Asy’ariah dan Maturidiyah dalam Bingkai Ahlussunnah Wal Jamaah
Asy’ariah dan Maturidiyah dalam Bingkai Ahlussunnah Wal Jamaah
Oleh: A. Fatih Syuhud
Berdasarkan sebuah hadits sahih yang dikenal dengan sebutan hadits Jibril Nabi bersabda bahwa pilar iman itu ada enam yaitu iman kepada Allah, para malaikat, para Rasul, kitab suci, hari akhir, takdir baik dan buruk.[1] Prinsip enam pilar inilah yang menjadi pedoman Ahlussunnah Wal Jamaah.
Ahlussunnah Wal Jamaah adalah golongan mayoritas (al-sawad al-azham) muslim dari kalangan ulama dan umat Islam. Istilah Ahlussunnah artinya kalangan yang selalu menjadikan Al-Quran dan Sunnah Rasul sebagai pedoman utama dalam bersyariah. Sedangkan nama al-jama’ah itu sendiri diambil dari sebuah hadits di mana Nabi bersabda: “Berpeganglah pada al-jamaah dan hindari perpecahan.”[2] Kata “al-jamaah” dalam hadits ini menurut Al-Hafidz Ibnu Asakir bermakna “golongan mayoritas” bukan jamaah shalat.[3]
Ahlussunnah Wal Jamaah generasi awal, yaitu para Sahabat Nabi, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in, telah mengikuti prinsip enam pilar keimanan ini dengan baik. Itulah sebabnya kalangan yang biasa disebut dengan Salafus Salih ini adalah generasi terbaik Islam[4] sebagaimana diisyaratkan dalam sebuah hadits Nabi, “sebaik-baik masa (abad)[5] adalah masaku, lalu masa setelahku, lalu masa setelahku.”[6]
Munculnya Aqidah Asy’ariah dan Maturidiyah
Setelah 260 tahun dari hijrah terjadilah bid’ah di bidang aqidah yang dipelopori oleh Muktazilah dan lainnya. Pada saat terjadinya kekacauan ideologis yang dapat mengikis keimanan inilah, maka muncullah dua ulama pembaharu (mujaddid) di bidang aqidah yaitu Abul Hasan Al-Asy’ari (260 H/874 M – 324 H/936 M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (233 H/853 M-333 H/944 M). Dengan dalil naqli dan aqli mereka berhasil merespons pandangan Muktazilah dengan sangat baik dan berhasil membawa umat Islam kembali ke dalam aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah sebagaimana dipahami oleh generasi Salafus Salih. Oleh karena itulah, maka nama atau istilah Ahlussunnah Wal Jamaah dinisbatkan atau diidentikkan pada kedua ulama ini. Ketika istilah Ahlussunnah diucapkan, maka hanya ada dua kemungkinan yaitu pengikut aqidah Asy’ariyah atau pengikut Maturidiyah atau keduanya.[7]
Maturidiah dan Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi sosial dan pemikiran yang sama. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yng menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis, dimana yang berada di paling depan adalah kaum mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualitas di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabilah.[8]
Perbedaan Pengikut Berdasarkan Madzhab Fiqih
Apabila Asy’ariyah banyak diikuti oleh penganut madzhab fiqih Maliki, Syafi’i dan sebagian Hanbali, maka Maturidiyah diikuti oleh penganut madzhab Hanafi. Oleh karena itu, penyebaran pengikut Maturidiyah itu sebanding dengan jumlah penganut madzhab Hanafi yang umumnya terdapat di negara India, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, China, kawasan negara Balkan, dan sejumlah negara muslim di kawasan Kaukasus yaitu negara di kawasan yang berbatasan dengan Eropa Timur dan Asia Barat seperti Armenia, Azerbaijan, Iran, Turkmenistan, Kazakhstan, Georgia, Russia dan Turki.
