Dilema Eropa dan Hegemoni AS
Oleh : A Fatih Syuhud
Republika, Selasa, 10 Agustus 2004
Salah satu kode etik utama dalam diplomasi adalah: Jangan pernah mengakui kegagalan atau kekalahan dan apabila kita memang gagal, maka ungkapkan kegagalan itu sebagai kemenangan. Inilah pelajaran yang sedang dipraktikkan oleh Presiden George W Bush dan aliansinya di Eropa. Bulan lalu, yang pertama di pertemuan puncak Uni Eropa (UE)-Amerika Serikat (AS) di Irlandia dan kemudian pada pertemuan NATO (North Atlantic Treaty Organization) di Istanbul, Presiden Bush berusaha keras untuk menghadirkan kekalahannya di Irak sebagai sukses besar.
Dalam usahanya itu, ia dibantu dan diperkuat oleh NATO dan UE, yang dalam sikap malu-malu dan ambigunya tidak mampu menyembunyikan sikap dukungannya terhadap AS.
Beberapa minggu kemudian, Gedung Putih berharap bahwa anggota NATO akan setuju untuk mengirim pasukannya ke Irak atau, kalau tidak bisa, sedikitnya memberikan
dukungan teknis di bawah bendera NATO. Hal ini sedikitnya mengandung dua tujuan. Pertama, ini akan memungkinkan Bush untuk menunjukkan pada para pemilih AS bahwa ia tidak mengisolasi AS; dan itu berlawanan dengan tuduhan kelompok capres John Kerry, mayoritas media utama AS, dan sejumlah mantan diplomat dan kelompok militer senior. Episode Irak belum memutus hubungan AS dengan aliansinya atau merusak popularitas dan prestise internasional AS. Hal ini dilihat sebagai sangat penting dalam pemilu AS
pada November depan yang kemungkinan berlangsung sangat ketat. Dukungan NATO dan rekonsiliasi dengan Eropa akan memungkinkan presiden menghentikan pemilih sayap tengah-kanan untuk memihak Kerry.
Kedua, Bush menginginkan NATO terlibat di Irak, bagaimanapun simboliknya, agar supaya ketika waktunya tiba, ketika Irak sudah tidak terkontrol lagi, NATO dapat diminta maju dan membantu di bawah komando AS. Bush tidak peduli tentang negara-negara yang terlibat
atau fakta bahwa NATO tidak menawarkan pasukan. Yang penting bagi Bush adalah bahwa NATO sepakat untuk berpartisipasi sebagai bagian dari pasukan multinasional di bawah komando AS. Negara semacam Prancis dan Jerman mengatakan bahwa mereka akan
mempertimbangkan permintaan dari pemerintah Irak yang terpilih, tidak hanya dinominasikan.
Yang lain beralasan bahwa partisipasi di bawah bendera NATO akan memberikan kesan bahwa pasukan multinasional berdimensi Barat, yang akan membuat curiga negara-negara Muslim. Kalangan pemimpin aliansi sepakat membantu pemerintah interim baru Irak di
Baghdad melatih pasukan keamanannya. Tetapi mereka tidak sepakat tentang apakah harus mengirim pasukan ke Irak. Mereka menyepakati dokumen yang “mendorong” setiap anggota NATO membuat kontribusi secara individu untuk melatih polisi dan tentara Irak tetapi menunda rincian teknisnya untuk dinegosiasikan lebih lanjut oleh kalangan duta besar NATO.
Susunan rancangan yang dideklarasikan sengaja dibikin tidak rinci agar anggota NATO dapat menunjukkan kesamaan dan konsensus minimum tentang Irak. Berbagai trik AS untuk membentuk fron bersama yang dimaksudkan untuk menutupi perpecahan hubungan transatlantik jelas tidak akan jalan. “Kembalinya kedaulatan Irak menurut pendapat kami merupakan persyaratan penting untuk kembalinya perdamaian, demokrasi, dan pembangunan di Irak. Akan tetapi, saya kira bukanlah peran NATO untuk intervensi di Irak,” kata Presiden Prancis Jacques Chirac.
