Hukum Taat pada Pemimpin Ulil Amri
Hukum Taat pada Pemimpin Ulil Amri yakni para pemimpin negara dari level kepala negara sampai hirarki terbawah yaitu ketua RT/RW dan kepala desa/lurah
Oleh: A. Fatih Syuhud
Pilar keempat Ahlussunnah Wal Jamaah adalah taat pada ulil amri.
Dalil Al-Quran dan penjelasan ulama tafsir
Dalam QS An-Nisa 4:59 Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.”[1] Kata ‘ulil amri’ pada ayat tersebut bermakna umara (penguasa) berdasarkan hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Thabari: “Yang dimaksud ulil amri adalah umara.”[2] Oleh karena itu Thabari menyimpulkan bahwa ulil amri adalah “umara dan penguasa yang taat pada Allah dan menjadi kemaslahatan pada umat Islam.”[3]
Dalil Sunnah
Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan pada pemimpin, maka ia pasti bertemu Allah pada hari kiamat dengan tanpa hujjah yang membelanya. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak ada baiat di lehernya, maka ia mati dengan cara mati jahiliyah.”[4] Hadits ini dengan sangat jelas menyatakan wajibnya seorang muslim untuk taat pada pemimpin yang berkuasa.
Kata lain dari ulil amri dalam sejumlah hadis dan literatur klasik adalah waliyul amri, al-imam, al-hakim, al-khalifah, as-sulthon, al-wali (al-wulat) dan al-amir (umara).
Ketaatan yang Mutlak
Ketaatan pada pemimpin atau penguasa bersifat mutlak. Baik pada penguasa yang adil dan tidak korup, maupun pada pemimpin muslim yang zalim. Dalam sebuah hadis sahih, Nabi bersabda:
سَيَلِيكُمْ بَعْدِي وُلَاةٌ، فَيَلِيكُمْ الْبَرُّ بِبِرِّهِ، وَيَلِيكُمْ الْفَاجِرُ بِفُجُورِهِ، فَاسْمَعُوا لَهُمْ وَأَطِيعُوا فِي كُلِّ مَا وَافَقَ الْحَقَّ، فَإِنْ أَحْسَنُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ، وَإِنْ أَسَاءُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ.
“Sepeninggalku nanti ada pemimpin-pemimpin yang akan memimpin kalian, pemimpin yang baik akan memimpin dengan kebaikannya dan pemimpin yang zalim akan memimpin kalian dengan kezalimannya. Maka dengarlah dan taatilah mereka pada perkara-perkara yang sesuai dengan kebenaran saja. Apabila mereka berbuat baik maka kebaikannya adalah bagimu dan untuk mereka, jika mereka berbuat buruk maka bagimu (untuk tetap berbuat baik) dan bagi mereka (keburukan mereka).”[5]
Dalil hadis wajibnya ketaatan mutlak pada penguasa
Dalam sebuah hadis lain Nabi menegaskan bahwa apapun yang terjadi, seorang muslim harus taat pada pemimpinnya. Walaupun seandainya mereka fasik atau tidak taat pada Allah. Dari Hudzaifah bin Al-Yaman Nabi bersabda:
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي ، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ ، قَالَ : قُلْتُ : كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ ، قَالَ : تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ ، وَأُخِذَ مَالُكَ ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ.
“Nanti setelah aku akan ada seorang pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak pula melaksanakan sunnahku. Nanti akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan, namun jasadnya adalah jasad manusia. Aku (Hudzaifah bin Al-Yaman) berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa yang harus aku lakukan jika aku menemui zaman seperti itu?’ Beliau bersabda, Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu, walaupun mereka memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan ta’at kepada mereka.”[6]
Penjelasan Imam Nawawi
Imam Nawawi memasukkan hadis tersebut dalam bab “Wajibnya bersatu bersama mayoritas jamaah umat Islam saat terjadi fitnah[7] dan dalam segala kondisi serta haramnya keluar dari ketaatan alias memberontak dan memisahkan diri dari jamaah.”[8] Imam Nawawi dalam Kitab Al-Imarah juga memasukkan bab tersendiri terkait hal ini dengan nama: “Bab Taat pada Penguasa (Umara) walaupun mereka menghalangi hak (rakyat).”[9]
Dalil hadis pentingnya taat pada penguasa
Dalam hadis lain, Nabi sekali lagi menegaskan pentingnya taat pada pemimpin walaupun yang zalim dan korup:
سَأَلَ سَلَمَةُ بنُ يَزِيدَ الجُعْفِيُّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، فَقالَ: يا نَبِيَّ اللهِ، أَرَأَيْتَ إنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا، فَما تَأْمُرُنَا، فأعْرَضَ عنْه، ثُمَّ سَأَلَهُ، فأعْرَضَ عنْه، ثُمَّ سَأَلَهُ في الثَّانِيَةِ، أَوْ في الثَّالِثَةِ، فَجَذَبَهُ الأشْعَثُ بنُ قَيْسٍ، وَقالَ: اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فإنَّما عليهم ما حُمِّلُوا، وَعلَيْكُم ما حُمِّلْتُمْ.
