Pokok-pokok Ajaran Aqidah Asy’ariah
Pokok-pokok Ajaran Aqidah Asy’ariah
Oleh: A. Fatih Syuhud
Sebagaimana disebut sebelumnya bahwa madzhab aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang paling banyak diikuti para ulama dan umat Islam salaf dan kholaf adalah aqidah Asy’ariyah yang dibentuk oleh Abul Hasan Al-Asy’ari.[1] Oleh karena itu dapat dimaklumi apabila tidak sedikit dari golongan tertentu dalam Islam yang ingin menyebarkan aqidah mereka sendiri lalu mengklaim bahwa aqidah merekalah yang paling sesuai dengan aqidah Asy’ariyah. Caranya, misalnya, dengan menyatakan bahwa Abul Hasan Al-Asy’ari telah berpindah madzhab mengikuti aqidah mereka. Kelompok yang paling getol mengklaim hal ini adalah Wahabi Salafi. Golongan ini mengaku-ngaku dua hal yaitu (a) bahwa aqidah merekalah yang disebut aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah; (b) bahwa Abul Hasan Al-Asy’ari pada akhir hidupnya telah berpindah mengikuti aqidah Wahabi Salafi.[2] Klaim ini tentu saja tidak benar dan akan dibahas secara khusus pada bagian akhir artikel. Tulisan ini hanya akan menyoroti prinsip utama aqidah Asy’ariyah yang membedakannya dengan aqidah yang lain seperti Maturidiyah, Atsariyah dan Wahabi Salafi.
Pengertian Aqidah
Dari segi sharaf, kata aqidah berasal dari masdar (verbal noun) dari kata kerja i’taqada ya’taqidu i’tiqad yang bermakna “Aku mengambil dari akad”. Aqad bermakna mengikat dengan kuat. Oleh karena itu istilah aqad diidentikkan dengan jual beli, sumpah, nikah dan lainnya; karena terikatnya hal-hal ini secara syariah dan ‘uruf.
Adapun aqidah secara bahasa bermakna keyakinan sepenuh hati pada yang diyakini. Dalam istilah syariah, aqidah adalah perkara yang dikehendaki dalam hati bukan perbuatan, seperti aqidah adanya Allah dan terutusnya para Rasul.[3]
Ilmu yang mempelajari aqidah disebut dengan ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama), ilmu tauhid, dan ilmu kalam.[4]
Beda Aqidah, Fiqih dan Syariah
Dalam hadits sahih yang dikenal dengan sebutan hadits Jibril dikatakan bahwa agama itu meliputi tiga hal yaitu iman, Islam dan ihsan.[5] Syauqi Ibrahim Allam, mufti Mesir saat ini (2013-sekarang) menjelaskan bahwa hadits ini bermakna bahwa agama itu dibangun atas tiga hal yaitu Islam, iman dan ihsan. Para Sahabat dan Tabi’in dan generasi setelahnya selalu menganggap penting ketiga hal ini. Kemudian, ulama setelahnya memberi nama ilmu yang menjelaskan tentang rukun Islam dengan ilmu fiqih, ilmu yang menguraikan tentang rukun iman disebut ilmu aqidah dan ilmu yang menjabarkan kedudukan ihsan dengan ilmu tasawuf.[6]
Sebagian ulama menyatakan bahwa aqidah adalah sesuatu yang dibenarkan dan diyakini oleh hati tanpa ada keraguan sedikitpun. Syariah adalah perintah Islam yang bersifat perbuatan seperti ibadah dan muamalah. Fiqih adalah mengetahui hukum syariah yang bersifat amaliah dari dalil-dalil yang rinci. Faqih atau ahli fiqih berperan untuk mengeluarkan hukum syariah amaliyah dari dalil-dalil syariah yakni Al Quran dan hadtis atau dari berbagai sumber yang oleh syariah dianggap benar seperti ijmak dan qiyas yang sahih.
