Cerai dalam Islam
Perceraian dalam Islam *
Oleh A. Fatih Syuhud
Talak adalah kisah sedih dalam jalinan rumah tangga. Ibarat sebuah drama, semua orang berharap kisah jalinan rumah tangga antara suami dan istri berakhir bahagia. Sampai kakek nenek dan beranak cucu dan bahkan sampai ke liang lahat. Dan ketika akhir bahagia itu tidak terjadi, bukan hanya manusia yang kecewa, Allah dan Rasul-Nya pun kecewa. Oleh karena itu, Allah menyarankan agar suami tidak mudah menjatuhkan kata talak pada istrinya walaupun ada rasa tidak suka dalam hati. Dalam QS An Nisa 4:19 Allah berfirman: “Dan bergaullah dengan mereka (para istri) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”[1] Rasulullah bersabda: “Perkara halal yang paling tidak disukai Allah adalah talak.”[2]
Namun demikian, Islam tidak menutup pintu perceraian rapat-rapat. Karena, ada kalanya sebuah konflik rumah tangga memasuki tahap yang tidak dapat didamaikan dan justru akan menimbulkan kesengsaraan dan konflik yang lebih hebat apabila dilanjutkan. Dalam situasi seperti ini, maka syari’ah membolehkan adanya perceraian seperti tersebut dalam QS An-Nisa 4:130 “Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.”[3]
Cerai Hanya Dua Kali
Tidak banyak suami yang mengerti bahwa haknya untuk menceraikan istri hanya dua kali dalam arti selama tidak lebih dari dua kali maka suami boleh rujuk pada istrinya kapan saja dalam masa iddah tanpa perlu akad nikah baru. Namun, apabila suami sudah dua kali menceraikan istrinya, maka cerai yang ketiga adalah betul-betul yang terakhir. Tidak ada lagi jalan bagi sumi untuk rujuk kecuali apabila istri menikah dengan lelaki yang lain. Dalam QS Al-Baqarah 2:230 Allah menjelaskan secara detail: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.”[4]
Ulama fiqih menyebut talak ketiga dengan talak bain bainunah kubro. Yaitu perceraian yang berlangsung selamanya dan tidak ada jalan untuk rujuk. [5]
Oleh sebab itu, suami hendaknya berhati-hati dalam menjatuhkan kata “talak”. Karena, tidak jarang terjadi kata talak dan semacamnya dijadikan senjata suami untuk mengancam istri atau sebagai kata “mainan” suami saat bertengkar dengan istri. Padahal kata talak tidak bisa dijadikan main-main. Kata talak, cerai dan pisah adalah tiga kata talak sharih (eksplisit) yang apabila diucapkan oleh suami pada istrinya maka jatuhlah talak walaupun tanpa ada niat sedikitpun dari suami untuk menceraikan istrinya.[6]
Ucapan Talak Main-main Tetap Jatuh Talak
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud: “Ada tiga perkara yang serius dan main-main sama-sama dianggap serius. Yaitu, nikah, talak dan rujuk.”[7] Berkaitan dengan hadits ini, Al-Mubarakpuri dalam Tuhfadzul Ahfadzi menyatakan:
الرَّجْعَةُ: عَوْدُ الْمُطَلِّقِ إِلَى طَلِيقَتِهِ، يَعْنِي لَوْ طَلَّقَ أَوْ نَكَحَ أَوْ رَاجَعَ وَقَالَ كُنْت فِيهِ لَاعِبًا هَازِلًا لَا يَنْفَعُهُ. قَالَ الْقَاضِي: اِتَّفَقَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ طَلَاقَ الْهَازِلِ يَقَعُ فَإِذَا جَرَى صَرِيحُ لَفْظَةِ الطَّلَاقِ عَلَى لِسَانِ الْعَاقِلِ الْبَالِغِ لَا يَنْفَعُهُ أَنْ يَقُولَ كُنْت فِيهِ لَاعِبًا أَوْ هَازِلًا لِأَنَّهُ لَوْ قُبِلَ ذَلِكَ مِنْهُ لَتَعَطَّلَتْ الْأَحْكَامُ وَقَالَ كُلُّ مُطَلِّقٍ أَوْ نَاكِحٍ إِنِّي كُنْت فِي قَوْلِي هَازِلًا فَيَكُونُ فِي ذَلِكَ إِبْطَالُ أَحْكَامِ اللَّهِ تَعَالَى. فَمَنْ تَكَلَّمَ بِشَيْءٍ مِمَّا جَاءَ ذِكْرُهُ فِي هَذَا الْحَدِيثِ لَزِمَهُ حُكْمُهُ.