“Seorang Sahabat bernama Salamah bin Yazid Al Ju’fiy bertanya kepada Rasulullah: Wahai Nabi Allah bagaimana menurutmu bila diangkat bagi kami pemimpin-pemimpin yang menuntut segala hak mereka, tetapi mereka tidak menunaikan hak-hak kami? Apa perintahmu untuk kami wahai Rasulullah?” Maka Rasulullah berpaling darinya, sampai ia tanyakan tiga kali namun Rasulullah tetap berpaling darinya. Kemudian Al Asy’ats bin Qais menariknya dan berkata: “Kewajibanmu hanya mendengar dan taat, sesungguhnya mereka akan mempertanggung-jawabkan apa yang dibebankan atas mereka, dan kalian juga akan mempertanggung-jawabkan apa yang dibebankan atas kalian.”[10]
Penjelasan Asy-Syaukani
Dalam mengomentari hadis di atas, Asy-Syaukani menjelaskan: “Hadis ini menjadi dalil atas wajibnya taat pada umara walaupun mereka melakukan kekejaman dan kezaliman sampai pada level memukul rakyat dan merampas hartanya. Hukum ini menjadi pengecualian dari aturan umum dalam firman Allah QS Al-Baqarah 2:194 di mana Allah berfirman: Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Dan pengecualian dari QS Asy-Syura 42:40 di mana Allah berfirman: Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.”[11]
Ketaatan pada penguasa ini sampai pada level di mana seandainya ada tokoh kuat yang berhasil mengalahkan pemimpin sah yang sedang berkuasa dan mengambil alih kekuasaannya, siapakah yang harus ditaati: apakah tokoh pengkudeta, ataukah umat Islam harus berusaha mengkudeta balik? Dalam hal ini, para ulama berpendapat tokoh pengkudeta-lah yang harus ditaati berdasarkan pada hadis: “Mendengar dan taatlah. Walaupun yang menjadi pemimpin kalian adalah seorang budak dari Habasyah yang kepalanya seakan seperti kismis.”[12]
Dua alasan wajibnya ketaatan mutlak pada penguasa
Menurut Al-Safarini dalam Lawami’ Al-Anwar ada dua alasan mengapa kepatuhan pada penguasa itu bersifat mutlak: pertama, ada presedennya pada era awal Islam. Di mana Abdullah bin Zubair,[13] yang berkuasa di Makkah selama 9 tahun antara tahun 683 sampai 692 masehi,[14] dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwan melalui tangan Al-Hajjaj. Bin Marwan kemudian berkuasa di Makkah. Penduduk Makkah berbaiat padanya dan menjadikannya sebagai pemimpin yang baru. Kedua, alasan yang lain adalah karena keluar dari penguasa yang menang akan berakibat pada pecahnya soliditas umat, terjadinya kekacauan, pertumpahan darah dan musnahnya harta benda rakyat.[15]
Kewajiban Taat pada Penguasa adalah Ijmak Ulama
Ketaatan pada pemimpin yang berkuasa, baik yang diangkat secara sah dan sukarela oleh rakyat melalui pemilu seperti yang terjadi di Indonesia, atau yang mendapat mandat dari rakyat secara terpaksa seperti dalam kasus Abdul Malik bin Marwan di atas, adalah pandangan ulama secara ijmak. Dan ketika ulama sudah sepakat, maka ia menjadi hukum yang tetap dan mengikat bagi muslim Ahlussunnah Wal Jamaah.[16] Berikut beberapa pendapat ulama klasik:
Pendapat Abul Hasan Al-Asy’ari
Abul Hasan Al-Asy’ari (wafat, 324 H/ 936 M), pendiri akidah Asy’ariyah, menegaskan bahwa taat pada pemimpin itu besifat mutlak: “Para ulama sepakat untuk taat pada para imam umat Islam dan taat pada setiap pemimpin yang memimpin karena pilihan rakyat atau karena kekuatan. Sama saja pemimpin itu baik atau zalim. Tidak boleh melawan mereka dengan pedang, sama saja zalim atau adil. Wajib untuk berperang melawan musuh bersama mereka (pemimpin). Berhaji ke Baitullah dengan mereka. Dan memberikan zakat pada mereka apabila diminta dan melaksanakan shalat Jumat dan lebaran di belakang mereka.”[17]