Jadi, fiqih atau syariah itu khusus membahas hukum amaliyah seperti ibadah dan muamalah, tentang halal haram sunnah makruh dan mubah; sedangkan aqidah lebih mengedepankan keimanan.[7]
Beda Madzhab Aqidah dan Madzhab Fiqih
Karena aqidah terkait masalah ushuluddin (pokok agama), sedangkan fiqih menyangkut masalah furu’uddin (cabang agama), maka perbedaan yang terjadi antara madzhab fiqih lebih bisa diterima dibanding perbedaan di kalangan madzhab aqidah. Itulah sebabnya, hanya ada dua madzhab aqidah utama di kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah yaitu aqidah Asy’ariyah dan aqidah Maturidiyah. Sebagian ulama memasukkan madzhab aqidah Atsariyah sebagai bagian dari Ahlussunnah.[8] Sedangkan dalam fiqih ada empat madzhab yang diakui sebagai bagian dari Ahlussunnah Wal Jamaah yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Madzhab Asy’ariyah adalah Madzhab Salafus Shalih (Salafi)
Imam Al-Baihaqi (w. 458 H) menyatakan: “Abul Hasan Al-Asy’ari tidak membuat hal baru dalam agama, dan tidak melakukan bid’ah. Aqidahnya berdasarkan pada pandangan para ulama generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it tabi’in dalam segi ushuluddin dengan tambahan dan penjelasan. Pandangan para ulama tersebut dalam masalah ushuddin adalah benar. Berbeda dengan apa yang diduga oleh ahli hawa nafsu bahwa sebagiannya tidak benar. Al-Asy’ari dalam penjelasannya justru memperkuat argumen dalil yang belum ditunjukkan sebelumnya dari kalangan Ahlussunnah Wal Jamaah dan membantu para ulama sebelumnya seperti Abu Hanifah, Sufyan Al-Tsauri dari Ahli Kufah; Al-Auza’i dan lainnya dari Ahli Syam, Malik dan Al-Syaf’i dari Ahli Haramain.”[9]
Qadhi Iyadh (w. 544 H) menyatakan tentang Imam Asy’ari dan madzhab aqidahnya: “Ulama Ahlussunnah di Timur dan Barat mengikuti aqidahnya dan mengikuti manhajnya. Ia dipuji oleh banyak ulama. Mereka memuji madzhabnya.”[10]
Pokok-pokok Aqidah Asy’ariyah
Secara umum akidah Asy’ariyah sama dengan dua aqidah Ahlussunnah yang lain yang merupakan implementasi dari rukun iman yang enam yang disebut dalam hadits Jibril.[11] Secara garis besar, aqidah Asy’ariyah memiliki ciri khas sebagai berikut:
- Argumen atau dalil yang digunakan Asy’ariyah dalam menyusun konsepnya adalah perpaduan antara naqliyah (nash Al-Quran dan hadits) dan aqliyah yang bersifat saling mendukung pada dalil naqliyah. Bagi Asy’ariyah, nash yang sharih (eksplisit) dan akal yang benar (sahih) tidak akan saling berlawanan.[12]
- Ilmu Kalam. Ulama Asy’ariyah menganggap mempelajari ilmu kalam itu tidak mendesak. Khususnya apabila tidak ada aliran-aliran yang berbeda yang membutuhkan respons dengan memakai ilmu kalam. Inilah juga yang dilakukan oleh kalangan Salafus Soleh yakni para Sahabat dan Tabi’in di mana pada masa mereka tidak ada aliran dan pandangan yang berbeda dengan Ahlussunnah Wal Jamaah seperti Muktazilah. Sehingga ulama generasi Salaf mengingatkan agar tidak memakai ilmu kalam karena tidak adanya kepentingan dan kebutuhan ke arah itu. Ini menurut pemahahaman Asy’ariyah. Namun setelah jelas muncul sejumlah aliran yang meragukan aqidah Islam secara umum dan wujud Allah dalam aqidah Ahlussunnah secara khusus, maka sejumlah ulama melihat perlunya memakai ilmu kalam untuk menghadapi pendapat-pendapat yang meragukan tersebut.[13]
- Hukum Tahu Aqidah. Umumnya ulama Asy’ariyah berpendapat bahwa memahami aqidah Islam beserta dalilnya secara rinci itu tidak wajib bagi muslim awam. Mereka cukup memahami aqidah secara umum (mujmal). Ini pandangan Imam Ghazali dan sejumlah ulama yang lain. Pandangan ini berbeda dengan Al-Isfirayini.[14]
- Tafwid (Ta’wil Ijmali). Menurut Asy’ariyah, kalangan Salafus Salih yakni generasi Sahabat, Tabi’in dan Tabi’it tabi’in, berpendapat bahwa mayoritas dari mereka menyikapi ayat dan hadits mutasyabihat dengan cara tafwid atau takwil ijmali. Takwil ijmali adalah memalingkan nash yang mengandung sifat Allah yang menyerupai (mutasyabihat) dengan makhluknya pada makna lain secara ringkas (tidak detail). Misalnya, “Allah bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS Al-Araf 7:54) dimaknai “Allah berkuasa atas Arasy.”[15] Tafwid menurut Al-Izz bin Abdissalam adalah perilaku generasi Salaf. Sedangkan kalangan pasca-Salaf, lebih cenderung mentakwil karena adanya tuntutan melakukan hal itu sebagai respons pada kalangan ahli bid’ah.[16]
