Doktrin Thoghut Hizbut Tahrir
Doktrin Thoghut Hizbut Tahrir adalah bentuk lain dari takfiri (mengafirkan sesama muslim) yang hukumnya haram dan dosa besar
Oleh: A. Fatih Syuhud
Abdul Qadim Zallum (1924 – 2003), amir kedua Hizbut Tahrir, menyatakan tentang demokrasi: “Demokrasi yang disebarkan oleh Barat yang kafir ke negara-negara Islam adalah sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam. Dari dekat atau dari jauh. Ia berlawanan dengan hukum-hukum Islam dengan pertentangan secara menyeluruh baik secara umum maupun detailnya, dari segi sumber rujukan, dari segi akidah dan dasar pijaknya dan dari segi pemikiran dan sistemnya.”[1]
Atas pendapatnya ini, Zallum berdalil dengan QS An-Nisa 4:60 di mana Allah berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.”[2] Dengan kata lain, HT menyimpulkan bahwa sistem politik yang selain sistem khilafah adalah sistem thaghut dan para pelaku dari sistem-sistem tersebut adalah para thaghut. Mustafa Abdullah, aktivis HT Yordania, menegaskan: “Wajah demokrasi yang sebenarnya adalah thaghut.”[3] Apa maksud dari pernyataan tersebut?
Pengertian Thaghut
Secara etimologis kata thaghut berasal dari masdar thaghyut (طغيوت) dari fi’il thagha yathghi (طغى يطغى) atau thaghwuut (طغووت) dari fi’il thagha yathghu (طغى يطغو). Oleh karena itu, thughyan dan thughwan maknanya sama. Bentuk jamaknya adalah thawaghits (طواغيت).[4] Sebagian ulama lughah menyatakan bahwa thaghut adalah masdar atau isim masdar dari fiil madhi thagha (طغا) ikut wazan fa’alut (فعلوت), rahamut, dan malakut. Ta’ pada kata akhir adalah zaidah (tambahan) untuk tujuan mubalaghah (penekanan makna).[5] Sehingga secara harfiah thaghut bermakan kezhaliman yang luas. Ulama lughah lain berpendapat bahwa thaghut adalah kata benda non-Arab yang sudah diarabkan (muarrob) yang ikut wazan faul (فاعول) seperti jalut (جالوت), thalut (طالوت), dan harun (هارون). Menurut pendapat ini, thaghut berasal dari bahasa Habasyah (Ethiopia).[6]
Makna Thaghut dalam Al-Quran
Untuk memahami makna yang sebenarnya dari kata thaghut, maka cara terbaik adalah merujuk langsung pada Al-Quran, asbanun nuzulnya, dan pemahaman ahli tafsir tentangnya. Ada delapan ayat Al-Quran yang menyebut secara spesifik kata thaghut, yaitu QS Al-Baqarah 256 dan 257; An-Nisa 4:51, 60, dan 76; Al-Maidah 5:60; An-Nahl 16:36; Az-Zumar 39:17. Kedelapan ayat tersebut terkumpul dalam lima Surah yakni Surah Al-Baqarah, An-Nisa, Al-Maidah, An-Nahl dan Az-Zumar.