Pendapat Ibnu Battal dan Ibnu Hajar Al-Asqalani
Ibnu Battal (wafat, 449 H/1057 M) menyatakan: “Ulama fikih sepakat (ijmak) bahwa pemimpin yang menang (dalam perebutan kekuasaan) harus ditaati.”[18]
Ibnu Hajar Al-Asqalani mengkonfirmasi bahwa “Ulama fikih ijmak atas wajibnya taat pada Sulton yang menang (dalam perebutan kekuasaan). Berjihad bersamanya. Taat padanya itu lebih baik daripada keluar (memberontak). Karena memberontak akan berakibat terjadinya pertumpahan darah dan perang saudara.[19]
Pendapat Al-Hijawi Al-Hanbali
Al-Hijawi Al-Hanbali menjelaskan ijmaknya ulama atas wajibnya patuh pada penguasa: “Mengangkat Al-Imam Al-A’zham (pemimpin besar) adalah fardhu kifayah dan pengangkatan pemimpin itu ada beberapa cara antara lain kesepakatan umat Islam sebagaimana yang terjadi pada pengangkatan Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai Khalifah; atau baiat dari Ahlul Halli wal Aqdi dari kalangan ulama; pilihan manusia dengan level kesaksian; atau membentuk dewan Syuro dalam jumlah tertentu dan memilih salahsatunya; atau dengan mengangkat orang yang menerima atau dengan ijtihad atau dengan kekuatan pedang dari seorang tokoh sehingga umat menyerah dan menjadikannya seorang imam.[20]
Hukum Taat pada Penguasa Menurut Empat Madzhab
Ijmaknya ulama atas wajibnya taat pada penguasa dapat diketahui dari kesepakatan para ulama empat madzhab, yakni madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, melalui fakta-fakta pandangan mereka di bawah ini:
Madzhab Maliki
Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani, yang digelari sebagai Imam Malik kecil, dalam Al-Muqaddimah menyatakan: “Taat pada pemimpin Islam baik yang berkuasa karena diinginkan rakyat atau karena kekuatan adalah wajib. Sama saja ia pemimpin baik atau zalim, hendaknya kita tidak keluar (memberontak) dari kepemimpinannya.
Apa yang saya nyatakan ini adalah pandangan Ahlussunnah dan para ulama fikih dan hadits. Ini adalah ucapan Imam Malik baik yang diucapkan secara eksplisit atau dipahami dari madzhabnya.”[21]
Ad-Dardir dalam Al-Syarh Al-Kabir menyatakan: “Al-Imamah Al-Uzhma ditetapkan dengan salah satu cara yang tiga: a) wasiat atau penunjukan dari khalifah sebelumnya pada orang yang ditunjuk; b) dengan kekuatan pasukan. Karena orang yang menang dengan kekuatan itu harus ditaati dan tidak disyaratkan kompetensinya dalam imamah karena konteksnya adalah untuk menolak mafsadah dan mengambil bahaya yang lebih kecil.”[22]
Al-Syatibi, ulama madzhab Maliki, dalam Al-I’tisham menjelaskan bahwa ketika Yahya bin Yahya Al-Maliki[23] ditanya tentang hukum berbaiat pada pemimpin yang zalim, ia menjawab bahwa hal itu boleh. Ia berargumen: “Ibnu Umar pernah berbaiat pada Abdul Malik bin Marwan padahal ia merebut kekuasaan dengan pedang. Imam Malik mengabarkan padaku bahwa Ibnu Umar menulis surat pada Bin Marwan: Aku berikrar padanya untuk taat berdasarkan pada Al-Quran dan Sunnah Nabi-Nya.” Yahya bin Yahya berkata: “Baiat itu lebih baik daripada firqah (keluar dari ketaatan pada penguasa).”[24]
Madzhab Hanafi
Ibnu Abidin, ulama madzhab Hanafi yang lain, dalam Hasyiyah-nya, menyatakan: “Seorang Imam (pemimpin negara) menjadi imam (yang sah) karena adanya baiat atau karena mengganti imam sebelumnya… begitu juga pergantian pemimpin karena kekuatan sebagaimana disebut dalam Syarah Al-Maqashid.”[25]
