender yang sudah mentradisi ini di redifinisi kembali, khususnya di lingkungan kelas menengah ke atas, yang sering ditimbulkan oleh kebutuhan dan tantangan ekonomi baru? Perempuan sebagai tenaga kerja disukai karena kesediaan mereka melakukan pekerjaan dengan gaji lebih rendah, adanya komitmen dan rasa tanggung jawab serta cocoknya pada sejumlah pekerjaan tertentu.
Gerakan kaum feminis dan munculnya sejumlah role model telah membantu memicu bangkitnya wanita profesional kelas menengah, yang sukses berkarir dan pada waktu yang sama berhasil sebagai ibu rumah tangga. Kalangan wanita sukses ini terkadang menyembunyikan rasa tertekan mereka dalam mengemban dua macam tanggung jawab. Tetapi apa yang akan terjadi saat pembalikan peran rumah tangga terjadi dan perempuan menjadi pencari nafkah? Seorang rekan saya yang baru lulus S2 Hukum di India dan sukses sebagai konsultan hukum di perusahaan terkenal di Jakarta mengatakan, “Saya lebih memilih bekerja dan karir saya diapresiasi suami kendati suami saya sukses, dari pada hanya berperan sebagai ibu rumah tangga”.
Dengan semakin meningkatnya jumlah perempuan menempati lapangan kerja, maka sedikitnya akan muncul empat probabilitas tantangan imajiner sosial ke depan.
Pertama, wanita A akan menjalani beban ganda sebagai pencari nafkah dan pengatur rumah tangga sedang suami tidak berperan apa-apa. Sang suami menolak menjadi bapak rumah tangga kendati sang istri bekerja keras sepanjang hari. Akhirnya mereka berpisah tetapi membiarkan pintu tetap terbuka untuk rujuk kembali suatu hari nanti.
Kedua, perempuan B menikah secara tergesa alias cinta monyet. Istri kemudian menyadari bahwa mereka secara intelektual maupun emosional tidak serasi. Sementara itu, dua anak telah lahir dan karena itu sang istri mempertahankan perkawinan. Dia mengambil langkah berani dengan tetap bekerja mencari nafkah keluarga dan sekaligus meneruskan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga. Dari waktu ke waktu, sang istri ingin keluar dari wahana perkawinan, tetapi karena tak ada dukungan, tetap melanjutkan mahligai rumah tangga. Uang tidak menjadi masalah tetapi sang suami cemburu pada pekerjaan istri, independensinya, fakta bahwa istri mencapai keberhasilan yang tak bisa dia raih. Haruskah istri menceraikannya?
Ketiga, perempuan C dan suaminya menikah berdasarkan cinta. Keduanya profesional. Tetapi lama kelamaan sang suami cemburu melihat istrinya yang lebih berbakat dan sukses. Suatu hari, suami stress dan mengusir istri, dengan anak kecil yang tidur di sampingnya. Sang istri pun menjadi single parent, bekerja dan memelihara anak. Haruskah dia berekonsiliasi dan kembali ke sang suami?
Perempuan D melakukan hubungan gelap dengan kolega kerjanya dan ketika suami mengetahuinya, maka dia pun menceraikannya. Sang istri meminta maaf dengan beralasan “di luar kesengajaan” dan memohon untuk rujuk. Haruskah suami rujuk kembali, kendati kelelakiannya tertantang dan menjadi rendah di mata dunia?
Kasus ketiga itu sudah umum terjadi. Dr. Shirley Glass, seorang psikolog Amerika dan pakar soal perselingkuhan dalam bukunya Not “Just Friends”: Protect Your Relationship From Infidelity and Heal the Trauma of Betrayal memberikan data survei menarik.
Menurut Glass:
Selama dua dekade pengalaman prakteknya sebagai psikolog diketahui ada 46 persen istri dan 62 persen suami yang telah melakukan perselingkuhan dengan kolega kerja. Dan menariknya, perselingkuhan yang dilakukan kalangan istri justru meningkat secara signifikan – dari 1982 sampai 1990, 38 persen istri melakukan perselingkuhan dengan rekan kantor berbanding dengan 50 persen jumlah istri tidak setia dari tahun 1991 sampai 2000.
Di Indonesia, menurut data stastistik dari Direktorat Jendral Pembinaan Peradilan Agama Tahun 2005 lalu, misalnya,
…ada 13.779 kasus perceraian yang bisa dikategorikan akibat selingkuh; 9.071 karena gangguan orang ketiga, dan 4.708 akibat cemburu. Persentasenya mencapai 9,16 % dari 150.395 kasus perceraian tahun 2005 atau 13.779 kasus. Alhasil ,dari 10 keluarga yang bercerai , 1 diantaranya karena selingkuh. Rata-rata , setiap 2 jam ada tiga pasang suami istri bercerai gara-gara selingkuh.
***
Kajian tentang maskulinitas, sebuah area riset paralel yang berkembang sebagai respons pada kajian perempuan, perlu dilakukan untuk mengeksplorasi isu-isu seputar keluarga di mana pasangan seperti yang tersebut di atas terperangkap. Suami dapat saja disalahkan sebagai pemukul istri, pelaku kekerasan rumah tangga dan terror. Tetapi, apa yang membuatnya demikian?
Dalam kasus pertama, akankah ibu rumah tangga yang tidak bekerja (dan terkadang tidak mendukung) didepak dari rumah? Di sini masyarakat akan dengan cepat mengatakan bahwa sang suami yang kejam telah meninggalkan istrinya. Pada kasus kedua, suami mengalami rasa minder karena dia tidak memiliki kapasitas intelektual dan kecakapan seperti istrinya untuk berkembang dan mulai menderita kecenderungan depresi. Dalam kasus ketiga, akankah sang istri yang memahami keadaan suaminya seperti itu karena dia tumbuh dalam kondisi keluarga yang disfungsional, mencoba pendekatan yang lebih halus? Apakah sang suami dalam contoh terakhir menyadari bahwa dia hanya korban dari pembalikan peran (reversal role)—selama ini perempuan biasanya selalu dalam posisi dikhianati—dan rela menerima kembali istrinya apabila sang istri hendak rujuk?
Sementara kita memfokuskan emansipasi untuk perempuan, kita juga perlu mengembangkan bentuk baru maskulinitas yang akan memungkinkan kaum lelaki beradaptasi terhadap realitas baru perempuan.
Untuk itu, diperlukan usaha keras masyarakat yang dapat berlaku adil baik pada lelaki dan perempuan.[]