(Raj’ah atau rujuk adalah kembalinya suami yang mentalak kepada istrinya. Yakni, apabila suami mentalak, atau menikah atau rujuk lalu ia berkata “Saya hanya main-main”, maka ucapan itu tidak dianggap. Al Qadhi mengatakan: Ulama sepakat bahwa talaknya orang yang main-main itu terjadi. Apabila keluar kata talak dari lidah orang yang berakal sehat, dan akil baligh maka tidak ada gunanya pengakuannya bahwa dia hanya main-main. Karena kalau demikian, maka akan terjadi kesia-siaan hukum dan pembatalan hukum Allah. Barangsiapa yang mengucapkan perkataan yang disebut dalam hadits maka berlaku hukum yang tetap.)[8]
Ucapan Talak Orang Bodoh
Seperti disebut di muka bahwa talak yang diucapkan pada istri secara main-main pun terjadi talak. Begitu juga ucapan orang yang bodoh yang tidak tahu bahwa mengucapkan kata talak itu dapat terjadi talak walaupun tanpa niat. Dengan kata lain, kebodohan atau ketidaktahuan seorang suami tidak dapat dijadikan alasan atas kesalahannya dalam mengucapkan talak. Imam Syafi’i menyatakan bahwa kebodohan tidak dapat menjadi alasan yang dimaafkan:
لو عذر الجاهل لأجل جهله لكان الجهل خيرا من العلم , إذ كان يحط عن العبد أعباء التكليف , ويريح قلبه من ضروب التعنيف , فلا حجة للعبد في جهله بالحكم بعد التبليغ والتمكين ; ﴿ لِأَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ ﴾
(Kalau orang bodoh dimaafkan maka niscaya kebodohan itu lebih baik dari kepintaran… kebodohan atas hukum tidak dapat dipakai sebagai alasan setelah adanya risalah kenabian berdasarkan QS An-Nisa 4:165 “supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”)[9]
Sebagian ulama menyatakan bahwa kebodohan atau ketidaktahuan itu dimaafkan dalam beberapa kasus khusus sebagai berikut:
Pertama, ketidaktahuan pada hukum-hukum talak dan sighat (kata) talak bagi muslim yang tinggal di negara yang jauh dari negara Islam dan sulit bagi penduduknya untuk berhubungan dengan ulama atau tidak tergerak untuk melakukan itu. Karena ulama fiqih berpendapat bagi orang yang tinggal di negara nonmuslim (darul harb) dan tidak tahu bahwa ia berkewajiban shalat, zakat, dan lainnya dan dia tidak melaksakan kewajibannya itu maka ia tidak wajib dalil mengqadhanya karena samarnya petunjuk baginya dan tidak sampainya perintah syariah padanya secara faktual. Maka, ketidaktahuan pada ajaran syariah itu menjadi alasan yang dimaafkan (udzur).
Berbeda halnya orang yang masuk Islam di negara muslim karena tersebarnya informasi hukum syariah dan kemungkin untuk dapat bertanya. As-Suyuthi dalam Ashbah wan Nadzair menyatakan: Setiap orang yang tidak tahu atas keharaman sesuatu yang diketahui oleh kebanyakan orang maka pengakuan tidaktahunya itu tidak diterima kecuali kalau dia baru masuk Islam atau dia hidup di pedalaman yang jauh dari informasi seperti haramnya zina, membunuh, mencuri, minum alkohol, berbicara dalam shalat, makan saat puasa.[10]
Kedua, talak orang yang tidak tahu arti dari talak itu sendiri. Mayoritas ulama fiqih berpendapat tidak terjadi talak bagi orang yang tidak tahu arti kata yang menunjukkan pada talak. Seperti, apabila orang non-Arab berkata pada istrinya “Anti Taliq” (Kamu tertalak) tapi tidak mengerti artinya, maka tidak terjadi talak.
Az-Zarkasyi menyatakan: Apabila orang non-Arab mengucapkan kata kufur, atau iman, atau talak, atau i’taq, atau jual beli, dan lain-lain tapi tidak mengerti artinya, maka kata-katanya tidak dianggap. … Begitu juga orang Arab yang berbicara dengan bahasa non-Arab yang tidak dia mengerti maknanya maka isi perkataan tidak dianggap.[11]
Termasuk juga ketidaktahuan dalam menghitung seperti suami menyatakan mentalak istrinya dengan talak satu padahal sebenarnya talak dua, dia tidak tahu berhitung, tetapi dia bermaksud pada artinya, maka ulama berbeda pendapat. Menurut satu pendapat: terjadi talak satu, sedang pendapat lain terjadi talak dua.