Al-Thahawi, seorang ulama madzhab Hanafi, dalam Al-Aqidah Al-Thahawiyah, menyatakan: “Kami tidak akan keluar dari pemimpin kami walaupun mereka korup. Kami tidak mengajak menentang mereka. Kami memandang bahwa taat pada pemimpin termasuk dari taat pada Allah yang hukumnya wajib selama mereka tidak menyuruh berbuat maksiat. Kami mengajak mereka untuk berdamai dan saling memaafkan.[26]
Madzhab Syafi’i
Al-Baihaqi dalam Manaqib Asy-Syafi’i menjelaskan ucapan Imam Syafi’i: “Siapa saja yang menang dalam perebutan kursi Khilafah, sehingga disebut Khalifah dan rakyat sepakat atasnya, maka dia adalah Khalifah.”[27]
Ibnu Hajar Al-Haitami, salah satu ulama madzhab Syafi’i, dalam Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, menyatakan: “Pihak yang menang (dalam perebutan kekuasaan) sah menjadi pemimpin untuk menolak mafsadah (kerusakan) yang timbul dari berbagai fitnah (kekacauan) apabila melawannya.”[28]
Madzhab Hanbali
Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, dalam Ushul Ahlis Sunnah menyatakan: “Barangsiapa yang keluar dari Imamnya umat Islam, padahal semua manusia sudah setuju padanya dan mengakuinya sebagai Khalifah dengan cara apapun, sukarela atau kekuatan, maka orang yang keluar ini telah memecah persatuan umat dan menyalahi Sunnah Rasul yang bersabda: “Apabila ia mati dalam keadaan memberontak maka ia mati jahiliyah.”[29]
Ibnu Qudamah, ulama madzhab Hanbali, dalam Al-Mughni menyatakan: “Kesimpulannya, orang yang disepakati umat atas kepemimpinannya dan membaiatnya, maka sahlah kepemimpinannya dan wajib membantunya. Berdasarkan pada hadis dan ijmak ulama. Searti dengan itu, orang yang sah kepemimpinannya pada masa Nabi atau setelahnya ada imam yang menunjuknya.
Abu Bakar menjadi imam dengan ijmak para Sahabat yang membaiatnya. Umar menjadi imam dengan penunjukan Abu Bakar dan Sahabat sepakat menerimanya. Apabila ada seorang laki-laki memberontak pada imam yang sedang berkuasa dan berhasil merebut kekuasaan dengan pedangnya sehingga rakyat mengakui kepemimpinannya, mentaatinya dan mengikutinya, maka dia menjadi imam yang sah yang tidak boleh diperangi dan memberontak atasnya. Karena, Abdul Malik bin Marwan memberontak pada Abdullah bin Zubair.
Bin Marwan membunuh Bin Zubair dan Bin Zubair berkuasa dan memerintah pada negara dan rakyat setempat sehingga rakyat membaiatnya secara rela atau terpaksa, maka ia menjadi imam yang haram memberontak padanya. Sebabnya adalah memberontak atasnya akan memecah soliditas umat Islam, menimbulkan pertumpahan darah dan menghancurkan harta benda.”[30]
Mengeritik Penguasa
Larangan memberontak pada penguasa yang sah sebagaimana dijelaskan di atas bukan berarti mengeritik penguasa itu dilarang. Mengeritik ulil amri itu dibolehkan sepanjang memakai cara-cara yang baik dan konstitusional. Aturan umum dalam mengeritik penguasa dapat dilihat dalam sebuah hadis sahih di mana Nabi bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
“Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang seharusnya), dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.”[31]
Dalam konteks Indonesia, yang menganut sistem demokrasi, mengeritik penguasa tidak dilarang dan bahkan diberi ruang yang seluas-luasnya tanpa harus merasa takut untuk ditahan atau dipersekusi. Dengan catatan, kritikan harus bersifat faktual, berdasarkan data, bersifat obyektif, jauh dari fitnah dan berita hoaks. Kritik dapat diungkapkan melalui berbagai macam cara antara lain: tulisan di media massa cetak atau elektronik; melalui media sosial; melalui orasi demo atau unjuk rasa, dan lain-lain.