Pertama, dalam QS Al-Baqarah terdapat dua ayat yang menyebut kata thaghut yaitu ayat 256 dan 257. Pada ayat 256 Allah berfirman: “Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah , maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.”.[7] Thaghut pada ayat ini menurut Thabari adalah syaitan atau tukang sihir.[8]
Sedangkan pada ayat 257 Allah berfirman: “Orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah thaghut yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran).”[9] Yang dimaksud thaghut dalam ayat ini menurut At-Thabari adalah orang yang hanya beriman pada Nabi Isa tapi kufur pada Nabi Muhammad.[10] Menurut Al-Baghawi, mengutip dari Muqatil, yang dimaksud thaghut adalah Ka’ab bin Al-Asyraf, Huyay bin Akhtab, dan tokoh sesat yang lain.[11] Sebagian mufasir yang lain memaknai thaghut di sini adalah syaitan, berhala atau para penyesat dari jalan yang lurus.[12]
Kedua, dalam Surah An-Nisa terdapat tiga ayat yang secara eksplisit menyebut kata thaghut yaitu ayat 51, 60, dan 76. Pada ayat 51 Allah berfirman: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al kitab? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut.”[13] Thaghut pada ayat ini, menurut Al-Baghawi, bermakna: dua berhala yang disembah kaum musyrik, setiap yang disembah selain Allah, penyihir, dan kahin (pemuka agama Yahudi).[14]
Ayat 60 yang dikutip mantan amir HT di atas menurut Al-Baghawi, mengutip dari Al-Sya’bi, mengatakan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah ketika terjadi konflik antara seorang Yahudi dan seorang munafik. Di mana orang Yahudi mengajak si munafik untuk bertahkim pada Nabi Muhammad karena ia tahu bahwa Nabi tidak bisa disuap dan adil dalam menghakimi. Sementara si munafik mengajak meminta keadilan pada pemuka Yahudi karena ia tahu mereka bisa disuap. Kemudian mereka sepakat untuk mendatangi seorang pemuka agama Yahudi untuk memberi keputusan. Kasus inilah yang menjadi penyebab turunnya ayat ini.[15]
Sementara itu, Al-Kalbi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa asbabun nuzul ayat di atas berawal dari adanya kasus pribadi antara seorang munafik dan seorang Yahudi. Si Yahudi berkata: Sebaiknya kita menemui Nabi Muhammad. Si munafik berkata: Kita datang saja ke Ka’ab bin Al-Asyraf (orang Yahudi). Al-Asyraf inilah yang disebut thaghut oleh Allah.[16] Penafsiran bahwa yang dimaksud taghut adalah pemuka Yahudi bernama Ka’ab bin Al-Asyraf disepakati oleh Zamakhsyari. Dalam Al-Kasyaf ia menjelaskan mengapa Al-Asyraf disebut thaghut: “Allah menjulukinya thaghut karena ekstrimnya Al-Asyraf dalam memusuhi Rasulullah atau karena serupa dengan setan dan memberi nama dengan namanya. Atau karena pilihan bertahkim pada selain Rasulullah dengan beralih pada bertahkim padanya itu dianggap bertahkim pada setan dengan dasar QS Al-Baqarah 2:257.”[17]
Dari kedua riwayat di atas, Ibnu Asyur menyimpulkan bahwa ayat ini konteksnya bersifat individual[18], dengan kata lain ayat ini tidak terkait politik atau sistem pemerintahan. Adapun kata ganti bentuk jamak yang digunakan dalam ayat الذين يزعمون yang dimaksud adalah kata ganti bentuk tunggal.[19]
Pada QS An-Nisa 4:76 Allah berfirman: “Orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut.”[20] Al-Tabari memaknai kata thaghut pada ayat ini dengan syaitan. Yakni, orang-orang kafir berperang karena taat pada setan dan jalan setan yang telah ditetapkan pada penolong setan yaitu kaum kafir pada Allah. Tujuan ayat ini diturunkan adalah untuk menguatkan umat Islam dari kalangan Sahabat Nabi yang hendak memerangi kaum kafir.[21]
Ketiga, dalam QS Al-Maidah 5:60 Allah berfirman “Di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut.” Menurut Al-Baghawi yang dimaksud adalah orang yang taat pada syaitan.[22]
Keempat, dalam QS An-Nahl 16:36 Allah berfirman: “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.”[23] Pada ayat ini, thaghut secara jelas digambarkan sebagai suatu penuhanan yang selain Allah. Al-Qurtuby mengkofirmasi hal ini saat ia menjelaskan maksud ayat ini demikian: “Tinggalkan sesembahan selain Allah seperti syaitan, kahin (pemuka agama Yahudi), berhala dan setiap orang yang mengajak pada kesesatan.”[24] Dengan demikian, thaghut dalam ayat ini pengertiannya lebih luas tidak hanya terbatas pada syaitan saja.
