Cadar itu syariah atau adat?
Cadar itu syariah atau adat?
Kerudung, Jilbab dan Cadar
A Fatih Syuhud
Mayoritas wanita muslimah Aswaja nahdliyah di Indonesia tidak mengenakan cadar dalam kesehariannya. Termasuk kaum santri dan keluarga kyai – yang biasa dipanggil Nyai dan Ning. Mereka biasa memakai jilbab sebagai penutup kepala. Sedangkan busana yang dikenakan adalah yang menutup aurat tapi dengan bentuk yang masih mengikuti model busana lokal. Dulu, para wanita Aswaja dari kalangan santri umumnya malah memakai kerudung dengan busana Jawa. Saat ini kerudung jarang sekali digunakan kecuali oleh sebagian kecil muslimah. Figur populer yang masih memakainya antara lain Ibu Nuriyah, istri KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan beberapa puterinya.
Ini berbeda dengan perempuan muslimah dari kalangan lain yang memakai busana seperti jubah yang berukuran sangat longgar dengan jilbab yang juga berukuran lebar dan panjang. Mereka menyebutnya dengan pakaian syar’i. Ada juga sebagian muslimah Indonesia yang memilih untuk memakai “busana syar’i” yang dilengkapi dengan cadar penutup muka.
Pembahasan soal ini pada dasarnya berakar pada masalah aurat dan wajibnya menutup aurat bagi laki-laki dan perempuan agar tidak terlihat oleh orang lain baik sesama jenis atau lawan jenis. Perlu diketahui, bahwa batasan aurat antara sesama jenis dengan lawan jenis itu berbeda. Begitu juga antara mahram dengan non-mahram. Sesuatu yang mungkin tidak diketahui oleh sebagian wanita. Terbukti, ada sejumlah muslimah bercadar yang tetap bercadar walaupun di depan sesama wanita.
Definisi Istilah
Berikut beberapa definisi istilah terkait busana muslimah yang umum digunakan tidak hanya di Indonesia tapi juga di dunia Islam.
- Kerudung
Kerudung menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah kain penutup kepala perempuan.
- Khimar
Khimar (jamak, khumur) disebut dalam Al-Qur’an Surah An-Nur 24:31, adalah kain yang menutupi kepala wanita.[1] Pengertian khimar sangat mirip dengan kerudung di Indonesia.
- Jilbab
Jilbab (jamak, jalabib), disebut dalam Al-Quran Surah Al-Ahzab 33:59, merupakan istilah yang berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna “pakaian yang menutup seluruh tubuh” atau “baju yang dikenakan di luar baju dalam yang berfungsi seperti selimut.”[2] Kata jilbab bisa juga bermakna kerudung (khimar).[3] Dengan demikian, orang Indonesia tidak salah ketika memaknai jilbab dengan arti kerudung.
- Hijab
Hijab (jamak, hujub) secara bahasa berarti “pencegah atau penutup”.[4] Kata hijab disebut dalam QS Al-Ahzab 33:53 dengan arti tabir. Secara istilah syariah, hijab adalah “Pakaian wanita muslimah tanpa kaidah tertentu yang menghalangi pandangan laki-laki bukan mahram”[5] atau “pakaian yang dikenakan wanita untuk menutup aurat dari orang lain.”[6] Walaupun kata hijab itu merujuk pada pakaian penutup aurat secara lengkap, tapi ada juga sebagian orang yang memaknai kata hijab sama dengan jilbab yakni kerudung penutup kepala.
- Niqab
Niqab (jamak, nuqub) secara bahasa sama dengan makna khimar dan hijab. Sedangkan secara istilah syariah adalah kain yang menutupi kepala dan seluruh bagian wajah, kecuali mata.[7]
- Cadar
Cadar adalah istilah bahasa Indonesia yang maknanya sama dengan niqab. Yaitu, kain penutup kepala atau wajah bagi perempuan.[8]
Dari keenam istilah di atas, kerudung, jilbab dan khimar memiliki kesamaan makna. Yakni kain yang menutup kepala wanita. Niqab atau cadar memiliki kemiripan arti sebagai kain yang menutup wajab kecuali mata. Sedangkan hijab adalah pakaian penutup aurat yang dikenakan wanita muslimah. Di kalangan Aswaja Nahdliyah, kerudung dan jilbab adalah istilah yang paling sering digunakan karena Aswaja nahdliyah umumnya tidak mengenakan cadar.