Kesimpulan
Taat pada pemimpin negeri dan jajaran di bawahnya hukumnya wajib berdasarkan pada nash Al-Quran, Sunnah dan ijmak ulama. Ketaatan ini menjadi pilar keempat bagi muslim pengikut Ahlussunnah Wal Jamaah. Kepatuhan ini bersifat mutlak baik pada pemimpin yang adil, separuh adil separuh zalim maupun yang lebih banyak zalimnya.
Sikap ini berlaku pada sosok pemimpin negeri yang memperoleh kekuasaan dengan cara apapun baik yang legal, seperti hasil pemilu atau ilegal seperti melalui kudeta berdarah. Hal ini demi terciptanya suasana kondusif pada umat sehingga terhindar dari terjadinya perpecahan, pertumpahan darah sesama muslim dan kehancuran harta benda. Juga, untuk membuat suasana kondusif bagi umat untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari mereka termasuk mencari nafkah, ibadah dan menuntut ilmu.
Oleh karena itu, perilaku membangkang yang ditunjukkan oleh sebagian kelompok muslim yang bergabung dalam ormas radikal seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Salafi Jihadi[32] adalah secara jelas berlawanan dengan nash Al-Quran, Sunnah yang sharih dan ijmak ulama. Sikap dua kelompok ini tidak sesusai dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah dan tidak sepantasnya mereka menjadi bagian dari Aswaja.[]
Dapatkan buku: Ahlussunnah wal Jamaah
Catatan akhir
[1] QS An-Nisa 4:59 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
[2] Teks asal: أن أولي الأمر هم الأمراء. Hadis ini menurut Ibnu Hajar Asqalani sanadnya sahih. Lihat, Ibnu Hajar Asqalani dalam Fathul Bari, hlm. 12/464.
[3] Lihat, Tafsir At-Thabari, hlm. 8/502. Teks asal: أولى الأقوال في ذلك بالصواب قول من قال: هم الأمراء والولاة فيما كان لله طاعة وللمسلمين مصلحة
[4] HR Muslim. Teks: Hadis ini dikutip oleh Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sultoniyah, hlm. 17.
[6] HR Muslim #3544
[7] Yang dimaksud fitnah adalah konflik internal umat baik level kecil atau sampai puncaknya dalam bentuk perang saudara.
[8] An-Nawawi, Syarah Muslim, hlm. 12/237. Teks asal: باب وجوب ملازمة جماعة المسلمين عند ظهور الفتن، وفي كل حال وتحريم الخروج على الطاعة ومفارقة الجماعة
[9] An-Nawawi, Syarah Muslim, hlm. 12/545. Teks asal: باب في طاعة الأمراء وإن منعوا الحقوق
[10] HR. Muslim no. 1846
[11] Asy-Syaukani, Nailul Authar, hlm. 7/205. Teks asal: فيه دليل على وجوب طاعة الأمراء وإن فعلوا في العسف والجور إلى ضرب الرعية وأخذ أموالهم، فيكون هذا مخصصاً لعموم قوله تعالى: فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُواْ عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ. وقوله: وَجَزَاء سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا
[12] HR. Bukhari no. 6723. Teks hadits: اسمعوا وأطيعوا وإن استعمل عليكم عبد حبشي كأن رأسه زبيبة
[13] Abdullah bin Zubair bin Awwam adalah salah satu Sahabat terkecil. Ia putra dari Sahabat Zubair bin Awwam. Ibunya bernama Asma binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia lahir di Madinah pada tahun pertama setelah hijarahnya Nabi ke Madinah bertepatan dengan tahun 624 masehi.
[14] Atau tahun 64 – 73 hijriyah.