- Takwil Tafshili. Pada dasarnya Asy’ariyah berpegang pada makna zhahir atas suatu nash Quran dan hadits. Namun juga membolehkan memalingkan kata dari makna zhahirnya yang rajih (unggul) pada makna marjuh (makna kedua) apabila ada dalil (qarinah) yang menyertai kata tersebut sehingga dipalingkan dari makna zhahirnya. Sebagai contoh, dalam firman “Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka” (QS Taubat 9:67). Kata “Allah melupakan mereka” dialihkan maknanya menjadi “Allah meninggalkan mereka”. Pengalihan arti “lupa” ke arti “meninggalkan” karena ada dalil yakni mustahilnya sifat lupa bagi Allah. Dalam hal bolehnya ta’wil, Imam Syafi’i sendiri menyatakan: “Sebagian nash Al-Quran mengandung makna yang dari susunan kalimatnya bisa diketahui mengandung arti yang tidak sesuai dengan arti zhahirnya.”[17] Adapun mengalihkan kata dari makna zhahirnya tanpa adanya dalil, maka hukumnya tidak boleh.
Qadha dan Qadar
Menurut Asy’ariyah, seluruh perbuatan manusia itu terjadi di bawah hukum dan kehendak Allah. Yang terjadi di alam ini, yang baik dan buruk, semua berasal dari Allah. Tidak ada kemungkinan pada terjadinya pertentangan kehendak manusia dengan kehendak Allah. Tidak ada pertentangan dalam kehendak manusia yang gagal dengan kehendak Allah. Allah berkehendak atas kemauan dan kegagalan manusia secara bersamaan. Tidak ada satupun di alam ini yang keluar dari kekuasaan kehendak Allah. Kehendak Allah itu meliputi seluruh perbuatan opsional manusia berdasarkan pada QS Al-Insan 76:30 “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.”[18]
Dilihat dari segi bahwa manusia itu melakukan apa yang mereka lakukan dengan pilihannya sendiri, maka manusia memiliki kebebasan memilih perbuatannya. Namun dari sisi bahwa manusia tidak bisa melakukan perbuatan kecuali yang dikehendaki oleh Allah, maka manusia itu dipaksa atau seakan dipaksa melakukan perbuatannya. Manusia itu berbuat apa yang dia kehendaki, namun ia tidak bisa berkehendak kecuali apa yang telah dikehendaki Allah. Jadi, manusia melakukan apa yang dikehendaki Allah dan apa yang dia kehendaki sendiri secara bersama-sama. Ada penyerahan otoritas pada manusia karena ia dapat melakukan apa yang dia suka. Namun pada waktu yang sama ada paksaan atau serupa paksaan pada diri manusia karena manusia tidak bisa melakukan apapun selain yang dikehendaki Allah. Kombinasi paksaan dengan kebebasan, aturan dengan pilihan, menurut Asy’ariyah, adalah termasuk dari kekhususan kekuasaan (qudrat) Allah. Pandangan ini berdasarkan firman Allah QS An-Nahl 16:93 “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”[19]
Apabila demikian, lalu apa beda Asy’ariyah dengan Jabariyah dalam soal takdir? Perbedaannya adalah dalam pandangan Jabariyah manusia tidak memiliki kekuasaan (qudrat), kehendak (iradat) dan perbuatan (fi’l) sama sekali. Sedangkan menurut Asy’ariyah, manusia itu bersifat bisa memilih dalam perbuatannya. Di mana perbuatan tersebut bergantung pada kehendak dan pilihan manusia. Kehendak dan pilihan ini, menurut Asy’ariyah, berasal dari Allah. Oleh karena itu, Asy’ariyah memandang bahwa madzhabnya berbeda dengan madzhab Jabariyah dalam soal perbuatan manusia.[20]
Kontroversi Kitab Al-Ibanah Imam Asy’ari
Kitab Al-Ibanah fi Ushul al-Diyanah adalah kitab kontroversial yang konon menjadi kitab terakhir sebelum meninggal yang ditulis oleh Abul Hasan Al-Asy’ari. Isi dari kitab ini adalah bahwa Imam Asy’ari telah bertaubat dari cara pandang aqidah Asy’ariyah, seperti takwil dan tafwid, dan kembali ke aqidah Salafus Soleh yakni aqidah yang saat ini dianut oleh Salafi Wahabi. Benarkah demikian?