Nash Al-Quran dan Sunnah tentang Aurat Wanita
- QS An-Nur 24:31
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فَرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ﴾ [النور: 31
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,”
- QS Al-Ahzab 33:59
﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا﴾ [الأحزاب: 59]
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
- QS Al-Ahzab 33:53
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِن وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”
- HR Abu Dawud
وعن عائشة رضي الله عنها أنَّ أسماءَ بنتَ أبِي بكرٍ دخلتْ على النبيِّ في ثيابٍ رِقاقٍ فأعرضَ عنها وقال : يا أسماءُ إنَّ المرأةَ إذا بلَغتْ المحيضَ لم يَصلُحْ أن يُرَى منها إلا هذا وهذا وأشار إلى وجهِهِ وكفيْهِ. رواه أبو داود
“Diriwayatkan daripada Aisyah ra. bhawa Asma’ binti Abu Bakar bertemu Rasulullah saw. dengan memakai pakaian yang tipis. Lalu Rasulullah saw. mengalihkan mukanya sambil berkata: “Wahai Asma’, wanita yang telah mencapai masa haid tidak boleh dilihat kecuali ini dan ini, sambil tangannya menunjuk ke arah muka dan tapak tangannya.”[9]
- Hadits dari Usamah bin Zaid
عن أسامة بن زيد رضي الله عنهما قال: “كساني رسول الله صلى الله عليه وسلم قبطية كثيفةً كانت مما أهداها دحية الكلبي، فكسوتُها امرأتي، فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((مالك لم تلبس القبطية؟)) قلتُ: يا رسول الله، كسوتها امرأتي، فقال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((مُرْها فلتجعل تحتها غلالةً؛ إني أخاف أن تَصِف حجم عظامها))
“Rasulullah SAW pernah memakaikanku baju Quthbiyyah yang tebal. Baju tersebut dulu dihadiahkan Dihyah Al Kalbi kepada beliau. Lalu aku memakaikan baju itu kepada istriku. Suatu kala Rasulullah SAW bertanya, “Kenapa baju Quthbiyyah-nya tidak engkau pakai?” Aku menjawab, “Baju tersebut kupakaikan pada istriku wahai Rasulullah.” Beliau berkata, “Suruh ia memakai baju rangkap di dalamnya karena aku khawatir Quthbiyyah itu menggambarkan bentuk tulangnya.”[10]
- Hadits dari Sahabat Abu Hurairah
صنفان من أهل النار لم أرهما: قوم معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس، ونساء كاسيات عاريات، مائلات مميلات، رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة، لا يدخلن الجنة، ولا يجدن ريحها، وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا
” Ada dua golongan ahli neraka yang aku belum pernah melihatnya. Pertama. golongan yang membawa cambuk yang seperti ekor sapi di mana dengan cambuk tersebut mereka mencambuki orang-orang. Kedua, golongan perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, yang cenderung (tidak taat kepada Allah) dan mengajarkan orang lain untuk meniru perbuatan mereka. Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang miring, dan mereka tidak akan masuk surga dan tidak mencium baunya. Padahal sungguh bau surga akan tercium dari jarak perjalan seperti ini seperti ini (jarak yang jauh).”[11]
Batasan Aurat Wanita
Aurat secara bahasa adalah cacat, kekurangan atau aib. Dalam istilah syariah aurat adalah bagian tubuh yang harus ditutup.[12] Aurat wanita terbagi menjadi tiga kategori yaitu (a) aurat wanita pada sesama wanita, (b) aurat wanita pada laki-laki mahram,[13] dan (c) aurat wanita di depan laki-laki bukan mahram.
Aurat Wanita pada Sesama Wanita
Dalam Al-Masuah Al-Fiqhiyah dijelaskan:
ذهب الفقهاء إلى أن عورة المرأة بالنسبة للمرأة هي كعورة الرجل إلى الرجل، أي ما بين السرة والركبة، ولذا يجوز لها النظر إلى جميع بدنها عدا ما بين هذين العضوين ، وذلك لوجود المجانسة وانعدام الشهوة غالبا ، ولكن يحرم ذلك مع الشهوة وخوف الفتنة.