[15] Al-Safarini, Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyah wa Sawati’ Al-Asrar Al-Atsariyah, hlm. 2/423
[16] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, hlm. 1/5. Teks asal: اتفاقهم حجة قاطعة ، واختلافهم رحمة واسعة
[17] Abul Hasan Al-Asy’ari, Risalat ila Ahli Al-Tsaghar, hlm. 296. Teks asal: وأجمعوا على السمع والطاعة لأئمة المسلمين، وعلى أن كل من ولي شيئًا من أمورهم عن رضىً أو غلبة وامتدت طاعته من بَرٍّ وفاجر
[18] Ibnu Battal, Syarah Sahih Bukhari, hlm. 8/10. Teks asal: والفقهاء مجمعون على أن الإمام المتغلب طاعته لازمة
[19] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, hlm. 7/12. Teks asal: وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وان طاعته خير من الخروج عليه لما فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْنِ الدِّمَاءِ وتَسْكينِ الدَّهْمَاءِ
[20] Al-Hijawi Al-Hanbali, Al-Iqna’ li Thalib Al-Intifa’, hlm. 4/277. Teks asal: نصب الإمام الأعظم فرض كفاية، ويثبت بإجماع المسلمين عليه كإمامة أبي بكر، من بيعة أهل الحل والعقد من العلماء، ووجوه الناس بصفة الشهود، أو بجعل الأمر شورى في عدد محصور ليتفق أهلها على أحدهم ، فاتفقوا عليه، أو بنص من قبله عليه، أو باجتهاد، أو بقهره الناس بسيفه حتى أذعنوا له، ودعوه إماما
[21] Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani, Muqaddimat Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani. Dikutip dalam Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyah, hlm. 150. Teks asal: والسمع والطاعة لأئمة المسلمين، وكل من ولي من أمر المسلمين عن رضا أو عن غلبة، فاشتدت وطأته من بر أو فاجر، فلا يخرج عليه جار أم عدل … – ثم قال -: وكل ما قدمنا ذكره فهو قول أهل السنة وأئمة الناس في الفقه والحديث علىما بيناه، وكله قول الإمام مالك، فمنه منصوص من قوله ومن معلوم من مذهبه
[22] Ad-Dardir, Al-Syarh Al-Kabir, hlm. 4/298. Teks asal: اعلم أن الإمامة العظمى تثبت بأحد أمور ثلاثة؛ إما بإيصاء الخليفة الأول لمتأهل لها، وإما بالتغلب على الناس؛ لأن من اشتدت وطأته بالتغلب وجبت طاعته ولا يراعى في هذا شروط الإمامة؛ إذ المدار على درء المفاسد وارتكاب أخف الضررين
[23] Yahya bin Yahya Al-Maliki adalah murid Imam Maliki dan perawi hadis Muwatta’
[24] Al-Syatibi, Al-I’tisham, hlm. 368. Teks asal: أن يحيى بن يحيى قيل له: البيعة مكروهة؟ قال: لا. قيل له: فإن كانوا أئمة جور، فقال: قد بايع ابن عمر لعبد الملك بن مروان وبالسيف أخذا الملك، أخبرني بذلك مالك عنه، أنه كتب إليه: أقرّ له بالسمع والطاعة على كتاب الله وسنّة نبيه. قال يحيى بن يحيى: والبيعة خير من الفرقة”.
[25] Ibnu Abidin, Hasyiyah Ibnu Abidin, hlm. 4/450. Teks asal: الامام يصير إماما بالمبايعة أو بالاستخلاف ممن قبله. قوله: (يصير إماما بالمبايعة) وكذا باستخلاف إمام قبله، وكذا بالتغلب والقهر كما في شرح المقاصد
[26] At-Thahawi, Al-Aqidah At-Thahawiyah, hlm. 635. Teks asal: وَلَا نَرَى الْخُرُوجَ عَلَى أَئِمَّتِنَا وَوُلَاةِ أُمُورِنَاوَإِنْ جَارُوا،وَلَا نَدْعُو عَلَيْهِمْ،وَلَا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَتِهِمْ، وَنَرَى طَاعَتَهُمْ مِنْ طَاعَةِ اللَّهِ – عز وجل – فَرِيضَةً،مَا لَمْ يَأْمُرُوا بِمَعْصِيَةٍ، وَنَدْعُو لَهُمْ بِالصَّلَاحِ والمعافاة
[27] Al-Baihaqi, Manaqib Asy-Syafi’i, hlm. 1/449. Teks asal: عن حرملة، قال: “سمعت الشافعي يقول: كل من غلب على الخلافة بالسيف، حتى يسمى خليفة، ويجمع الناس عليه، فهو خليفة”.
[28] Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, hlm. 9/78.
[29] Ahmad bin Hanbal, Ushul Ahlis Sunnah, hlm. 44.
[30] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, hlm. 5/9.
[31] Hadits Shahih, riwayat Ahmad, Thabrani, Hakim, Baihaqi.
[32] Salafi Wahabi terbagi menjadi dua yaitu Salafi ilmi dan Salafi Jihadi. Salafi ilmi memiliki sikap yang sama dengan Aswaja dalam segi ketaatan pada pemimpin. Sedangkan Salafi Jihadi memiliki sikap yang sama dengan HT dalam segi pembangkangan mereka pada pemimpin yang sah yang diakui rakyat.