Para ulama Asy’ariyah dengan tegas menyatakan bahwa isi kitab Al-Ibanah, kalaupun benar ditulis oleh Imam Asy’ari, maka isinya pasti telah dirubah oleh tangan-tangan jahil, terutama kalangan yang tidak suka pada aqidah Asy’ariyah. Beberapa pandangan ulama Asy’ariyah dan alasan yang mendasari asumsi ini antara lain:
- Gaya penulisan dalam kitab Al-Ibanah sangat berbeda dengan cara yang biasa dipakai oleh Imam Asy’ari dalam berbagai karya-karyanya. Setidaknya ada sebagian isi kitab yang bukan karya Al-Asy’ari.[21]
- Ulama Asy’ariyah memastikan bahwa naskah yang banyak beredar sudah dipalsu (tahrif), dikurangi dan ditambah. Al-Kautsari, dalam komentarnya atas kitab Al-Ikhtilaf fi Al-Lafdz li Ibni Qutaibah, menyatakan: “Termasuk dari keanehan pemalsuan kitab adalah pemalsuan (tahrif) yang dilakukan pada sebagian naskah kitab Al-Asy’ari sebagaimana terjadi di hal-hal lain.” Dalam naskah versi yang banyak beredar, kitab Al-Ibanah ini juga menyerang Imam Abu Hanifah sebagai mujassimah. Kitab ini telah dicetak dalam empat naskah yang berbeda dengan tahqiq oleh Dr. Fauqiyah Husain. Ketika dibandingkan antara naskah yang ada dengan cetakan Dr. Fauqiyah Husain beserta dua fasal yang dikutip oleh Ibnu Asakir, maka menjadi jelaslah jumlah pemalsuan yang terjadi pada kitab ini.[22]
- Dalam muqaddimah kitab Tabyin Kadzib Al-Muftari, Al-Kautsari mengatakan: “Naskah Al-Ibanah yang dicetak di India adalah naskah yang dipalsu secara serampangan oleh tangan-tangan jahat. Maka wajib mengembalikan cetakan versi asli yang dapat dipercaya.”[23]
- Abdurrahman Badawi menguatkan pandangan Al-Kausari dengan menyatakan: “Apa yang dikatakan Al-Kautsari adalah benar bahwa naskah kitab yang dicetak di India telah dipalsu oleh tangan-tangan kotor.”[24]
- Syaikh Wahbi Sulaiman Ghawji menegaskan bahwa “kitab Al-Ibanah yang seluruhnya dinisbatkan pada Imam Abul Hasan Al-Asy’ari menggunakan argumen-argumen palsu yang menunjukkan bahwa sebagian besar dari kitab Al-Ibanah yang beredar saat ini tidak sah dinisbatkan pada Imam Asy’ari.”[25]
CATATAN AKHIR
[1] A. Fatih Syuhud, “Aqidah Asy’ariyah Madzhab Mayoritas Ulama Ahlussunnah”, fatihsyuhud.net
[2] Al-Nadwah Al-Islamiyah li Al-Syabab Al-Islami, “Al-Asya’irah”, Saaid.net,
[3] Al-Mu’jam Al-Wasith
[4] Said Faudah, Tahdzib Syarh Al-Sanusiyah, hlm. 27.
[5] Hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Juga terdapat dalam kitab Arbain Nawawi, hadits no. 2.
[6] Syauqi Ibrahim Allam, “Dhawabit Al-Tashawuf Al-Sunni”, no. 2714, dar-alifta.org
[7] Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar, Tarikh Al-Fiqh Al-Islami, Maktabah Al Falah, Kuwait, Cet. 1, 1982 M/1402 H, hlm. 170.
[8] Madzhab Al-Atsariyah adalah madzhab aqidah yang dalam berfiqih mengikuti madzhab Hanbali.