“Para ahli fiqih berpendapat bahwa aurat wanita dengan sesama perempuan itu sama dengan aurat laki-laki dengan sesama laki-laki yaitu antara pusar sampai lutut. Oleh karena itu wanita boleh memandang seluruh tubuh wanita lain kecuali antara pusar dan lutut. Hal itu disebabkan karena sesama jenis dan umumnya tidak ada syahwat. Akan tetapi haram hukumnya apabila melihat disertai syahwat dan takut terjadi fitnah.[14]
Aurat Wanita pada Lelaki Mahram
Wahbah Zuhaili memberikan penjelasan singkat dari madzhab empat soal ini:
وأما عورة المرأة أمام أقاربها المحارم أو النساء المسلمات، فهي ما بين السرة والركبة عند الحنفية والشافعية، وقال المالكية: جميع بدنها ما عدا الوجه والأطراف: وهي الرأس والعنق واليدان والرجلان. وقال الحنابلة: جميع بدنها ما عدا الوجه والرقبة والرأس واليدين والقدم والساق فالقدم ليس بعورة عند الحنابلة والحنفية.
“Aurat wanita di depan pria mahram atau sesama wanita adalah antara pusar dan lutut menurut madzhab Hanafi dan Syafi’i. Menurut madzhab Maliki seluruh tubuh kecuali wajah dan atraf, yaitu kepala, leher, dua tangan, dua kaki. Menurut madzhab Hanbali seluruh tubuh adalah aurat kecuali wajah, leher, kepala, dua tangan, kaki dan betis. Kaki tidak termasuk aurat menurut madzhab Hanbali dan Hanafi.”[15]
Penjelasan serupa dengan sedikit lebih detail dijelaskan dalam Al-Mausuah:
قال المالكيّة والحنابلة في المذهب : إنّ عورة المرأة بالنّسبة إلى رجل محرم لها هي غير الوجه والرّأس واليدين والرّجلين، فيحرم عليها كشف صدرها وثدييها ونحو ذلك عنده ، ويحرم على محارمها كأبيها رؤية هذه الأعضاء منها وإن كان من غير شهوة وتلذّذ . وذكر القاضي من الحنابلة أنّ حكم الرّجل مع ذوات محارمه هو كحكم الرّجل مع الرّجل والمرأة مع المرأة . وعورة المرأة بالنّسبة لمن هو محرم لها عند الحنفيّة هي ما بين سرّتها إلى ركبتها ، وكذا ظهرها وبطنها ، أي يحلّ لمن هو محرّم لها النّظر إلى ما عدا هذه الأعضاء منها عند أمن الفتنة وخلوّ نظره من الشّهوة .. والشّافعيّة يرون جواز نظر الرّجل إلى ما عدّا ما بين السّرّة والرّكبة من محارمه من النّساء من نسب أو رضاع أو مصاهرة صحيحة
“Madzhab Maliki dan Hanbali menyatakan bahwa aurat wanita pada lelaki mahram adalah selain wajah, kepala, tangan dan kaki. Maka, haram bagi wanita membuka dadanya di depan pria mahram. Dan haram bagi pria mahram, seperti ayahnya, melihat anggota tubuh wanita mahram (selain yang dikecualikan) walaupun tanpa syahwat. Al-Qadhi dari madzhab Hanbali menyatakan bahwa hukum lelaki pada perempuan mahramnya seperti hukum laki-laki pada laki-laki lain dan perempuan dengan perempuan. Menurut madzhab Hanafi adalah antara pusat dan lutut. Begitu juga punggung dan perutnya. Yakni, boleh bagi pria melihat pada anggota tubuh wanita mahram ini apabila aman dari fitnah dan tidak syahwat.. Madzhab Syafi’i berpendapat laki-laki boleh memandang pada tubuh wanita mahram selain antara pusar dan lutut. Baik mahram karena kerabat, sesusuan atau musaharah (menantu-mertua).”[16]
Pandangan madzhab Maliki dan Hanbali dalam masalah ini adalah pandangan yang paling baik dan realistis. Terutama dalam kondisi saat ini. Apalagi, mahram itu termasuk juga antara laki-laki dengan anak tirinya (anak perempuan dari istri dengan suami lain).
Aurat Wanita pada Pria Bukan Mahram
- Madzhab Hanafi
Al-Qaduri berkata:
وبدن المرأة الحرة كله عورة إلا وجهها وكفيها وقدميها.
