“Clash of Civilisation”, Mitos atau Realitas?
“Clash of Civilisation”, Mitos atau Realitas?
Oleh A. FATIH SYUHUD
Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang
SAAT ini sedang terjadi pergulatan spektrum dan visi di horison intelektual dan pola pikir. Di permukaan, ia tampak dalam wujud pergulatan antara barat dan blok Islam untuk merebut dominasi dunia. Dalam realitas, pemeran antagonis dalam konflik yang tampak antara Barat dan Islam berada pada sisi yang sama. Mereka semua adalah pemeran protagonis dari struktur kekuatan yang bersatu. Mereka sama-sama mengadvokasi penggunaan kekuatan sebagai penentu dalam hubungan internasional.
Memang, selalu terdapat perbedaan antara persepsi dan realitas dalam konflik antara berbagai sistem kepercayaan. Perang Suci (Crusade), sebagai contoh, digambarkan sebagai perang yang dilakukan antara Kristen dan Yahudi di satu sisi, dan melawan Muslim di sisi yang lain. Dalam realitasnya, kalangan Crusader menghancurkan kaum Yahudi di Prancis dan Jerman, memerangi umat Kristen di Byzantine dan menaklukkan umat Islam di Palestina. Kesimpulannya, ia hanyalah permainan kekuasaan, yang tidak berkaitan dengan prinsip kepercayaan apa pun.
Respons dari Bush-Blair pada tragedi 11-9 memfokuskan diri dengan menyerang negara-negara yang sedang menderita asimetri kekuasaan yang lebar, semacam Afganistan dan Irak. Di sisi lain, AS membujuk Korea Utara, dengan senjata pemusnah massalnya, dan Saudi Arabia, dengan besarnya cadangan minyaknya. Oleh karena itu, dengan memerangi sejumlah negara yang lemah, dan bernegosiasi dengan negara-negara yang memiliki level kekuatan tertentu, AS telah menentukan aturan baru di mana superioritas kekuatan (militer atau non-militer) akan menjadi basis utama dalam hubungan internasional.
Pada sisi lain dari spektrum itu, kalangan ekstremis Islam menjustifikasi penggunaan kekuatan dalam bentuk teror. Tindak kekerasan mereka tidak jarang bermuara dari niat “murni” untuk menyuarakan penderitaan rakyat lokal, korupsi dan penindasan. Setelah itu mereka mulai mengadvokasi teokrasi, sistem penyatuan negara dan agama; sebuah sistem di mana mereka akan dapat menjadi elite penguasa dan tanpa mengindahkan nilai moral apa pun merekrut dan mengeksploitasi anak-anak muda pengangguran sebagai pasukan bergaji murah.
Saat ini, terdapat 10 juta pemuda pengangguran dengan kelompok usia antara 15-35 tahun di kawasan “pusat instabilitas” — Afganistan, Irak, Iran, Pakistan, dan Saudi Arabia. Di samping itu, terdapat sejumlah sinyal adanya versi ekstrem Islam yang semakin mendapat popularitas di kawasan Afrika dan Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, di mana antara 10 sampai 20 juta pemuda menganggur atau bergaji sangat rendah. Dengan demikian, sejumlah besar kalangan muda terdidik tetapi menganggur dan teralienasi sudah tersedia untuk direkrut kelompok ekstremis.
Doktrin pre-emptive Amerika tidak mengindahkan kedaulatan. Begitu juga, terorisme agama tidak memedulikan kedaulatan negara. Oleh karena itu, sosok antagonis dari kedua belah pihak menawarkan proposisi nilai yang sama — sebuah visi kesatuan dunia yang diatur oleh satu pusat kekuasaan, dari Washington atau dari markas seorang Khalifah — sebagai ganti dari sistem kedaulatan negara Westphalia.
Apabila rivalitas antara kedua advokat sistem kesatuan dunia yang sedang berkompetisi itu terus berlanjut tanpa hambatan, maka akan terdapat risiko tragedi nuklir. NPT (Non Proliferation Treaty) mengawasi dengak ketat proliferasi atau penyebaran senjata nuklir di berbagai negara tetapi tidak dapat mencegah terjadinya penyelundupan teknologi dan material dari suatu negara ke aktor non-negara.
International Atomic Energy Agency (IAEA) telah melaporkan 18 kasus penyelundupan uranium atau plutonium antara tahun 1993-2003. Ini terjadi sebelum mengemukanya episode Abdul Qadir Khan, bapak nuklir Pakistan yang konon telah menyelundupkan bahan-bahan nuklir ke sejumlah negara Arab. Ini menunjukkan bahwa sejumlah besar bahan persenjataan tidak diproteksi secara efisien.
Kelompok pasukan bunuh diri yang sudah memiliki sebagian dari bahan nuklir itu bisa saja tidak memiliki sistem peluncuran untuk menggunakan bom nuklir, tetapi tetap saja mereka dapat menanam bom-bom itu di sejumlah kota di dunia. Lebih buruk lagi, mereka dapat bergabung dalam sebuah koalisi pasukan ekstremis guna mengambil alih sebuah negara nuklir. Apabila skenario ini terjadi, maka inilah awal dari sebuah akhir sejarah kemanusiaan.
Guna menghentikan berkembangnya sebuah sistem yang berdasarkan pada doktrin kekuatan, maka sangatlah penting untuk membuang pemicu mitos konflik antara Barat dan Islam. Kalangan tokoh berpengaruh dan tercerahkan dari kedua pihak perlu untuk bersatu guna merekonstruksi sebuah arsitektur baru keamanan global.
Penting kiranya mengembangkan sebuah konsensus internasional dalam soal terorisme. Saat ini, departemen luar negeri AS memublikasikan daftar sejumlah kelompok teroris yang merefleksikan prioritas satu negara. Kita membutuhkan sebuah mekanisme internasional dengan perwakilan dari Barat, negara-negara Islam dan negara-negara lain yang terkena dampak terorisme seperti Indonesia, Filipina, India, dan lain-lain, guna menyiapkan sebuah indeks komposisi terorisme. Badan-badan dunia dapat memanfaatkan indeks tersebut secara reguler guna mengetahui kelompok teroris mana yang perlu diprioritaskan untuk ditangani.
Selain itu, diperlukan juga sebuah sistem operasional baru guna melengkapi sistem NPT yang memfokuskan diri pada pencegahan penyebaran senjata pemusnah massal dari negara ke unsur nonnegara. Diperlukan juga konsensus global baru dengan aturan yang adil untuk penggunaan kekuatan oleh negara — berdasarkan preseden perang Irak — sebagaimana juga perlunya janji kesepakatan global atas resolusi konflik.
Negara-negara Islam, khususnya, perlu mengkaji kemungkinan prospek dibentuknya sebuah Dewan Syura Internasional Cendekiawan Muslim guna menentukan sanksi agama (fatwa) yang mesti dikeluarkan atas tindak kekerasan yang dilakukan kalangan ekstremis. Hal ini akan memungkinkan opini mainstream Muslim memengaruhi agenda umum, bukan dengan membiarkan kalangan ekstremis marjinal itu mengambil alih opini umum seperti yang selama ini terjadi.
Pertanyaan penting adalah, siapa yang akan memulai berinisiatif? Indonesia menikmati hubungan baik dengan dunia Islam dan Barat. Mungkin Indonesia dapat memulai dengan mendekati negara kuat dengan populasi Muslim terbesar kedua yaitu India. Pada tahun 1996, India pernah mengambil inisiatif untuk terbentuknya konvensi komprehensif PBB tentang terorisme, tetapi tidak terlalu berhasil pada saat itu karena kurangnya dukungan.
Kita memiliki pengalaman cukup dalam berhubungan dengan Barat dan nilai-nilai Islam. Sebagai rumah dari populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia telah menunjukkan bahwa kebanyakan masyarakat awam, tanpa melihat agama dan kepercayaannya, lebih memilih sistem demokrasi dan pluralisme dibanding sistem alternatif politik yang lain. Indonesia dapat bekerja sama dengan negara lain guna mengenalkan aturan main yang baru, guna membebaskan diri dari konstruksi teror dan membangun perdamaian.[]
*Pernah dimuat di Pikiran Rakyat, Rabu, 07 Juli 2004