Kelima, dalam QS Az-Zumar 39:17 Allah berfirman: “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira.”[25] Menurut Al-Baidhawi, thaghut yang dimaksud di sini adalah syaitan.[26] Adapun asbabun nuzul ayat ini terkait peristiwa saat Abu Bakar masuk Islam lalu diikuti oleh teman-teman Abu Bakar, seperti Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abu Waqqash, Said bin Zubair, dan Az-Zubair.[27]
Dari kedelapan ayat Al-Quran yang membahas tentang thaghut dapat dipahami bahwa thaghut memiliki beberapa makna antara lain: syaitan, pemuka agama non-muslim, apapun yang disembah selain Allah, dan setiap orang yang mengajak pada kesesatan. Menurut penelitian Ibnu Asyur, secara umum pengertian thaghut baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah bermakna orang yang kuat dalam kekufuran dan kezhaliman. Sehingga menjadi identik pada arti berhala (yang dipertuhankan), sejumlah berhala, dan sejumlah tokoh kafir seperti Ka’ab bin Al-Asyraf.[28]
Dengan demikian, maka melabelkan kata taghut pada suatu sistem negara kontemporer yang tidak memakai sistem khilafah seperti demokrasi dan kerajaan dan dibuat menjuluki orang-orang muslim yang ada di dalamnya, sebagaimana pandangan Abdul Qadim Zallum dan Hizbut Tahrir, adalah tidak tepat. Tidak tepat bukan hanya karena ayat-ayat taghut tidak relevan untuk masalah ini, tapi juga karena menjuluki thaghut pada sesama muslim adalah dosa besar karena itu sama dengan mengkafirkan mereka.[29]
Doktrin Thoghut itu Ajaran Takfiri (Mengafirkan Sesama Muslim)
Sebagaimana disebut di muka, thaghut adalah istilah yang dipakai Al-Quran untuk menjuluki orang kafir dan tuhan-tuhan yang mereka sembah. Dengan demikian, sikap Hizbut Tahrir yang menyebut umat Islam dengan thaghut termasuk dalam kategori sikap takfiri atau mengkafirkan sesama muslim. Perbuatan mengafirkan sesama muslim adalah haram dan dosa besar.
Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Nabi bersabda: “Apabila seorang pria mengafirkan saudaranya maka tuduhan itu akan kembali pada salah satunya.”[30] Versi lain dari hadits ini disampaikan Imam Nawawi sebagai berikut: “Siapapun yang berkata pada saudaranya, “Hai kafir!” maka tuduhan itu kembali pada salah satunya apabila ia sebagaimana yang dikatakan. Apabila tidak, maka tuduhan itu kembali pada penuduh.”[31] Dalam hadits riwayat Muslim yang lain Nabi bersabda: “Barangsiapa yang menuduh seorang lelaki dengan kufur, atau berkata, “Musuh Allah” padahal kenyataannya tidak seperti itu maka tuduhan itu akan kembali pada penuduh.”[32]
Menurut Imam Nawawi, ada lima penafsiran para ulama tentang maksud hadits di atas. Dua di antaranya adalah, pertama, tuduhan itu kembali pada si penuduh dan haramnya mengkafirkan sesama. Kedua, arti kalimat “pengafirannya kembali padanya (si penuduh)” adalah kembali bukan dalam makna kufur hakiki tapi takfirnya itu. Karena ia telah menuduh sesamanya sebagai kafir maka seakan dia mengafirkan dirinya sendiri terkadang karena ia mengafirkan sesamanya atau karena dia mengafirkan orang yang betul-betul kafir yang berkeyakinan batalnya agama Islam.[33]
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat serupa: “Alhasil apabila orang yang dituduh itu memang betul-betul kafir secara syariah maka tuduhan si penuduh benar… Apabila tuduhannya tidak benar maka keburukan dan dosa tuduhan itu kembali pada yang mengatakan. Inilah ringkasan pemahaman kata “raja’a” (kembali). Ini adalah jawaban yang paling adil.”[34]
Ibnu Abdil Bar menjelaskan hadist di atas dari perspektif fikih: “Apabila dikatakan pada orang muslim “Hai kafir!” maka yang mengatakan perkataan itu kembali dengan dosa perkataan tersebut dan menanggung dosa yang besar. Namun dia tidak kafir. Karena kekafiran itu tidak terjadi kecuali dengan meninggalkan keimanan. Faidah hadits ini adalah larangan mengafirkan dan memfasikkan sesama muslim.”[35]
Pada intinya, mengkafirkan sesama muslim hukumnya haram dan dosa besar. Walaupun hal itu tidak sampai membuat si penuduh menjadi kafir, namun pelaku takfiri bisa disebut fasiq (pelaku dosa besar) yang salah satu dampaknya tidak boleh menjadi saksi dan bisa berakibat murtad apabila dia menganggap halal. Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa salah satu penyebab murtad atau keluar dari Islam adalah “menghalalkan perkara yang haram secara ijmak seperti zina, liwath, minum khamar dan berbuat zhalim atau mengharamkan yang halal secara ijmak seperti jual beli dan nikah.”[36]
Apabila Hizbut Tahrir mengkafirkan sistem pemerintahan yang selain sistem khilafah, maka itu artinya HT mengafirkan seluruh umat Islam di seluruh dunia. Karena, saat ini seluruh negara di dunia yang mayoritas penduduknya beragama Islam tidak ada yang memakai sistem Khilafah seperti yang diinginkan Hizbut Tahrir. Yang ada adalah sistem demokrasi atau monarki (kerajaan).