“Tubuh wanita merdeka semuanya aurat kecuali wajah, telapak tangan dan kakinya.”[17]
Al-Aini menyatakan:
وفي “المفيد”: في القدمين اختلاف المشايخ. وقال الثوري رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى والمزني: القدمان ليستا من العورة اهـ.
“Dalam kitab Al-Mufid dijelaskan bahwa dalam soal kaki wanita terdapat perbedaan pendapat. Al-Tsauri dan Al-Muzani berkata: Kaki tidak termasuk aurat.”[18]
(قوله: وبدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها وقدميها)؛ لقوله تعالى: ﴿وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا﴾ [النور: 31]، قال ابن عباس رضي الله عنهما: “وجهها وكفيها”] اهـ.
“Ucapan ‘tubuh wanita merdeka itu aurat kecuali wajahnya, telapak tangannya dan kakinya. Berdasarkan QS An-Nur :31. Ibnu Abbas berkata: (yang dimaksud kecuali yang tampak) adalah wajah dan telapak tangannya.”[19]
- Madzhab Maliki
Al-Dardir menyatakan:
(وَ) هِيَ مِنْ حُرَّةٍ (مَعَ) رَجُلٍ (أَجْنَبِيٍّ) مُسْلِمٍ (غَيْرِ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ) مِنْ جَمِيعِ جَسَدِهَا] اهـ.
“Perempuan merdeka di depan laki-laki muslim lain bukan mahram selain wajah dan telapak tangan dari seluruh tubuhnya.”[20]
Bahkan sebagian ulama madzhab Maliki menegaskan makruh hukumnya memakai cadar terutama di tempat yang tidak menjadi kebiasaan memakainya. Al-Dasuqi menyatakan:
(و) كره (انتقاب امرأة) أي تغطية وجهها بالنقاب وهو ما يصل للعيون في الصلاة لأنه من الغلو والرجل أولى ما لم يكن من قوم عادتهم ذلك؛ (ككف)، أي: ضمّ وتشمير (كُمٍّ وَشَعْرٍ لِصَلَاةٍ) راجع لما بعد الكاف؛ فالنقاب مكروه مطلقًا]؛ قال: [(قوله: وانتقاب امرأة) أي: سواءٌ كانت في صلاة أو في غيرها كان الانتقاب فيها لأجلها أو لا، (قوله: لأنه من الغلو) أي: الزيادة في الدين إذ لم ترد به السنة السمحة، (قوله: والرجل أولى) أي: من المرأة بالكراهة، (قوله: ما لم يكن من قوم عادتهم ذلك) أي: الانتقاب؛ فإن كان من قوم عادتهم ذلك كأهل نفوسة بالمغرب فإن النقاب من دأبهم ومن عادتهم لا يتركونه أصلًا، فلا يكره لهم الانتقاب إذا كان في غير صلاة، وأما فيها فيكره وإن اُعْتِيدَ كما في المج، (قوله: فالنقاب مكروه مطلقًا) أي: كان في الصلاة أو خارجها سواء كان فيها لأجلها أو لغيرها ما لم يكن لعادة اهـ.
“Hukumnya makruh bagi perempuan memakai cadar (niqab) yang menutupi wajahnya. Niqab adalah kain yang menutup mata pada waktu shalat. Karena itu termasuk berlebihan. Apalagi laki-laki. Selagi hal itu bukan tradisi kaumnya… hukumnya makruh secara mutlak. Ucapan ‘perempuan memakai niqab’ yakni sama saja di waktu shalat atau di luar shalat. Karena shalat atau bukan. Ucapan ‘karena termasuk berlebihan’ yakni melebih-lebihkan dalam beragama karena tidak ada dasar dari Quran dan Sunnah. Ucapan ‘apalagi laki-laki’ yakni lebih makruh dibanding wanita. Ucapan ‘apabila niqab tidak menjadi adat’ yakni apabila menjadi adat suatu kaum, seperti penduduk Nufusah di Maroko, di mana mereka selalu memakai niqab dan tidak pernah melepasnya, maka tidak makruh memakai niqab kecuali dalam shalat. Sedangkan memakai niqab saat shalat hukumnya makruh walaupun itu sudah menjadi tradisi. Seperti keterangan dalam kitab Al-Maj. Ucapan ‘niqab makruh secara mutlak’ yakni sama saja di dalam shalat atau di luar shalat.karena shalat atau bukan karena shalat, selagi bukan karena tradisi.”[21]
- Madzhab Syafi’i
Zakariya Al-Anshari menyatakan:
( وعورة الحرة في الصلاة وعند الأجنبي ) ولو خارجها ( جميع بدنها إلا الوجه والكفين ) ظهرا وبطنا إلى الكوعين لقوله تعالى: { ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها }. قال ابن عباس وغيره ما ظهر منها وجهها وكفاها وإنما لم يكونا عورة لأن الحاجة تدعو إلى إبرازهما. انتهى. اهـ.