Oleh karena itu, walaupun aqidah Maturidiyah hanya diikuti oleh penganut madzhab fikih Hanafi saja, namun secara kuantitas memiliki jumlah terbesar. Karena, pengikut madzhab Hanafi merupakan madzhab fikih dengan penganut terbesar di banding tiga madzhab yang lain.[9]
Perbedaan antara aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah
Dalam hal-hal yang prinsip terkait enam pilar keimanan antara Asy’ariyah dan Maturidiyah tidak ada perbedaan yang mendasar. Kalaupun ada, maka itu lebih kepada perbedaan dalam masalah detail. Berikut beberapa perbedaan di antara keduanya:
- Asyariah berpendapat bahwa beruntung dan celaka itu sudah tertulis dan tidak bisa berubah, sedangkan Maturidiyah berkeyakinan bahwa bahagia yang tertulis di Lauhul Mahfudz itu dapat berganti menjadi celaka apabila dia melakukan perbuatan dosa, begitu juga sebaliknya.
- Asy’ariyah berpendapat bahwa irodat (berkehendak) itu ditetapkan oleh ridha sedangkan ridha tidak menetapkan adanya iradat artinya keduanya tidak saling menetapkan. Karena, kekufuran itu tidak diridhai sementara itu dikehendaki oleh Allah. Menurut Maturidiyah, iradat dan ridha itu dua hal yang sama.
- Menurut sebagian Asy’ariyah, imannya orang yang taqlid (muqallid) itu tidak sah, sedangkan menurut Maturidiyah hukumnya sah.
- Perbuatan manusia menurut Asy’ariyah adalah perbuatan yang bersifat majazi, bukan hakiki. Yang hakiki adalah dari Allah. Sedangkan menurut Maturidiyah, perbuatan manusia adalah perbuatan hakiki.
- Allah menyiksa orang yang taat, jaiz atau tidak? Baik Asy’ariyah dan Maturidiyah menyatakan bahwa hal itu tidak jaiz dan tidak akan terjadi secara syariah. Namun, secara aqliyah keduanya berbeda pendapat: (a) menurut Asy’ariyah secara aqli itu bisa saja dan itu tidak disebut zalim; sedangkan menurut Maturidiyah itu tidak mungkin terjadi baik secara syariah maupun aqliyah.
- Makrifatullah itu wajib secara syariah menurut Asy’ariyah, dan wajib secara aqliyah menurut Maturidiyah.
- Sifat perbuatan seperti penciptaan, pemberian rizqi, menghidupkan apakah qadim atau hadits (baru)? Menurut Asy’ariyah itu hadits, sedangkan menurut Maturidiyah itu qadim.
- Kalamullah yang berdiri dengan dzatnya sendiri itu bisa didengar atau tidak? Menurut Asy’ariyah bisa didengar, sedangkan menurut Maturidiyah tidak bisa didengar karena bukan dari jenis huruf dan suara.
- Taklif (memaksa) pada perkara yang tidak mampu dilakukan seorang hamba menurut Asy’ariyah hukumnya jaiz, sedangkan menurut Maturidiyah tidak jaiz.
- Nabi maksum dari dosa besar saja, ini menurut Asy’ariyah. Sedangkan menurut pandangan Maturidiyah, para Nabi itu maksum dari dosa besar dan kecil.[10]
Al-Azhar Mengakui Keduanya sebagai Aqidah Ahlussunnah
Terlepas dari adanya sedikit perbedaan yang terjadi antara aqidah Asy’ariyah dan Maturidiyah, namun Universitas Al-Azhar (Jamiah Al-Azhar) menyatakan bahwa keduanya diakui sebagai aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah yang benar. Syeikh Al-Azhar, Dr. Ahmad Tayyib, menyatakan: “Aqidah Al-Azhar mengikuti aqidah Imam Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturidi; berfiqih dengan fiqih madzhab empat dan bertasawuf dengan tasawuf Imam Al-Junaid.”[11]
Al-Azhar Tidak Mengakui Salafi Wahabi sebagai bagian Ahlussunnah
Universitas Al-Azhar, sebagai lembaga rujukan Ahlussunnah Wal Jamaah seluruh dunia,[12] tidak mengakui adanya aqidah tauhid lain selain Asy’ariyah dan Maturidiyah. Artinya, Al-Azhar tidak menganggap aqidah Salafi Wahabi yang dipelopori oleh Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab sebagai bagian dari aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah. Sikap ini kembali ditegaskan dalam muktamar Ahlussunnah yang diadakan di Grozny, Chechnya pada Agustus 2016.