Pandangan Ulama tentang Sistem dan Pemimpin Negara
Sebenarnya, kalau diteliti dari pandangan pendiri HT Taqiuddin An-Nabhani, tidak ada dalil naqli (Al-Quran dan hadits) yang secara eksplisit mengharuskan seorang muslim untuk mendirikan negara dengan sistem khilafah. Dalam bukunya yang secara spesifik membahas soal ini, Ad-Daulah Al-Islamiyah, An-Nabhani hanya mengutip sebuah hadits riwayat Ahmad sebagai dasar utama pijakannya di mana Nabi bersabda: “Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah mengangkat/menghilangkannya kalau Allah kehendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj Nubuwwah selama yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat (ada kezhaliman) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj Nubuwwah.”[37]
Hadits ini masih diperselisihkan kesahihannya. Dinilai Sahih oleh Al-Albani[38]. Walaupun takhrij (evaluasi) haditsnya tidak dipakai kecuali di kalangan Wahabi, namun pendapatnya ini didukung oleh kalangan ulama klasik seperti Al-Hafidz Al-Iraqi (wafat, 1403 M) yang juga menganggap hadits ini sahih secara sanad.[39] Kontroversi dari status hadis ini justru muncul dari evaluasi ahli hadis paling berpengaruh yakni Imam Bukhari. Menurut Bukhari, hadits ini cenderung dhaif karena ada salah satu sanad yang dipertanyakan kredibilitasnya. Yakni, perawi yang bernama Habib bin Salim.[40]
Terlepas dari soal status hadits, kandungan hadits ini sama sekali tidak menunjukkan adanya kewajiban umat Islam untuk membentuk negara dengan sistem Khilafah. Hadits di atas justru mengisahkan bahwa pada masa depan setelah wafatnya Rasulullah akan terdapat dua bentuk pemerintahan yaitu bentuk khilafah ala minhaj an-nubuwah (pemerintahan dengan sistem ala Nabi) dan pemerintahan ala kerajaan (al-mulk). Sebagian pendapat menyatakan bahwa sistem khilafah terakhir yang bermanhaj nubuwah adalah di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[41] Apabila mengikuti pandangan ini, maka khilafah ala Hizbut Tahrir adalah sia-sia.
Yang prinsip dalam Islam adalah bahwa umat Islam dalam suatu kumpulan besar harus dibimbing oleh seorang pemimpin yang mengepalai sekelompok orang tersebut. Dalam bahasa politik, pemimpin pemerintahan suatu kawasan yang disebut negara harus dipimpin oleh kepala negara. Kepala negara ini memiliki sejumlah nama yang berbeda-beda seperti raja, sultan, amir, presiden, perdana menteri, kanselir, khalifah, imam, emperor, kaisar, dll.