[9] Tajuddin Al-Subki, Al-Tabaqat Al-Kubra, hlm. 3/397, Darul Nashr:1413, Cet. 2, Tahqiq, Dr. Mahmud Al-Thanaji, Dr. Abdul Fatah Muhammad Al-Hilw. Teks lengkap: ..إلى أن بلغت النوبة إلى شيخنا أبي الحسن الأشعري رحمه الله فلم يحدث في دين الله حدثا، ولم يأت فيه ببدعة، بل أخذ أقاويل الصحابة والتابعين ومن بعدهم من الأئمة في أصول الدين فنصـرها بزيادة شرح وتبيين، وأن ما قالوا وجاء به الشرع في الأصول صحيح في العقول، بخلاف ما زعم أهل الأهواء من أن بعضه لا يستقيم في الآراء، فكان في بيانه تقوية ما لم يدل عليه من أهل السنة والجماعة، ونصرة أقاويل من مضى من الأئمة كأبي حنيفة وسفيان الثوري من أهل الكوفة، والأوزاعي وغيره من أهل الشام، ومالك والشافعي من أهل الحرمين ….
[10] Al-Qadhi Iyadh Al-Sibti, Tartib Al-Madarik wa Taqrib Al-Masalik li Makrifat A’lam Madzhab Malik, hlm. 2/524-526. Teks lengkap: صنف لأهل السنة التصانيف، وأقام الحجج على إثبات السنة، وما نفاه أهل البدع من صفات الله تعالى ورؤيته، وقدم كلامه وقدرته قال: تعلق بكتبه أهل السنة، وأخذوا عنه، ودرسوا عليه، وتفقهوا في طريقه، وكثر طلبته وأتباعه، لتعلم تلك الطرق في الذب عن السنة، وبسط الحجج والأدلة في نصر الملة، فسموا باسمه فعرفوا بذلك ـ أي الأشاعرة ـ ….فأهل السنة من أهل المشرق والمغرب، بحججه يحتجون وعلى مناهجه يذهبون، وقد أثنى عليه غير واحد منهم، وأثنوا على مذهبه وطريقه
[11] Hadits dari Umar bin Khatab di mana Rasulullah membagi pilar agama menjadi tiga yaitu islam, iman dan ihsan. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
[12] Muhammad Soleh bin Ahmad Al-Garsi, Manhaj Al-Asyairah bain Al-Haqaiq wa Al-Awham, hlm. 76.
[13] Said Faudah, Al-Farq Al-Azhim bain Al-Tanzih wa Al-Tajsim, hlm. 41.
[14] Muhammad Al-Khidir Al-Syinqiti, Istihalah Al-Maiyah bi Al-Dzat wa Ma Yudahiha min Mutasyabihat Al-Sifat, hlm. 17.
[15] Ibid, hlm. 88.
[16] Ibid, hlm. 89. Teks ucapan Al-Izz bin Abdissalam:
أن السلف والخلف متفقان على التأويل، وأن الخلاف بينهما لفظي لإجماعهم على صرف اللفظ عن ظاهره ولكن تأويل السلف إجمالي لتفويضهم إلى الله في المعنى المراد من اللفظ الذي هو غير ظاهره المنزه عنه تعالى، وتأويل الخلف تفصيلي لاضطرارهم إليه لكثرة المبتدعين.. ولو كنا على ما كان عليه السلف الصالح من صفاء العقائد وعدم المبطلين في زمانهم لم نخض في تأويل شيء من ذلك
[17] Imam Syafi’i, Al-Risalah, hlm. 52. Teks asal: وأن منه ظاهراً يُعرف في سياقه أنه يراد به غير ظاهره
[18] Mustofa Sobri, Mauqif Al-Basyar tahta Sulton Al-Qodar, hlm. 40.
[19] Ibid, hlm. 50-51.
[20] Ibid, hlm. 58-59.
[21] Wahbi Ghawji, Nazhrah Ilmiyah fi Nisbati Kitab Al-Ibanah Jami’ihi ila Al-Imam Abil Hasan, hlm. 8.
[22] Hamad Sinan & Fauzi Al-Anzaji, Ahlussunnah Al-Asyairah: Syahadat Ulama Al-Ummah wa Adillatihim, hlm. 62.
[23] Ibid, hlm. 61.
[24] Abdurrahman Badawi, Madzahib Al-Islamiyin,(Darul Ilm:Beirut), hlm. 515.
[25] Wahbi Ghawji, op.cit.