“Aurat wanita merdeka di waktu shalat dan di samping pria bukan mahram, termasuk di luar shalat, adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua tangan telapak dan punggung tangan sampai siku berdasarkan pada QS An-Nur 24:31’ kecuali yang (biasa) terlihat’. Ibnu Abbas dan lainnya berkata yang dimaksud ayat ini adalah wajah dan tangan. Keduanya tidak termasuk aurat karena adanya kebutuhan untuk menampakkannya.”[22]
- Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah menjelaskan:
رُخِّصَ لها في كشف وجهها وكفَّيْها؛ لما في تغطيته من المشقة، وأبيح النظر إليه لأجل الخطبة اهـ.
“Diboehkan bagi perempuan untuk membuka wajah dan kedua telapak tangannya karena menutup wajah itu menimbulkan masyaqat (kesulitan). Dan dibolehkan memandang padanya apabila dengan tujuan melamar.”[23]
Apabila wajah dan telapak tangan bukan aurat di depan pria bukan mahram, maka tidak ada kebutuhan untuk ditutup. Karena itu berarti mempersulit diri sendiri dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari seperti dikatakan oleh Ibnu Qudamah, ulama madzhab Hanbali, di atas.
Model Baju
Dalam menjelaskan maksud “perempuan berpakaian tapi telanjang” dari hadits no. 6 di atas, An-Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan beberapa pendapat ulama tentang makna kata ‘kasiyat’ dan ‘ariyat’ (berbusana tapi telanjang) sebagai berikut:
قِيلَ مَعْنَاهُ كَاسِيَاتٌ مِنْ نِعْمَةِ اللَّهِ عَارِيَاتٌ مِنْ شُكْرِهَا وَقِيلَ مَعْنَاهُ تَسْتُرُ بَعْضَ بَدَنِهَا وَتَكْشِفُ بَعْضَهُ إِظْهَارًا بِحَالِهَا وَنَحْوِهِ وَقِيلَ مَعْنَاهُ تَلْبَسُ ثَوْبًا رَقِيقًا يَصِفُ لَوْنَ بَدَنِهَا وَأَمَّا مَائِلَاتٌ فَقِيلَ مَعْنَاهُ عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ وَمَا يَلْزَمُهُنَّ حِفْظُهُ مُمِيلَاتٌ أَيْ يُعَلِّمْنَ غَيْرَهُنَّ فِعْلَهُنَّ الْمَذْمُومَ وَقِيلَ مَائِلَاتٌ يَمْشِينَ مُتَبَخْتِرَاتٍ مُمِيلَاتٍ لِأَكْتَافِهِنَّ
“Makna kata ‘kasiyat’ adalah memakai nikmat Allah, sedangkan ‘ariyat’ telanjang dari mensyukurinya. Atau, menutup sebagian tubuh tapi membuka sebagian yang lain untuk menampakkan keadaannya. Atau, memakai baju yang tipis yang menampakkan warna tubuhnya. Kata ‘mailat’ (condong, berpaling) bermakna menyimpang dari taat pada Allah dan apa yang wajib dijaga. Makna ‘mumilat’ adalah mereka mengajarkan perbuatan buruk itu pada yang lain. ”[24]
Inti dari hadits ini adalah bahwa (a) wajib bagi wanita untuk menutup auratnya secara sempurna dengan model busana yang patut dan tidak memperlihatkan lekuk tubuh, (b) berusaha menaati aturan syariah, (c) mensyukuri anugerah, (d) tidak mengajak orang lain untuk berbuat kemungkaran.