Dalam sebuah hadits Nabi bersabda: “Apabila ada tiga orang keluar melakukan perjalanan, maka salahsatunya hendaknya menjadi ketua (amir)-nya.”[42] Status hadis ini dhaif.[43] Menariknya, hadis ini menjadi salah satu dalil kalangan Hizbut Tahrir atas wajibnya membentuk sistem khilafah.[44]
Syarif Zaid, ketua HT Mesir, mengutip QS Al-Maidah 5:48[45] dan 5:49[46] sebagai dalil atas wajibnya khilafah.[47] Kedua ayat di atas sama sekali tidak mengandung perintah untuk membentuk sistem khilafah. Yang ada adalah perintah agar Nabi Muhammad memakai Al-Quran apabila menghakimi orang Yahudi yang berperkara.[48]
Ayat Al-Baqarah 2:30 tentang Khalifah
Yang agak relevan sebenarnya adalah seandainya HT mengutip QS Al-Baqarah 2:30 sebagai dalil.[49] Karena, menurut Al-Qurtubi (lahir di Kordoba, Spanyol pada 1214 dan wafat di Mesir pada 1273 M) ayat QS Al-Baqarah 2:30 menjadi dalil asal atas wajibnya membentuk pemimpin yang oleh Al-Qurtubi disebut dengan khalifah atau imam yang ditaati.[50] Namun, perlu dipahami, bahwa istilah ‘khilafah’ untuk sistem politik dan khalifah sebagai nama kepala negara di Kordoba (Spanyol) pada saat itu merujuk pada khilafah Umayyah yang pada hakikatnya adalah sistem kerajaan (al-mulk) yang suksesi kepemimpinannya berdasarkan keturunan (dinasti). Bukan khilafah sebagaimana pada masa Khulafaur Rasyidin yang empat. Kerajaan Islam berkuasa di Spanyol bermula pada tahun 711 dan berakhir tahun 1492 Masehi.[51] Sistem pemerintahan Islam di Spanyol pada saat itu berubah-ubah namanya walaupun hakikatnya sama yakni sistem monarki (kerajaan): mulai dari nama khilafah yang bersifat dinasti pada era Umayyah dan berakhir dengan nama kerajaan (emirat atau kesultanan).[52] Perubahan nama sistem itu tidak merubah fakta bahwa baik nama khilafah, emirat, maupun kesultanan pada praktiknya sama saja. Yakni negara dengan sistem kerajaan yang kepala negaranya diganti berdasarkan keturunan.
Wajib Taat Ulil Amri
Syariah mewajibkan umat Islam untuk taat pada pemimpinnya (ulil amri). Dan itu secara eksplisit terdapat pada QS An-Nisa 4:59. Para ulama kontemporer umumnya tidak mempermasalahkan sistem negara dan nama yang digunakan oleh negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim. Entah itu sistem kerajaan, kesultanan, emirat atau demokrasi.
Terkait demokrasi, Yusuf Qardhawi menyatakan: “Inti dari demokrasi adalah rakyat dapat memilih calon pemimpinan mereka dan tidak memilih figur yang tidak mereka sukai atau sistem yang mereka benci. Dalam demokrasi rakyat berhak untuk mengevaluasi pemimpin apabila salah dan tidak lagi memilihnya apabila bertindak korup… dengan demikian, maka demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Tidak ada dalil dari Al-Quran dan Sunnah yang menyatakan demikian.”[53]
Pendapat senada didukung oleh sejumlah pemikir dan ulama Islam seperti Ziauddin Sardar, Rachid Ghannoushi, Hasan Turabi, Khurshid Ahmad, Fathi Osman, dan bahkan tokoh puritan seperti Abul A’la Al-Maududi.[54]
Oleh karena itu, penentangan Hizbut Tahrir kepada sistem bernegara yang selain “khilafah” itu merupakan sikap yang tidak relevan ditinjau dari sudut pandang manapun. Alih-alih menumbuhkan energi umat Islam untuk bangkit, sikap keras kepala gerakan HT dengan seluruh gerbongnya justru akan menyia-nyiakan energi besar yang semestinya bisa digunakan untuk membangkitkan sumber daya utama apabila dialihkan untuk tujuan yang lebih bermanfaat seperti peningkatan sumber daya manusia muslim di bidang pendidikan yang secara kualitas jauh tertinggal dari umat dan bangsa lain.[55] Sungguh ironis, energi dan waktu yang begitu besar hanya digunakan untuk mengafirkan dan menthoghutkan sesama muslim dengan cita-cita yang juga tidak jelas kapan bisa terlaksana. Sikap thaghutisasi muslim lain yang tidak sependapat juga menjadi indikasi sangat kuat dan jelas bahwa Hizbut Tahrir bukanlah gerakan toleran dan pemersatu, melainkan kelompok Islam sempalan pemecah belah umat yang nyata. Jika demikian, lalu kapan bisa membentuk Khilafah dunia yang dicita-citakan?[]
CATATAN AKHIR
[1] Abdul Qadim Zallum, Al-Dimuqratiyah Nizham Kufr, hlm. 2. Teks: الديمقراطية التي سوَّقها الغرب الكافر إلى بلاد المسلمين هي نظام كفر، لا علاقة لها بالإسلام، لا من قريب، ولا من بعيد. وهي تتناقض مع أحكام الإسلام تناقضاً كلياً في الكليات وفي الجزئيات، وفي المصدر الذي جاءت منه، والعقيدة التي انبثقت عنها، والأساس الذي قامت عليه، وفي الأفكار والأنظمة التي أتت بها.