Perdana Menteri Spanyol, Jose Luis Rodriguez Zapatero, juga tidak mau berbasa-basi atas usulan melatih aparat keamanan Irak dengan mengatakan: “Pemerintah Spanyol
tidak akan berpartisipasi dalam proses yang sedang berjalan di Irak, apalagi berpartisipasi di kawasan Irak.” Usaha Bush untuk menekan pancalonan Turki masuk
anggota UE juga mendapat kecaman. Presiden Chirac, pemimpin Eropa paling blak-blakan di KTT itu, secara gamblang meminta Bush agar tidak ikut campur dalam
urusan hubungan UE-Turki. “Bush tidak hanya melangkah terlalu jauh, dia masuk ke dalam kawasan yang bukan urusannya.
Ini bagaikan saya mengajari AS bagaimana mengatur hubungannya dengan Meksiko,” kata Chirac pada wartawan. Barat jelas sedang menghadapi dilema. Tak ada seorang pun di Eropa yang ingin dilihat sebagai merusak proses damai di Irak. Dengan terorisme dan
ekstremisme Islam diakui sebagai ancaman besar, kepentingan kolektif Barat sangat tergantung pada cepat berakhirnya pendudukan Irak dan terbentuknya stabilitas dan keamanan agar supaya negara itu tidak menjadi tempat berkembang-biaknya terorisme
anti-Barat.
Pada waktu yang sama, begitu banyak antipati pada Bush dan pendekatan unilateralnya sehingga banyak kalangan di Eropa, khususnya Prancis, tidak ingin berperan memenangkan terpilihnya kembali Bush. Pendekatan unilateralis Bush pasca-11/9 dan gaya pemerintahannya yang arogan hanya semakin memperburuk problem lama. Hubungan transatlantik sebenarnya sejak lama mengalami keretakan dan politik kekuasaan Bush hanya mempercepat keretakan yang berlangsung cukup lama. NATO dianggap sebagai aliansi esensial untuk mengkonter ancaman Soviet di Eropa. Menyusul robohnya Uni Soviet,
Presiden George Bush senior dan Bill Clinton bertekad untuk memelihara aliansi itu guna menjamin bahwa Amerika tetap sebagai kekuatan penting di Eropa.
Untuk hal ini, kedua Presiden AS itu memberikan peran baru bagi Eropa dengan memunculkan konsep perluasan ganda (double enlargement) ekspansi geografis ke timur
dengan memasukkan negara-negara satelit bekas Uni Soviet dan multiplikasi misi organisasi, khususnya “di luar area” misi utama. Dengan kata lain di luar Eropa,
seperti di Afghanistan. Tetapi banyak pemimpin Eropa curiga dan marah atas sikap manipulatif Washington dan pendekatan unilateralis AS serta implikasi atas
hegemoninya. Pidato Kenegaraan Bush pada Januari 2002 tentang “poros setan” telah meyakinkan banyak kalangan di Eropa atas niat Bush untuk secara unilateral
menunjukkan keadidayaan AS.
Kalangan pemimpin Eropa juga menyadari bahwa dengan punahnya ancaman Uni Soviet, AS berniat memanfaatkan NATO sebagai alat untuk memelihara hegemoni AS di Eropa dan seluruh dunia dan tidak akan ragu mengambil berbagai langkah apapun untuk mencegah munculnya adi daya tandingan. AS bertekad untuk tetap menjadi satu-satunya adidaya dan karena itu terdapat keretakan yang makin melebar dengan Eropa karena Eropa saat ini
menjadi satu-satunya kawasan di mana kekuasaan tandingan dapat muncul. Irak semakin menampakkan permainan divide and rule Washington dengan memainkan Inggris dan Eropa Timur vis-a-vis Prancis-Jerman.
Berkerasnya AS bahwa Turki hendaknya bisa jadi anggota UE dimaksudkan untuk menciptakan masalah baru. Keanggotaan Turki yang mayoritas muslim dengan populasi 90 juta, terbesar di Eropa, pada tahap tertentu akan menciptakan instabilitas yang menggoyang institusi Eropa. Sebagai aliansi, NATO tidak lagi melayani kepentingan Eropa karena ancaman keamanan di dalam Eropa tampaknya sudah mati. Fungsi NATO
satu-satunya sekarang adalah melayani kepentingan hegemoni AS. Sayangnya bagi Eropa, pemimpin semacam Tony Blair di Inggris, Silvio Berlusconi di Italia, dan negara-negara Eropa Timur, terus percaya bahwa masa depan benua mereka terletak tidak pada
kebangkitan Eropa yang bersatu dengan kebijakan pertahanan dan keamanan yang independen, tetapi dengan terus berada di bawah protektorat AS.
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Agra University, India