Ketiga, apabila orang Arab berbicara dengan kalimat bahasa Arab akan tetapi tidak mengerti maknanya secara syariah, seperti dia berkata pada istrinya: أنت طالق للسنة (Kamu tertalak sunnah) atau أنت طالق للبدعة (Kamu tertalak bid’ah) sedangkan dia tidak tahu pengertian lafadznya, atau suami berkata dengan kata khuluk atau nikah, maka menurut Izzuddin bin Abdussalam: Kata-katanya tidak dianggap karena suami tidak punya pemahaman atas maksudnya kecuali apabila dia bermaksud dengan kata yang diucapkannya.[12]
Dalam koteks inilah maka Ibnu Hazm dalam Maratib al-Ijmak menyatakan: Ulama berbeda pendapat dalam soal talaknya orang bodoh. Pendapat pertama: talak terjadi. Pendapat kedua, talak tidak terjadi. Pendapat ketiga, talak terjadi secara hukum kecuali ada bukti atas tidak adanya maksud suami untuk bercerai maka dihukumi tidak terjadi talak.[13]
Talak Suami yang Sedang Marah
Ucapan cerai umumnya diucapkan pada saat ketika suami sedang marah. Hampir Kecil kemungkinan suami mengucapkan kata talak secara serius kecuali saat emosi karena sedang terlibat pertengkaran dengan istrinya. Oleh karena itu, kebanyakan ulama fiqih madzhab Syafi’i sepakat bahwa talak yang diucapkan ketika sedang marah itu sah dan jatuh talak. Imam Nawawi dalam Al-Majmuk menyatakan: “Talak terjadi di saat rela (normal) atau marah, serius atau main-main berdasarkan hadits bahwa bersabda: Ada tiga hal yang waktu serius dan bercanda sama-sama dianggap serius yaitu nikah, talak dan rujuk.”[14]
Al-Bakri dalam Ianah at-Talibin mengutip Imam Ramli menyatakan hal yang sama dengan pengecualian orang yang marahnya mencapai puncak sampai hilang akal seperti orang gila maka dalam kasus terakhir talaknya tidak sah:
واتفقوا على وقوع طلاق الغضبان ، وقد سئل الشمس الرملي عن الحلف بالطلاق حال الغضب الشديد المخرج عن الإشعار: هل يقع الطلاق أم لا؟ وهل يصدق الحالف في دعواه شدة الغضب وعدم الإشعار؟. فأجاب: بأنه لا اعتبار بالغضب فيها. نعم: إن كان زائل العقل عُذِر.
(Ulama madzhab Syafi’i sepakat jatuhnya talak orang yang marah. Syamsuddin Ar-Ramli pernah ditanya tentang sumpah talak saat marah yang sangat yang keluar dari kesadaran apakah talak terjadi atau tidak? Dan apakah dibenarkan pengakuan orang yang bersumpah saat sedang sangat marah dan tidak sadar? Ar-Ramli menjawab: Kemarahannya tidak dianggap. Tapi kalau sampai hilang akal maka dimaafkan.)[15]
Ulama fiqih dari madzhab Hanbali juga berpendapat bahwa talak dalam keadaan marah itu sah dan jatuh talak selagi masih belum hilang akal seperti keterangan Ar-Rahibani dalam kitab Mathalib Ulin Nuha[16] Sedangkan pendapat kalangan ulama madzhab Maliki menyatakan sahnya talak orang marah walaupun kemarahannya mencapai tahap hilang akal seperti orang gila.[17]
Adapun perspektif yang sama sekali berbeda dalam soal ini adalah pandangan ulama madzhab Hanafi. Mereka menegaskan bahwa talak orang marah hukumnya tidak sah, sia-sia dan tidak dianggap secara syar’i. [18] Pendapat jumhur ulama madzhab Hanafi ini didukung oleh sebagian kecil dari madzhab Hanbali seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyah di mana ia membagi marah menjadi tiga tingkatan yaitu marah biasa, marah sedang dan marah yang sangat. Ibnul Qayyim menyatakan bahwa talaknya orang yang marah biasa hukumnya sah. Sedangkan marah yang level sedang maka terdapat perbedaan ulama tentang sah dan tidaknya. Adapun talaknya orang yang sangat marah sampai hilang kesadarannya, maka ulama sepakat atas ketidaksahan talaknya.[19]
Talak Keliru karena Keseleo Lidah
Talaknya orang yang salah ucap. Suami yang berkata pada istrinya: Beri aku minum. Lalu mulutnya tak terasa mengatakan “Kamu ditalak”, maka talaknya tidak sah menurut madzhab Syafi’i dan Hanbali karena tidak adanya maksud. Dan ucapan tanpa maksud tidak dianggap.