Dalam muktamar yang bertema “Man Hum Ahlussunnah Wal Jamaah” (Siapa Ahlusunnah Wal Jamaah?) dan dihadiri oleh Syaikhul Azhar Dr. Muhammad Tayyib dan para ulama yang lain itu dinyatakan kembali bahwa “Ahlussunnah Wal Jamaah adalah penganut Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam aqidah, pengikut madzhab empat dalam fiqih, dan penganut tasawuf yang bersih dalam segi ilmu, akhlak dan tazkiyah.”[13] Ini adalah kenyataan yang tak terbantahkan dan patut disyukuri bahwa sampai saat ini kita masih tetap menjadi bagian dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah yang merupakan golongan Al-Sawadul A’zham atau kelompok mayoritas umat Islam.[]
Catatan akhir
[1] Hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Teks hadits: الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر والقدر خيره وشره
[2] Hadits sahih menurut Al-Hakim dan hasan sahih menurut Tirmidzi. Teks hadits: عليكم بالجماعة وإياكم والفرقة فإن الشيطان مع الواحد وهو من الاثنين أبعد، فمن أراد بُحبُوحة الجنة فليلزم الجماعةَ
[3] Ibnu Asakir, Risalah Ibnu Asakir, hlm. 14.
[4] Lihat, A. Fatih Syuhud, “Beda Generasi Salaf dan Gerakan Wahabi Salafi”, fatihsyuhud.net
[5] Kata qarn (jamak, qurun) bermakna abad atau masa 100 tahun menurut pemahaman dari Ibnu Asakir dan lainnya.
[6] Teks hadits: خير القرون قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
[7] Samir Al-Qadhi, Mursyidul Hair fi Halli Alfazh Risalat Ibni Asakir, hlm. 14.
[8] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003), hal. 167
[9] “Al-Madzhab Al-Hanafi: Al-Madzhab Al-Akbar Intisyaran fi Al-Alam”, masjidsalahudin.com/?p=506
[10] Hasan bin Abdul Muhsin bin Abu Adzbah, Al-Raudoh Al-Bahiyah fima bainal Asya’iroh wal Maturidiyah.
[11] “Al-Madzhab Al-Hanafi”, islamist-movements.com/6012 Teks asal: أن عقيدة الأزهر الشريف هي عقيدة الأشعري والماتريدي وفقه الأئمة الأربعة وتصوف الإمام الجنيد
[12] Bahwa Al-Azhar menjadi rujukan Ahlussunnah Wal Jamaah, lihat Syeikh Hasyim Asy’ari, Risalatu Ahlisunnah Wal Jamaah. Teks asal:
أن الحق مع السلفيين الذين كانوا على خطة السلف الصالح، فإنهم السواد الأعظم، وهم الموافقون علماء الحرمين الشريفين وعلماء الأزهر الشريف الذين هم قدوة رهط أهل الحق Yang dimaksud Kyai Hasyim Asy’ari dengan “ulama Haramain” adalah ulama Ahlussunnah non-Wahabi yang waktu beliau menulis kitab tersebut masih dibolehkan mengajar di Masjidil Haram seperti Sayid Alawi Al-Maliki, Zaini Dahlan, Syeikh Yasin Al-Fadani, dan lain-lain.
[13] “Muktamar li Ta’rif Al-Sunnah bi Al-Syisyan Yastatsni Al-Salafiyin”, 30 Agusuts 2016, arabic.cnn.com/middleeast/2016/08/30/grozny-conference-islam