fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Dermawan dalam Islam

dermawan dalam Islam

Dermawan dalam Islam
Oleh A. Fatih Syuhud

Pada dasarnya setiap manusia cenderung memiliki sifat kikir atau pelit (QS An Nisa’ 4:128). Untungnya, pada waktu yang sama manusia juga memiliki kecenderungan untuk berusaha menjadi lebih baik dalam berbagai segi termasuk merubah perilaku pelit menjadi dermawan.

Dermawan adalah sikap tengah antara pelit dan boros. Sikap dermawan menunjukkan kemauan untuk berbagi. Simbol dari kepedulian pada orang lain. Dan salah satu bibit dari sekian banyak unsur-unsur karakter kepemimpinan yang diperlukan.

Mengapa seorang muslim dianjurkan bersikap dermawan? Pertama, perintah Islam. Islam memerintahkan kita untuk berzakat, berinfaq dan bersedekah (QS Maryam 19:31;[1] An Nisa 4:39;[2] Al Baqarah 2:261).[3]

Kedua, karena setiap muslim, pada level tertentu, adalah seorang pemimpin (QS Ali Imron 3:104).[4] Dan seperti disinggung di muka, hanya orang dermawan yang dapat menjadi pemimpin yang baik dan mendapat respek kalangan yang dipimpin. Karena kedermawanan identik dengan pengorbanan dan kesediaan berkorban selalu diperlukan dalam setiap kepemimpinan.

Ketiga, keseimbangan sosial. Keberuntungan materi yang dimiliki manusia tidak sama antara satu dengan yang lain. Hal ini terkait antara lain dengan kelebihan dan kemampuan dalam berusaha serta menangkap peluang.

Ada yang bekerja keras dan berusaha begitu lama tapi tidak juga menangguk kesuksesan yang diinginkan. Ada yang keberuntungannya begitu cepat didapat sehingga memancing rasa iri dan terkadang juga rasa dengki.

Kekayaan di satu sisi dan kemiskinan di sisi yang lain akan menimbulkan ketimpangan sosial. Kedermawanan adalah salah satu cara untuk menyeimbangkan ketimpangan sosial yang terjadi dan mondorong terjadinya kehidupan sosial yang harmonis dalam suatu masyarakat.

Macam-macam Kedermawanan

Kedermawanan dengan harta adalah yang pertama dan utama. Karena memang istilah zakat, infak dan sedekah itu identik dengan harta. Dalam realitas keseharian pun, istilah orang dermawan juga merujuk pada “orang yang suka mendermakan hartanya baik pada fakir miskin atau pada yayasan sosial.”

Namun demikian, sikap kedermawanan tidak hanya itu. Karena pada dasarnya kedermawanan adalah “kemauan yang tinggi untuk berbagi.” Bagi seorang hartawan, kedermawanan adalah dengan hartanya. Bagi seorang ilmuwan, kemauan berbagi ilmu dianggap sebagai sikap kedermawanan.

Bagaimana dengan seseorang yang tidak berilmu dan tidak berharta? Barbuat baik pada orang lain adalah sikap dermawan. Dalam sebuah Hadits disebutkan, membuang duri dari tengah jalan adalah sedekah. Bahkan, sebuah senyuman tulus sama nilainya dengan sedekah.

Begitu banyak cara untuk bersikap dermawan pada sesama. Modal yang diperlukan hanya satu: kemauan tinggi untuk melakukannya. Dan yang tak kalah penting, perbuatan baik pada orang lain pada hakikatnya adalah berbuat baik pada diri sendiri (QS Al Isra’ 17:7).[5]

CATATAN AKHIR

[1] Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya , dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir . dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

[2] Dan dia menjadikan Aku seorang yang diberkati di mana saja Aku berada, dan dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama Aku hidup.

[3] Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

[4] Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.

[5] Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.

Kembali ke Atas