Madzhab Hanafi berpendapat: talaknya sah walaupun dia tidak memilih pada hukumnya karena bicaranya merupakan kehendak sendiri.
Madzhab Maliki berpendapat bahwa apabila memang betul-betul keseleo lidah saat hendak mengucapkan yang selain talak, maka talaknya tidak terjadi.[20]
Talak Rujuk, Bain Sughro dan Bain Kubro
Talak dari segi terjadinya perpisahan suami dan istri terbagi menjadi tiga macam yaitu talak raj’i, talak ba’in bainunah sughro atau biasa disingkat dengan talak baik sughro dan talak bain bainunah kubro yang biasa disebut dengan talak ba’in atau talak tiga. Ketiga macam talak ini terjadi dalam situasi tertentu dan memiliki implikasi hukum yang berbeda sebagai berikut:
Pertama, talak raj’i atau talak rujuk. Adalah talak satu atau talak dua yang dijatuhkan suami pada istri. Disebut talak raj’i karena suami dapat kembali (rujuk) kapan saja ia mau selama masa iddah belum habis tanpa perlu akad nikah baru. Namun, apabila keinginan untuk rujuk itu ketika masa iddah sudah habis, maka harus dilakukan akad nikah baru dengan maskawin yang baru pula. Perlu diketahui bahwa selama masa iddah suami tidak boleh melakukan hubungan intim, bercumbu, khalwat (berduaan), melakukan perjalanan berdua, dan lain-lain karena istrinya berstatus dicerai. Kecuali setelah suami menyatakan rujuk. Ini pendangan madzhab Syafi’i. Adapun madzhab Hanafi dan Hanbali memiliki pandangan yang berbeda.[21]
Kedua, talak ba’in bainunah sughro. Yaitu talak yang menghilangkan hak suami untuk kembali (rujuk) kecuali dengan akad nikah dan mahar baru. Talak tipe ini terjadi dalam beberapa situasi yaitu: a) istri yang dicerai tanpa terjadinya hubungan intim[22]; b) talak raj’i yang habis masa iddahnya; c) khuluk atau gugat cerai istri dengan membayar sejumlah harta pada suami; d) gugat cerai istri yang diberikan oleh pengadilan.
Adapun implikasi hukum dari talak bain sughro adalah: a) Hilangnya kepemilikan dan kehalalan suami pada istri; b) berkurangnya quota talak yang dimiliki suami; c) hilangnya hak saling mewarisi antara suami-istri.[23]
Ketiga, talak ba’in bainunah kubro atau talak tiga. Yaitu, talak ketiga yang dilakukan suami. Apabila suami menjatuhkan talak satu lalu rujuk, kemudian talak kedua lalu rujuk lagi, maka ketiga suami menjatuhkan talak yang ketiga itu disebut dengan talak ba’in kubro atau talak tiga atau talak terakhir. Dengan talak tiga ini, maka suami tidak lagi boleh untuk rujuk pada istri kecuali si istri menikah dengan suami kedua dengan nikah yang syar’i.[24]
Kesimpulan
Perkawinan yang ideal adalah pernikahan yang bertujuan untuk hidup berdua selamanya membina mahligai rumah tangga yang islami dan dikaruniai anak-anak yang berkualitas baik dari segi ketaatan pada syariah Islam maupun dalam segi level pendidikan. Namun, tidak semua yang ideal itu dapat menjadi kenyataan. Apabila kebahagiaan yang ingin dicapai ternyata kandas terombang-ambing ombak konflik yang semakin memanas, maka Islam memberi solusi terakhir yaitu pereraian.
Perceraian hendaknya tidak dibuat mainan. Tapi juga tidak ditabukan. Ia boleh dipakai pada saat yang tepat dan untuk tujuan yang tepat yaitu demi kemaslahatan semua pihak yang terkait. []
FOOTNOTE
[1] Teks Arab dari QS An Nisa 4:19: وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً
[2] Teks asal dari QS: أبغض الحلال إلى الله الطلاقز Hadits riwayat Ibnu Majah, Hakin, Nasai, Abu Dawud, Baihaqi. Menurut Ibnu Jauzi hadits ini dhaif, namun menurut takhrij (evaluasi) dari Ibnu Hajar dalam At-Talkhis hadits ini sahih. Daruqutni dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib 9/143 juga menyatakan sanad hadits ini bisa dipercaya (tsiqat).
