fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Aqidah Ahlussunnah (3): Al-Atsariyah

Aqidah Ahlussunnah (3): Al-Atsariyah (Al-Hanabilah atau Ahlul Hadits)
Oleh: A. Fatih Syuhud

Selain aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah, sebagian ulama menganggap ada satu lagi aqidah yang dianggap termasuk dari aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Yaitu, aqidah Al-Atsariyah yang banyak dianut oleh pengikut madzhab fiqih Hanbali. Hal ini tidak mengejutkan mengingat pendiri pemikiran teologi ini adalah Ahmad bin Hanbal yang juga pendiri dari madzhab fiqih Hanbali. Al-Safarini, seorang ulama madzhab Hanbali, menyatakan: “Ahlussunnah Wal Jamaah (secara aqidah) ada tiga golongan yaitu: Al-Atsariyah, imamnya adalah Ahmad bin Hanbal. Al-Asy’ariyah, imamnya Abul Hasan Al-Asy’ari, dan Al-Maturidiyah imamnya Abu Manshur Al-Maturidi.”[1] Aqidah al-atsariyah disebut juga dengan Hanabilah atau ahlul hadits.

Tajuddin Al-Subki, ulama madzhab Syafi’I, juga memasukkan aqidah Al-Atsariyah sebagai bagian dari aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah:  “Ahlussunnah Wal Jamaah semuanya sepakat pada satu aqidah terkait perkara yang wajib, mubah dan mustahil. Walaupun mereka berbeda dalam detail. Secara umum mereka ada tiga golongan. Yaitu, Ahlul hadits yang mendasarkan pada dalil sam’iyah yakni Al Quran, Al-Sunnah dan ijmak. Asy’ariyah dan Hanafiyah yang mendasarkan pada pandangan akal dan pemikiran. Guru Asy’ariyah adalah Abul Hasan Al-Asy’ari sedangkan guru Hanafiyah adalah Abu Manshur Al-Maturidi.”[2]

Hamad Sinan dan Fauzi Anjazi juga menyatakan bahwa istilah Ahlussunnah Wal Jamaah itu mengacu pada manhaj salafus salih yang berpegang pada Al-Quran, sunnah Rasul dan atsar yang diriwayatkan dari Rasulullah dan para Sahabat untuk membedakan dari madzhab ahli bid’ah dan ahlul ahwa’. Ketika istilah ini disebut dalam kitab-kitab para ulama maka yang dimaksud adalah Asy’ariah, Maturidiyah dan Ahli Hadits (atau Atsariyah).[3]

Pelopor Aqidah Atsariyah: Ahmad bin Hanbal

Keberadaan aqidah atsariyah atau ahli hadits tak lepas dari inisiatif pencetusnya yaitu Ahmad bin Hanbal. Walaupun pengikutnya mengklaim bahwa aqidah Ahlul Hadits ada sejak dan diikuti oleh kalangan Salafus Salih[4] namun faktanya adalah bahwa aqidah ini secara konsep dibuat oleh Ahmad bin Hanbal.

Nama lengkapnya Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal Al-Syaibani Al-Dzahali. Lahir di Baghdad, Irak pada 164 H atau 780 M. Ia seorang ulama sangat berpengaruh pada zamannya dan dikenal dengan karakter yang mulia seperti rendah hati, sabar dan toleran. Ia sering dipuji oleh banyak ulama termasuk yang terkenal pujian dari Imam Syafi’i yang menyatakan: “Aku keluar dari Baghdad dan aku tidak meninggalkan seseorang yang lebih wara’ dan lebih ahli fiqih dari Ahmad bin Hanbal.”[5]

Selain dikenal sebagai pencetus aqidah Atsariyah atau Ahlul Hadits, ia juga dikenal sebagai pendiri madzhab fiqih Hanbali. Tidak sedikit orang yang menyatakan bahwa ia lebih dikenal karena yang terakhir daripada yang pertama. Hal ini bisa dimaklumi karena aqidah Atsariyah hanya dikenal di kalangan terbatas. Ini berbeda dengan aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah yang memiliki penganut terbanyak dari kalangan ulama dan awam.[6] Ahmad bin Hanbal wafat pada 241 H atau 855 M.