[2] QS An-Nisa 4:60. Teks asal:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا
[3] “Mata Sayafham Al-Muslimun anna Al-Thaghut huwa Al-Wajh Al-Haqiqi li Al-Demokratiyah?”, http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/r
[4] Al-Alusi, Tafsir Al-Alusi, hlm. 23/253.
[5] Fakhruddin Al-Razi, Al-Tafsir Al-Kabir, hlm. 24/366.
[6] Ibid.
[7] QS Al-Baqarah 2:256. Teks asal: فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللَّـهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انفِصَامَ لَهَا
[8] Tabari, Tafsir Al-Tabari, hlm. 5/417. Teks asal: فقال بعضهم : هو الشيطان وقال آخرون : الطاغوت : هو الساحر
[9] QS Al-Baqarah 2;257. Teks asal: اللَّـهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ
[10] Ibnu Jarir Tabari, Tafsir At-Thabari, hlm. 5/425.
[11] Al-Baghawi, Tafsir Al-Baghawi, hlm. 1/314. Teks asal: قال مقاتل : يعني كعب بن الأشرف وحيي بن أخطب وسائر رءوس الضلالة
[12] Al-Alusi, Tafsir Al-Alusi, hlm. 3/15.Teks: الشياطين أو الأصنام أو سائر المضلين عن طرق الحق
[13] QS An-Nisa 4:51. Teks asal: أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِّنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَـٰؤُلَاءِ أَهْدَىٰ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا سَبِيلًا
[14] Al-Baghawi, Tafsir Al-Baghawi, hlm. 2/235.
[15] Al-Baghawi, Tafsir Al-Baghawi, hlm. 2/243.
[16] Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi, hlm. 2/81.
[17] Abul Qasim Mahmud bin Umar Al-Zamakhsyari, Tafsir Al-Kasyaf, hlm. 2/97. Teks: والطاغوت : كعب بن الأشرف ، سماه الله طاغوتا لإفراطه في الطغيان وعداوة رسول الله صلى الله عليه وسلم . أو على التشبيه بالشيطان والتسمية باسمه . أو جعل اختيار التحاكم إلى غير رسول الله صلى الله عليه وسلم على التحاكم إليه تحاكما إلى الشيطان
[18] Ibnu Asyur, Tafsir At Tahrir wat Tanwir, hlm. 5/103.
[19] Ibid. Teks: وصيغة الجمع في قوله الذين يزعمون مراد بها واحد . وجيء باسم موصول الجماعة لأن المقام مقام توبيخ ، كقولهم : ما بال أقوام يقولون كذا ، ليشمل المقصود ومن كان على شاكلته
[20] QS An-Nisa 4:76 Teks: وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ
[21] Ibnu Jarir Tabari, Tafsir Al-Tabari, hlm. 8/567. Teks: يعني في طاعة الشيطان وطريقه ومنهاجه الذي شرعه لأوليائه من أهل الكفر بالله
[22] Al-Baghawi, Tafsir Al-Baghawi, hlm. 3/76. Teks asal: ( وعبد الطاغوت ) أي : جعل منهم من عبد الطاغوت ، أي : أطاع الشيطان فيما سول له
[23] QS An-Nahl 16:36. Teks asal: أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
[24] Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, hlm. 10/94. Teks asal: واجتنبوا الطاغوت أي اتركوا كل معبود دون الله كالشيطان والكاهن والصنم ، وكل من دعا إلى الضلال
[25] QS Az-Zumar 39:17. Teks asal: وَالَّذِينَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ أَنْ يَعْبُدُوهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللَّهِ لَهُمُ الْبُشْرَىٰ
[26] Al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi, hlm. 5/525. Teks asal: والذين اجتنبوا الطاغوت البالغ غاية الطغيان فعلوت منه بتقديم اللام على العين بني للمبالغة في المصدر كالرحموت، ثم وصف به للمبالغة في النعت ولذلك اختص بالشيطان.
[27] Syihabuddin Al-Sayid Mahmud Al-Alusi, Tafsir Al-Alusi, hlm. 23/253.
[28] Ibnu Asyur, At-Tahrir wat Tanwir, hlm. 24/365.