[3] Teks asal dari QS An Nisa 4:130: وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا
[4] Teks asal dari QS Al Baqarah 2:230: فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِن بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَن يَتَرَاجَعَا إِن ظَنَّا أَن يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
[5] Uraian lebih detail lihat “Talak Rujuk, Bain Sughro dan Bain Kubro” di bagian lain dalam tulisan ini.
[6] Al Ghazi dalam Fathul Qarib menyatakan: ولا يفتقر صريح الطلاق إلى النية ويستثنى المكره على الطلاق، فصريحه كناية في حقه إن نوى وقع، وإلا فلا
[7] Teks asal: َلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ. Selain oleh Abu Dawud, hadits ini juga diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim. Dalam Al-Mustadrak 2/216 menyatakan hadits ini sanadnya sahih.
[8] Al-Mubarakpuri dalam Tuhfadzul Ahfadzi bi Syarh Jamik at Tirmidzi, hlm. 3/268.
[9] Az-Zarkasyi dalam Al-Mantsur fil Qawaid al-Fiqhiyah hlm. 2/16
[10] As-Suyuthi dalam Al-Ashbah wan Nadzair, hlm. 200.
[11] Az-Zarkasyi dalam Al-Mantsur fil Qawaid al-Fiqhiyah 2/13.
[12] Izzuddin bin Abadussalam, dalam Qawaidul Ahkam, hlm 2/21
[13] Ibnu Hazm dalam Maratibul Ijmak, hlm. 1/72. Teks asal: وَاخْتلفُوا فِي طلاق الْجَاهِل، فكرهه الْحسن”. والمسألة فيها ثلاثة أقوال: القول الأول: يقع طلاقه. القول الثاني: لا يقع طلاقه. القول الثالث: يقع طلاقه قضاءً، إلا أن تظهر قرينة على عدم إرادته الطلاق، فيقضي بها
[14] Lihat Abu Syaraf An-Nawawi dalam Al-Majmuk Syarah Muhadzab hlm. 17/68. Teks asal: ويقع الطلاق في حال الرضى والغضب والجد والهزل، لما روى أبو هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ” ثلاث جدهن جد، وهزلهن جد النكاح والطلاق والرجعة ” رواه أصحاب السنن. .
[15] Al-Bakri dalam Ianah at Thalibin, hlm. 4/9. Lihat juga, As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj 3/279-287; Al-Bujairami dalam Hasyiyah Bujairami alal Khatib 3/416; As-Syairazi dalam Al-Muhadzab 2/77; Al-Kuhji dalam Zadul Muhtaj bi Syarhil Minhaj 3/358.
[16] Ar-Rahibani dalam kitab Mathalib Ulin Nuha fi Syarh Ghayatil Muntaha, hlm. 6/16. Teks asal: ويقع الطلاق ممن غضب ولم يزل عقله بالكلية… قال ابن رجب في شرح الأربعين النووية: ما يقع من الغضبان من طلاق وعتاق أو يمين، فإنه يؤاخذ بذلك كله بغير خلاف
[17] Lihat Ad-Dasuqi dalam Hasyiyah ad Dasuqi alas Syarhil Kabir, hlm. 8/65. Teks asal: يلزم طلاق الغضبان ولو اشتد غضبه خلافا لبعضهم كذا ذكر السيد البليدي في حاشيته وقال في الصاوي مثله
[18] Lihat Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Ibnu Abidin 2/427; Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu 7/365.
[19] Pembagian marah menjadi tiga dibuat oleh Ibn.ul Qayyim dalam kitab Ighatsatul Lahfan fi Hukmi Talaqil Ghadban, hlm. 39; dan Zadul Maad, hlm. 2/427. Lihat juga perbandingan hukum antar madzhab oleh Al-Jaziri dalam Al-Madzahib al-Arbaah, hlm. 3/294.
[20] Lihat Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 20/167.
[21] Abu Zakariya Al-Anshari, dalam Asnal Mathalib fi Syarhi Raud at Thalib 17/101. Ini pendapat jumhur dalam madzhab Syafi’i. Adapun pendapat madzhab Hanafi dan Hanbali sangat berbeda. Menurut mereka boleh hukumnya suami melakukan hubungan apapun dengan istri yang ditalak raj’i selama masa iddah termasuk hubungan intim dengan niat rujuk. Dan makruh tanzih apabila tidak niat rujuk. Dan bahwa mencium atau menyentuh istri yang ditalak raj’i itu pertanda rujuk walaupun tanpa niat menurut madzhab Hanafi. Lihat Al-Mausuah Al-Fiqhiyah 30/310..
[22] QS Al-Ahzab 33:49 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلً Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
[23] Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, hlm. 9/415.
[24] Ibid.
* Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot