fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Perseteruan Eropa Versus AS

Oleh A Fatih Syuhud
Suara Karya, Selasa, 30 Desember 2003

Ketika sesi Majelis Umum PBB – yang dianggap salah satu sesi paling penting sejak beberapa tahun terakhir – sedang berlangsung, Prancis dan Jerman, khususnya Prancis, memberikan sinyal kontradiktif, konsiliatif dan konfrontatif, tentang posisi mereka dalam soal Irak.

Prancis kembali bersikeras bahwa ia akan menyepakati sebuah Resolusi PBB yang baru dalam soal Irak hanya apabila kandungan resolusi itu secara eksplisit menyatakan adanya transfer kedaulatan Irak pada rakyat Irak dalam waktu dekat. Presiden Prancis, Jacques Chirac, mengatakan bahwa dia mencanangkan rencana dua tahap bagi kedaulatan Irak, pertama, transfer kedaulatan simbolik dari Amerika pada 25 anggota dewan pemerintahan Irak, yang akan disusul dengan transfer kekuasaan secara gradual dalam waktu enam bulan.

Menyadari bahwa oposisi terbuka terhadap Washington akan memprovokasi perlawanan keras, Paris memutuskan untuk melangkah lebih hati-hati kali ini untuk unjuk kekuatan dalam masalah Irak. Sementara Paris tidak mengatakan setuju, pada waktu yang sama juga tidak mengatakan ‘tidak’ secara tegas dan Prancis besar kemungkinan akan abstain dalam voting DK PBB untuk memberikan peran pada PBB sambil membiarkan pendudukan pasukan koalisi di lapangan. Sebagai pemanis, Paris mengisyaratkan akan membantu melatih polisi dan militer Irak. Dan, sementara Chirac menolak kemungkinan mengirim pasukan Prancis ke Irak, dia juga menunjukkan bahwa posisi ini dapat berubah.

Untuk sementara, kedua kekuatan yang lagi bersitegang, Amerika dan Prancis, sedang dalam situasi ‘rekonsiliasi’. Menlu AS, Colin Powell, mengatakan bahwa Washington ingin dunia ‘bersama-sama’ membantu Irak. Sedang Menlu Prancis, Dominique de Villepin, mengatakan Prancis menghargai ‘keterbukaan’ Washington itu. Akan tetapi, tidak satu pun dari kedua pihak berubah posisi pra perangnya.

Colin Powell mengatakan, “Peran utama harus dimainkan oleh AS. Kamilah yang mengambil alih Irak.” Sementara Dominique Villepin baru minggu lalu mengusulkan sebuah transfer kekuasaan penuh pada rakyat Irak, dimulai dengan pembentukan pemerintahan provisional – sebuah usulan yang oleh Powell dianggap ‘sangat tidak realistik’.

Hanya kalangan yang naif saja yang percaya bahwa kontinuitas perselisihan dalam tubuh PBB itu hanya berkaitan dengan soal Irak dan/atau Timur Tengah. Dari perspektif Eropa, isu sebenarnya yang sedang diperebutkan adalah kekuasaan dan dominasi dunia.

Di satu pihak, kemauan Amerika adalah bertindak sendirian tanpa perlu mempertimbangkan aliansinya. Di pihak lain Eropa bersikeras akan adanya kepemimpinan meluas yang inklusif yang mengakui eksistensi Benua Tua (Eropa) sebagai salah satu pemain kunci, kedua setelah Amerika. Robert Kagan, penulis Paradise and Power, sebuah buku berpengaruh tentang perpecahan AS-Eropa, mengatakan, “Tidak tampak adanya penyempitan perbedaan antara kedua kekuatan ini.”

Kalangan pembuat kebijakan dan analis politik pada kedua pihak cenderung melihat perpecahan ini sebagai fenomena temporer, yang diakibatkan oleh perbedaan pendapat tentang cara terbaik menangani Irak pasca Saddam. Interpretasi ini jelas artifisial dan tidak benar. Pandangan-pandangan yang berbeda tentang Irak hanyalah satu gejala, bukan penyebab, dari semakin mendalamnya perpecahan yang terjadi antara Eropa-Amerika yang memiliki akar lebih mendalam – dan kemungkinan akan sulit direkonsiliasikan. Meningkatnya pemisahan antara Eropa dan Amerika, yang menimbulkan tanda tanya atas kelangsungan komunitas yang dibentuk berdasarkan prinsip kesatuan dan persatuan keamanan itu, merupakan produk dari terjadinya berbagai perubahan yang terus menerus pada kedua benua tersebut.

Dalam era baru globalisasi ini, Eropa tampak sangat kesulitan untuk mendefinisikan visi globalnya. Eropa mulai memahami adanya berbagai penghalang yang mencegahnya untuk dapat mencapai suatu kebijakan keamanan dan luar negeri, dalam rangka menjadi penyeimbang yang nyata dari kekuasaan dan hegemoni AS. Kendatipun kedua pihak memiliki traktat antarbenua, negara-anggota Uni Eropa (UE) memiliki visi, relasi dan bidang pengaruh yang berbeda, dari yang dimiliki AS.

Di Eropa, kondisi geopolitik baru telah memaksa UE untuk berusaha mencapai otonomi strategis yang lebih dari AS. Pada waktu yang sama, sikap unilateralisme Amerika mengakibatkan banyak negara Eropa bertanya-tanya apakah mereka akan terus berada di bawah perlindungan Amerika. Alih-alih menyambut peran dominan AS di dunia, banyak negara Eropa melihat Amerika sebagai adidaya yang telah keblinger dan perlu dihadapi.

Biasanya hanya kalangan pimpinan Prancis yang secara terbuka mendesak UE untuk bangkit mengimbangi hegemoni AS. Sekarang Jerman sudah mulai, walaupun agak ragu-ragu, berusaha tampil sebagai pemain politik lagi. Kendatipun krisis saat ini tak diragukan telah melemahkan kesatuan Eropa, tetapi dalam jangka panjang tidak mustahil akan berdampak sebaliknya.

Aliansi Atlantik telah mengalami pukulan fatal oleh krisis Irak, yang secara esensial akan menutup opsi aliansi antarbenua Atlantik. Prancis dan Jerman sadar betul adanya perubahan dasar ini. Polandia, Romania, Ceko, Hungaria dan lain-lain yang mendukung George W Bush tidak akan dapat mengacuhkan realitas ini untuk jangka waktu lama. Warsawa dan pusat-pusat Eropa lain akan segera menyadari bahwa mereka tidak punya pilihan kecuali membentuk sebuah UE yang kuat.

Perubahan-perubahan yang terjadi di AS juga tak kalah pentingnya – dan melukiskan gambar buram serupa atas kelangsungan Aliansi Atlantik. Amerika sebetulnya sudah mulai kehilangan selera untuk tetap menjadi pelindung Eropa sejak sebelum timbulnya perselisihan dalam soal Irak. Eropa kaya dan damai. Sementara Amerika menghadapi berbagai tantangan tekanan strategis di mana-mana, khususnya pasca 11 September. Tidak ada lagi alasan mendesak bagi AS untuk tetap memelihara kekuatannya di Eropa. Tidak hanya prioritas strategis Amerika yang berubah, tapi juga karakter internasionalisme. Multilateralisme sentris dari Perang Dingin telah memberi jalan pada alternatif unilateralisme, yang memiliki tradisi panjang dalam kultur politik AS dan mengikatkan diri dengan kebebasan (liberty) dan kedaulatan (sovereignty). Dengan punahnya ancaman Perang Dingin, yang mengikat AS dengan aliansi dan institusi internasional, maka tradisi pembebasan ini kembali dibangkitkan.

Kalangan Demokrat di AS dan Eropa tetap kurang antusias pada Protokol Kyoto, Mahkamah Kriminal Internasional, atau sejumlah inisiatif lain di mana AS dan Eropa berbeda tajam. Berbagai tantangan masa depan tampak bukan untuk memperbaiki hubungan Aliansi Barat. Sebaliknya, ia bertujuan untuk menjamin bahwa akhir dari aliansi Barat akan berupa perpisahan secara baik-baik bukan dalam bentuk perceraian. Ketika perang di Irak terjadi, tantangan itu pun terbukti sulit dicapai.

Bila demikian, bagaimana dengan prospek Eropa ke depan? Terluka dan tercabik-cabik. Penolakan besar baru-baru ini terhadap UE oleh rakyat Swedia kendatipun referendum itu dilakukan di tengah memuncaknya simpati atas terbunuhnya Menlu Swedia yang pro UE, Anna Lindh, merefleksikan kurangnya kepercayaan besar pada institusi UE. Perselisihan baru-baru ini atas Konstitusi Eropa dan perang Irak telah membuat mimpi Eropa menjadi semakin jauh dari kenyataan dibanding lima tahun lalu.

Di antara perubahan geopolitik terpenting dalam dua tahun terakhir adalah penilaian pemerintahan AS bahwa AS sekarang lebih berkepentingan melihat Eropa yang terpecah daripada Eropa yang bersatu. Di antara hal yang paling membuat depresi adalah cara negara-negara Eropa bersekongkol dalam memecah benua itu. Cara Washington dalam menjadikan aliansi tradisionalnya sebagai kawan dan lawan jelas dimaksudkan sebagai sikap terang-terangan atas supremasi Amerika. Dalam jangka panjang strategi ini akan terbukti menjadi perusak pada kekuasaan AS sendiri. Walaupun dalam jangka pendek, langkah ini terbukti berhasil.

Terganggu oleh debat berkepanjangan tentang dunia multipolar dan unipolar, Eropa belum dapat memahami secara tepat berbagai konsekuensinya. Irak masih dilihat oleh banyak kalangan sebagai pengecualian. Mereka pikir, luka perselisihan masih dapat diobati, persahabatan masih dapat dibangun kembali dan aliansi antaratlantik masih dapat kembali secara solid. Hal itu merupakan salah baca atas niat-niat AS. Karena, luka masa lalu akan sulit disembuhkan kembali.

Prancis dan Jerman tetap percaya bahwa Eropa yang bersatu dapat menjadi penyeimbang AS. Sementara PM Tony Blair berpikir bahwa AS hendaknya tetap memimpin Eropa dalam menancapkan pengaruh dan kekuasaan serta insting hegemonistiknya. Itali dan Spanyol berusaha berada di posisi tengah. Dengan adanya dua pandangan yang bertentangan secara diametris ini, integrasi Eropa akan tetap menjadi mimpi yang jauh kecuali apabila ke 15 negara Eropa yang baru bergabung dengan UE tidak lagi mempercayai NATO sebagai instrumen keamanan satu-satunya yang dapat lestari dan memfokuskan perhatian mereka untuk membangun sistem pertahanan kolektif sendiri dengan kebijakan luar negeri dan keamanan yang efektif untuk seluruh Eropa. ***

(Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik, Agra University, India).

Kembali ke Atas