Ibnu Muflih, ulama madzhab Hanbali, mengemukakan pandangan senada tentang model baju yang dilarang:
يَحرم على المرأة لبس ثوب رقيق يَصِف البشَرة مع غير زوج وسيد
“Haram bagi wanita memakai baju tipis yang menampakkan kulit apabila sedang bersama laki-laki yang selain suami atau tuannya (bagi budak).”[25]
Dalam konteks inilah, maka Syauqi Allam menjelaskan model baju yang dibolehkan bagi wanita adalah sbb:
والزِّيُّ الشرعي المطلوب من المرأة المسلمة هو كل زِيٍّ لا يصف مفاتن الجسد ولا يشف عما تحته، ويستر الجسم كله ما عدا الوجه والكفين، وكذا القدمين عند بعض الفقهاء، ولا مانع كذلك أن تلبس المرأة الملابس الملونة بشرط ألا تكون لافتة للنظر أو مثيرة للفتنة، فإذا تحققت هذه الشروط على أي زي جاز للمرأة المسلمة أن ترتديه وتخرج به.
“Model baju yang dikehendaki syariah bagi wanita muslimah adalah (a) setiap busana yang tidak menggambarkan bentuk tubuh, (b) tidak mengungkapkan apa yang ada di baliknya, (c) menutupi seluruh tubuh kecuali wajah, telapak tangan dan kaki menurut sebagian ahli fikih. Tidak ada larangan bagi wanita berpakaian berwarna dengan syarat tidak menarik pada pandangan atau berakibat fitnah. Apabila terpenuhi semua syarat ini, maka boleh bagi wanita memakainya dan keluar rumah dengannya.[26]
Cadar itu Tradisi, Tidak Sunnah
Sejak adanya aliran baru masuk Indonesia, seperti Wahabi dan Jamaah Tabligh, ada sebagian wanita muslim Indonesia yang mulai mengenakan cadar atau niqab. Bagaimana hukum niqab menurut ulama Aswaja? Dr. Syauqi Allam, ulama Al-Azhar dan mufti Mesir, menegaskan bahwa niqab adalah tradisi, bukan syar’i karena tidak didukung oleh dalil qat’i (eksplisit) dari Quran dan Sunnah. Dan mayoritas ulama Salafus Salih[27] mendukung pendapat ini:
أما ارتداء النِّقاب الذي يستر الوجه: فهو من قبيل العادات عند جمهور الفقهاء، وبمذهبهم نفتي، وليس من قبيل التَّشَرُّع، هذا هو المقرر في مذهب الحنفية والمالكية والشافعية، وهو الصحيح من مذهب الإمام أحمد بن حنبل وعليه أصحابه، وهو مذهب الأوزاعي وأبي ثور، ومِن قَبْلِ أولئك: عُمَر، وابن عباس رضي الله عنهم، ومن التابعين: عطاء، وعكرمة، وسعيد بن جبير، وأبو الشعثاء، والضحاك، وإبراهيم النخعي، وغيرهم كثير من مجتهدي السلف؛ بناءً على أن عورة المرأة المسلمة الحرة جميعُ بدنها إلا الوجه والكفين؛ استنادًا إلى حديث عائشة أم المؤمنين رضي الله عنها المذكور سابقًا، وكذلك القدمان عند الإمام أبي حنيفة والثوري والمزني، فيجوز لها كشفهما.
“Memakai cadar yang menutupi wajah itu termasuk bagian dari tradisi menurut mayoritas ulama fikih. Bukan bagian dari syariah. Ini pandangan utama dalam madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i dan pendapat yang sahih dari Imam Ahmad bin Hanbal dan pandangan ulama madzhab Hanbali. Ini juga pandangan madzhab Al-Auza’i (w. 157 H/774 M) dan Abu Tsaur. Sebelum itu, juga pandangan Sahabat Umar dan Ibnu Abbas. Dari kalangan Tabi’in terdapat Atha’, Ikrimah, Said bin Jubair, Abu Sya’sa’, Al-Dahhak, Ibrahim Al-Nakhai dan para mujtahid dari kalangan generasi Salaf, berdasarkan pada dalil bahwa aurat wanita muslimah merdeka itu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Berdasarkan pada hadits Aisyah yang sudah disebut di muka (dalil no. 4). Begitu juga dua kaki menurut Imam Abu Hanifah, Al-Tsauri, Al-Muzani, maka boleh membuka keduanya (wajah dan telapak tangan).[28]
Kesimpulan
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa:
- Prinsip utama dari pakaian wanita adalah untuk menutup aurat. Model baju bisa beraneka macam, begitu juga warnanya dan itu dibolehkan dengan syarat tertentu.