[29] A. Fatih Syuhud, Ahlussunnah Wal Jamaah, (Pustaka Alkhoirot: 2018), Cet. II, hlm. 149.
[30] Hadis riwayat Muslim. Teks hadits: إِذَا كَفَّرَ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
[31] Abu Syaraf An-Nawawil, Syarah Muslim, hlm. 2/49. Teks hadis: أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِu
[32] HR Muslim. Teks asal: وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ
[33] Abu Syaraf An-Nawawi, Syarah Muslim, hlm. 2/49.
[34] Ibnu Hajar Al-Asqolani, Fathul Bari, hlm. 10/466.
[35] Ibnu Abdil Bar, Al-Istidzkar, hlm. 8/548. Teks asal: وإذا قيل للمؤمن يا كافر فقد باء قائل ذلك بوزر الكلمة واحتمل إثما مبينا وبهتانا عظيما، إلا أنه لا يكفر بذلك؛ لأن الكفر لا يكون إلا بترك ما يكون به الإيمان. وفائدة هذا الحديث النهي عن تكفير المؤمن وتفسيقهK
[36] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, hlm. 7/5576. Teks: فالمرتد: هو الراجع عن دين الإسلام إلى الكفر مثل من أنكر وجود الصانع الخالق، أو نفى الرسل، أو كذب رسولاً، أو حلل حراماً بالإجماع كالزنا واللواط وشرب الخمر والظلم، أو حرم حلالاً بالإجماع كالبيع والنكاح
[37] Taqiuddin An-Nabhani, Ad-Daulah Al-Islamiyah, (Darul Ummah: Beiurt), Cet. 7, hlm. 3. Hadits ini riwayat Ahmad dalam Musnad ahmad, hlm. 4/273 dan Ath-Thayalisi no. 439. Teks asal: تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة , فتكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها , ثم تكون ملكا عاضا فيكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها , ثم تكون ملكا جبريا فتكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها , ثم تكون خلافة على منهاج النبوة . ثم سكت .
[38] Al-Albani, As-Silsilatus Sahihah, hlm. 1/34-35
[39] Al-Hafidz Al-Iraqi, Mahajjatul Qurab ila Mahabbat Al-Arab, hlm. 1/17.
[40] Ibid.
[41] Al-Hafidz Al-Iraqi, ibid. Teks: قَالَ حَبِيبٌ : فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ ،وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ ، فِي صَحَابَتِهِ ، فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهَِذَا الْحَدِيثِ ،أُذَكِّرُهُ إِيَّاهُ ، فَقُلْتُ لَهُ : إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ – يَعْنِى عُمَرَ – بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ ، فَأُدْخِلَ كِتَابِي عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ ، فَسُرَّ بِهِ ، وَأَعْجَبَهُ.
[42] HR Abu Dawud.(2708). Menurut Al-Aqili dalam Al-Dhuafa, hlm. 4/118.
[43] Al-Aqili, Al-Dhuafa, hlm. 4/118.
[44] “Aqwal al-Ulama fi Wujub Al-Khilafah”, http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/
[45] QS Al-Maidah 5:48 Teks: فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّـهُ
[46] QS Al-Maidah 5:49. Teks: وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّـهُ
[47] “Al-Khilafah Nizham Siyasiy Munbatsiq mundzu Mabdail Islam”, https://hizb.net/?p=5293;
[48] Al-Razi, Tafsir Al-Kabir, hlm. 12/12. Teks: يعني : فاحكم بين اليهود بالقرآن والوحي الذي نزله الله تعالى عليك
[49] QS Al-Baqarah 2:30. Teks: وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
[50] Al-Qurtubi, Tafsir Al-Qurtubi, hlm. 1/252. Teks: هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة
[51] Anwar G. Chejne, Muslim Spain: Its History and Culture, (Minneapolis: The University of Minnesota Press), 1974, hlm. 43–49.
[52] Cynthia Robinson & Simone Pinet, (10 December 2008). Courting the Alhambra: Cross-Disciplinary Approaches to the Hall of Justice Ceilings. BRILL. hlm. 52.
[53] A. Fatih Syuhud, “Islam dan Demokrasi”, fatihsyuhud.net
[54] Ibid.
[55] Lihat,“Jihad dengan Pendidikan” dalam buku ini.