Ciri Khas Aqidah Atsariyah

Pada dasarnya prinsip utama dari aqidah atsariyah dalam masalah tauhid tidak berbeda dengan dua aqidah Ahlussunnah yang lain yakni rukun iman yang enam. Yang berbeda adalah dari segi penafsiran detail terutama terkait cara memahami sifat-sifat tambahan Allah (sifat khobariyah) yang disebut dalam Al-Quran dan hadits. Seperti tangan, mata, bertempat tinggal, dan lain-lain. Berikut beberapa poin penting dalam aqidah atsariyah:

  1. Keesaan Allah (Tauhid)

Percaya akan keesaan Allah artinya:

  1. Percaya bahwa Allah adalah Tuhan dan pencipta alam ini satu-satunya.
  2. Percaya bahwa Allah memiliki nama dan sifat yang telah ditetapkan untuk diri-Nya sendiri yang tersebut dalam Al-Quran dan hadits.
  3. Menetapkan semua nama dan sifat Allah tersebut dan wajib mengimani semuanya secara apa adanya tanpa mentakwil dan tasybih.[7]
  4. Meyakini bahwa sifat dan nama Allah tidak menyerupai apapun dari sifat-sifat makhluk.[8]
  5. Takdir

Aqidah atsariyah atau ahli hadits mengimani takdir baik dan buruk berasal dari Allah dan meyakini semua tingkatannya:

  1. Bahwa Allah mempunyai pengetahuan yang bersifat azali yang meliputi semua hal. Allah tahu apa yang sudah terjadi, yang akan terjadi dan yang belum terjadi. Apabila terjadi bagaimana itu bisa terjadi.
  2. Kitab (buku catatan). Mengimani bahwa Allah yang pertama menciptakan kitab dan pena. Lalu menyuruhnya untuk menulis takdir makhluk sampai hari kiamat tiba. Lalu pena (al-qalam) menulis takdir itu di Lauh Mahfudz.
  3. Kehendak Allah (al-masyi’ah). Allah memiliki kehendak. Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Tidak terjadi peristiwa kecil atau besar kecuali dengan kehendakNya.
  4. Kehendak Allah itu ada dua yaitu kehendak alam (al-masyi’ah al-kauniyah) dan kehendak syariah (al-masyiah al-syar’iyah). Yang dikehendaki Allah secara alam akan diciptakan Allah sama saja hal baik atau buruk. Sedangkan kehendak Allah yang bersifat syariah maka Allah memerintahkan dan mengajak pada hambaNya, sama saja dilakukan atau tidak.
  5. Penciptaan (al-khalq). Yang dikehendaki Allah untuk diciptakan, maka Ia menciptakannya pada masa yang diketahui. Sebagian ulama atsariyah menyatakan bahwa beda antara qadha dan qadar adalah makhluk. Yakni, apa yang diketahui Allah lalu menulisnya dan berlakulah kehendakNya, maka itu adalah qadar. Sedangkan apa yang diciptakan oleh Allah itu adalah qadha.[9]
  1. Iman

Ulama aqidah atsariyah sepakat terkait masalah iman bahwa:

  1. Iman adalah ucapan dengan lisan dan ikhlas dengan hati, dan mengamalkan dengan raga. Iman meningkat dengan bertambahnya amal dan iman menipis dengan berkurangnya amal.
  2. Ucapan iman tidak sempurna kecuali dibarengi dengan amal. Dan tidak ada ucapan dan perbuatan kecuali dengan niat. Dan tidak ada ucapan, perbuatan dan niat kecuali sesuai dengan sunnah.
  3. Muslim tidak kufur sebab perbuatan dosa yang dilakukannya.
  4. Iman itu ada yang pokok dan ada yang tingkat cabang. Iman tidak hilang kecuali dengan hilangnya yang pokok. Oleh karena itu, atsariyah tidak mengafirkan seorang muslim karena dosa dan maksiat yang dilakukannya kecuali apabila hilang iman yang pokok.[10]
  1. Sahabat

Atsariyah atau ahlul hadits memiliki pandangan tentang Sahabat Nabi sebagai berikut:

  1. Sahabat yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, kemudian 10 Sahabat yang dijamin masuk surga.
  2. Istri-istri Nabi adalah ummahat al-mukminin (ibunda kaum mukminin).
  3. Istri-istri Nabi adalah istri Nabi di akhirat terutama Khadijah dan Aisyah.
  4. Sahabat tidak maksum, dalam arti bisa saja melakukan dosa.
  5. Sahabat dianggap maksum dalam segi kesepakatan (ijmak) pendapat mereka saja.
  6. Tidak berkomentar tentang perselisihan di antara Sahabat. Para Sahabat adalah mujtahid yang perselisihannya dimaafkan, sama saja apabila salah atau benar.
  7. Para Sahabat secara umum adalah manusia terbaik setelah para Nabi.[11]

Beda Aqidah Atsariyah dan Salafi Wahabi

Apabila aqidah Hanabilah atau Atsariyah termasuk dari tiga aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah, maka tidak demikian dengan aqidah Salafi Wahabi. Walaupun pengikut aqidah Wahabi berasal dari pengikut madzhab Hanbali secara fiqih dan Atsariyah secara aqidah, namun di bawah kepemimpinan Ibnu Taimiyah mereka sengaja atau tidak sengaja telah membentuk madzhab dan akidah sendiri yang disebut dengan aqidah Salafi.[12] Akidah gerakan salafi yang ditentang oleh kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah adalah pembagian tauhid menjadi tiga yaitu tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma’ was sifat. Pembagian tauhid menjadi tiga ini, oleh sebagian ulama Aswaja, dianggap sebagai cara kaum Salafi untuk mengkafirkan kalangan Ahlussunnah atau siapapun yang tidak mengikuti manhajnya.[13]

Setelah munculnya Muhammad bin Abdil Wahab pada abad ke-18 masehi atau abad ke-12 hijriyah aliran Salafi lebih dipertajam dalam segi ekstrimitasnya menjadi aliran Wahabi Salafi.  Selain doktrin tiga tauhid di atas, Ibnu Abdil Wahab menambahnya dengan 10 pembatal keislaman di mana pelakunya dianggap kafir dan halal darahnya baik melanggar secara sengaja atau tidak. 10 pembatal keislaman ini menjadi doktrin yang digunakan ISIS dalam membunuh sesama muslim.[14]

Oleh karena itu, Dr. Ahmad Tayyib, Syeikh Al-Azhar institusi yang menjadi rujukan muslim Ahlussunnah Wal Jamaah, menegaskan bahwa Aliran Salafi Wahabi bukan bagian dari Ahlussunnah Wal Jamaah: “Gerakan Salafi yang baru adalah ‘kaum Khawarij abad ini’. Mayoritas muslim tidak mengikuti madzhab Salafi. Karena, Ahlussunnah Wal Jamaah adalah pengikut salah satu dari madzhab empat yaitu Maliki, Syafi’i, Hanafi atau Hanbali dari segi fiqih. Dan pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah dari segi aqidah. Sedangkan Salaf atau Salafiyah bukanlah madzhab   (yang diakui).”[15]

Dalam kesempatan lain, Syeikh Ahmad Tayyib menyatakan bahwa kata “salaf” tidak disebut dalam Al-Quran kecuali dalam satu tempat itupun dalam konotasi negatif (QS An-Nisa 4:22-23). Begitu juga, kata “salaf” tidak disebut dalam hadits Nabi. Misalnya, tidak ada hadits yang menyatakan bahwa “Apabila terjadi perbedaan pendapat maka berpeganglah pada madzhab salaf!” Yang ada adalah hadits yang menyatakan: “Apabila terdapat perbedaan di antara kalian, maka berpeganglah pada jamaah.”[16]

Pernyataan Syeikh Al-Azhar di atas semakin dikukuhkan dengan resolusi Muktamar Ahlussunnah Wal Jamaah se-Dunia  yang diadakan di Grozny, Chechnya.   Muktamar yang diadakan pada 25 sampai 27 Agustus 2016 tersebut menyatakan, antara lain, bahwa:

  1. Ahlussunnah Wal Jamaah adalah yang beraqidah Asy’ariyah, Maturidiyah dan sebagian Ahlul Hadits dan secara fikih mengikuti madzhab empat Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Dan dalam bertasawuf mengikuti tasawuf yang bersih secara ilmu dan akhlak mengikuti tarekat Imam Al-Junaid dan yang sejalan dengannya.
  2. Mengeluarkan aliran ekstrim dari Ahlussunnah Wal Jamaah. Seperti Khawarij zaman dulu, dan Khawarij zaman sekarang yakni Salafi Takfiri, gerakan ISIS (Islamic State in Iraq and Sham), dan gerakan ekstrim lain yang mudah mengafirkan dan menghalalkan darah sesama muslim.[17]

Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa aqidah Ahlul Hadits atau aqidah Atsariyah atau Hanabilah sama sekali berbeda dengan aqidah Salafi Wahabi. Sementara yang pertama diakui sebagai bagian dari Ahlussunnah Wal Jamaah, yang terakhir dianggap telah keluar dari Aswaja karena doktrin intoleran pada sesama muslim.[]

Footnote

[1] Al-Safarini, Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyah wa Sawati’ Al-Asrar Al-Atsariyah: Syarah Al-Durrat Al-Madiyah ala Aqaid Al-Firqah Al-Najiyah, hlm. 1/73. Teks asal: أهل السنة والجماعة ثلاث فرق : الأثرية : وإمامهم أحمد بن حنبل رحمه الله تعالى. والأشعرية : وإمامهم أبو الحسن الأشعري رحمه الله تعالى. والماتريدية : وإمامهم أبو منصور الماتريدي

[2] Tajuddin Al-Subki, Ithaf Al-Sadat Al-Mutaqin, hlm. 2/6. Al-Subki memasukkan juga kalangan Sufi sebagai golongan keempat yang tidak dikutip di sini karena di luar konteks.

[3] Hamad Sinan dan Fauzi Anjazi, Ahlussunnah Al-Asya’irah Syahadatu Ulama Al-Ummah wa Adillatuhum, hlm. 80. Teks asal:  أهل السنة والجماعة مصطلح ظهر للدلالة على من كان على منهج السلف الصالح من التمسك بالقرآن والسنن والآثار المروية

عن رسول الله ‘ وعن أصحابه رضوان الله تعالى عليهم، ليتميز عن مذاهب المبتدعة وأهل الأهواء. وإذا أطلق هذا المصطلح في كتب العلماء فالمقصود به الأشاعرة والماتريدية وأصحاب الحديث

[4] Yang dimaksud salafus salih adalah tiga generasi setelah Nabi meliputi Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it tabi’in. Lihat, Beda Generasi Salafi dan Gerakan Salafi Wahabi.

[5] Al-Dzahabi, Siyar A’lam Al-Nubala, hlm. 11/195. Teks asal: خرجتُ من بغداد وما خلَّفتُ بها أحداً أورع ولا أتقى ولا أفقه من أحمد بن حنبل

[6] Lihat, A. Fatih Syuhud, “Aqidah Asy’ariyah Madzhab Mayoritas Ulama Ahlussunnah”, fatihsyuhud.net

[7] Ini salah satu hal yang membedakannya dengan aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Lihat, ibid.

[8] Al-Safarini, op.cit, hlm. 1/56.

[9] Al-Safarini, op.cit, hlm. 1/276.

[10] Ibid, hlm. 1/352.

[11] Ibid, hlm. 2/256.

[12] Mustafa Hamdu Ilyan Al-Hanbali, Al-Hanabilah wa Al-Ikhtilaf ma’a Al-Salafiyah Al-Muashirah, hlm. 113.

[13] Husain bin Ali Segaf, Tandid biman Addada Al-Tauhid, hlm. 8. Lebih detail lihat “Beda Tauhid Ahlussunnah dan Salafi Wahabi (1): Rububiyah dan Uluhiyah,” fatihsyuhud.net

[14] Lihat “10 Pembatal Keislaman menurut Wahabi Salafi”, fatihsyuhud.net

[15] Harian Al-Ahram Mesir, Edisi 5 April 2011. Akses online: http://www.ahram.org.eg/archive/Religious-thought/News/71007.aspx Teks asal: أن السلفيين الجدد هم “خوارج العصر”، وأن جمهور المسلمين لم يكونوا على هذا المذهب لأنهم كانوا إما مالكية أو شافعية أو أحنافًا، وإما حنابلة وأن السلف أو السلفية ليس مذهبًا أو مدرسة

[16] Al-Madzhab Al-Hanbali Bari’un min Ibni Taimiyah, wa Ibni Jauziyah, wa Al-Salafiyah Al-Mutatorrifah. Akses online: http://www.islamist-movements.com/3542

[17] “Muktamar Sheeshan 2016”, tabafoundation.com, 31 Agustus 2016.

Kembali ke Atas