- Aurat perempuan berbeda antara di depan laki-laki bukan mahram dengan di depan laki-laki mahram.
- Aurat perempuan di depan sesama perempuan sama dengan aurat wanita di depan lelaki mahramnya.
- Aurat perempuan di depan laki-laki non-mahram adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Karena wajah bukan aurat, maka tidak perlu ditutup. Ini pendapat mayoritas ulama Salafus Salih dan madzhab empat.
- Pakaian perempuan yang menutup aurat hendaknya juga dibuat longgar agar tidak menggambarkan lekuk tubuh; dan dibuat agak tebal agar tidak menampakkan warna kulit.
- Cadar atau niqab adalah pakaiat adat di sebagian daerah di Arab. Bukan baju syar’i menurut mayoritas ulama Salaf dan khalaf.
- Memakai cadar hukumnya makruh menurut madzhab Maliki dan termasuk ghuluw atau berlebihan dalam beragama.
- Dalam konteks Indonesia, memakai cadar atau niqab juga berpotensi mengundang fitnah dicurigai sebagai bagian dari kelompok muslim garis keras dan lebih buruk lagi kalau dikaitkan dengan terorisme. Dan ini penting untuk dihindari agar tidak mempersempit dakwah dan hubungan sosial.[]
Catatan dan Rujukan
[1] Mustalahat Fiqhiyah. Teks: خمار المرأة :ثوب تغطّي به رأْسَها
[2] Al-Mu’jam al-Wasit. Teks: الجِلْبابُ :الثوب المشتمل على الجسد كله
[3] Ibid.
[4] Mustalahat Fihqiyah. Teks: ما تلبسه المرأة من الثياب لستر العورة عن الأجانب
[5] Abu Bakar Al-Jazairi, Fasl al-Khitab, hlm. 26.
[6] Al-Rawwas, Mukjam Lughat al-Fuqaha, hlm. 153.
[7] Al-Sindi, Hasyiyah Al-Sindi ala Al-Nasa’i, hlm. 5/133; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fatbul Bari Syarah Sahih al-Bukhari, hlm. 4/53.
[8] “Arti kata cadar – Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online”. kbbi.kemdikbud.go.id
[9] HR Abu Daud. Ia berkata: hadis ini mursal karena Khalid bin Duraik tidak pernah bertemu Aisyah. Maknanya, ini hadis dhaif. Dimuat di sini hanya untuk pentakhsis pada dua ayat di atas.
[10] Status hadits: hasan. HR Ahmad, Al-Fath Al-Rabbani, hlm. 17/300-301; Ibnu Abi Syaibah, Al-Bazzar, Tabrani, Al-Baihaqi (Nailul Autor, hlm. 2/545).
[11] HR Muslim (2128).
[12] Mustalahat Fiqhiyah.
[13] Mahram adalah lawan jenis yang haram dinikah. Mahram disebut secara rinci dalam QS An Nisa 4:23 Al-Furqan 25:54,
[14] Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 32/40.
[15] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, hlm. 1/755.
[16] Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 32/40-42.
[17] Al-Qaduri, Mukhtashar Al-Qaduri, hlm. 26.
[18] Al-Aini, Al-Bayanah Syarh Al-Hidayah, hlm. 2/126.
[19] Ibnu Nujaim, Al-Bahr Al-Raiq, hlm. 1/284.
[20] Al-Dardir, Al-Syarh al-Kabir, hlm. 1/214.
[21] Al-Dasuqi, Hasyiyah ala Al-Syarh Al-Kabir, hlm. 1/218.
[22] Zakariya Al-Anshari, Asnal Matalib, hlm. 1/176.
[23] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, hlm. 1/431.
[24] An-Nawawi, Syarah Muslim, hlm. 17/191.
[25] Ibnu Muflih, Al-Adab Al-Syar’iyah, hlm. 3/551.
[26] Syauqi Allam, “حكم خلع النقاب للمرأة التي تضررت من لبسه”, dar-alifta.org.
[27]Salafus Salih adalah tiga generasi pertama Islam yaitu Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it tabi’in.
[28] Ibid.