10 Pembatal Keislaman menurut Wahabi Salafi
10 Pembatal Keislaman (3) menurut Wahabi Salafi
Oleh: A. Fatih Syuhud
Poin ketiga yang membatalkan keislaman,[1] menurut Muhammad bin Abdil Wahab, adalah tidak mengafirkan orang musyrik atau ragu atas kekufurannya atau membenarkan madzhabnya maka dia kafir.[2] Musyrik adalah kata sifat (isim fa’il) dari syirik yang berarti pelaku syirik. Siapakah pelaku syirik menurut Ibnu Abdil Wahab? Sebagaimana disebut dalam pembatal Islam poin kesatu dan kedua, yaitu orang yang menyekutukan Allah dalam ibadah. Seperti meminta tolong pada orang mati[3] dan bertawasul pada orang mati.[4] Sebagaimana sudah dijelaskan, definisi syirik pada poin pertama dan kedua bukanlah ijmak ulama sebagaimana yang diklaim pendiri Wahabi ini. Bahkan, dalam masalah tawasul, baik pada orang hidup atau yang sudah mati, mayoritas ulama madzhab empat membolehkannya dan mengamalkannya.[5] Oleh karena itu, poin ketiga ini merupakan sikap pemaksaan kehendak yang tidak dapat diterima.
Menganggap Sistem Negara Non-Islam Lebih Baik
Poin keempat dari 10 Pembatal Islam versi Wahabi adalah barangsiapa yang meyakini bahwa sistem bernegara selain syariah adalah lebih sempurna dari syariah. Atau hukum selain Islam lebih baik dari hukum Islam seperti orang yang lebih memilih hukum taghut dibanding hukum Islam, maka dia kafir.[6] Pandangan ini masih menjadi masalah khilafiyah, bahkan di kalangan ulama Wahabi sendiri. Shaleh Al-Munajjid, salah satu ulama Wahabi, misalnya berpendapat bahwa selagi masih mengakui wajibnya mengimplementasikan hukum syariah, walaupun tidak dilakukan, maka hukumnya berdosa, bukan kafir.[7] Di kalangan ulama Ahlussunnah kontemporer, seperti Dr. Yusuf Qardhawi, menganut sistem non-Islam tidak masalah. Qardhawi berpendapat bahwa sistem demokrasi yang saat ini banyak diterapkan oleh sejumlah negara mayoritas muslim tidak berlawanan dengan esensi syariah Islam. Karena, menurut Qardhawi, inti dari sistem demokrasi adalah rakyat mendapat hak untuk memilih penguasa yang memiliki kapasitas, disukai dan dipercaya untuk mengemban amanah mengatur jalannya pemerintahan dan tidak memilih (lagi) penguasa yang berbuat salah.[8]
Yusuf Qardawi mendukung pendapatnya dengan sejumlah dalil dari hadits. Antara lain hadits yang menyatakan hendaknya seorang bermakmum pada imam yang disukai. Hadits sahih riwayat Muslim Nabi bersabda: “Sebaik-baik imam kalian adalah mereka yang kamu sukai dan menyukaimu, kamu doakan mereka dan mereka mendoakanmu. Seburuk-buruk imam adalah mereka yang kamu benci dan mereka membencimu, kamu laknat mereka dan mereka melaknatmu.”[9] Menurut Qardhawi, apabila dalam shalat saja Islam menganjurkan untuk memilih imam yang disukai, apalagi dalam masalah kehidupan dan politik.[10] Sejumlah ulama Ahlussunnah kontemporer sepakat dengan pandangan Yusuf Qardhawi akan bolehnya memakai sistem bernegara non-Islam seperti sistem demokrasi seperti Fathi Usman, Abul Ala Maududi, Ali Jumah dan lainnya.[11] Ini semakin menunjukkan bahwa pandangan Wahabi adalah pendapat yang tidak didukung oleh mayoritas ulama Ahlussunnah.
Membenci Ajaran Islam
Poin kelima dari 10 pembatal keislaman adalah bahwa muslim yang tidak menyukai syariah, walaupun mengamalkannya, maka dia kafir.[12] Ini artinya, kalau ada seorang muslim tidak suka memelihara jenggot, maka dia kafir. Pandangan ini sangat sembrono dan tidak pernah disebut oleh para ulama salaf. Karena, a) pengamalan syariah pada dasarnya adalah bersifat zhahir; b) hukum syariah terbagi lima yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah. Meninggalkan perkara wajib atau melakukan perkara haram adalah dosa tapi tidak sampai berakibat kafir sedangkan meninggalkan perkara sunnah atau melakukan perkara makruh atau mubah tidak berdosa. Imam Syafi’i mengatakan: “Kami (ahli fiqih) menghukumi perkara yang zahir. Sedang perkara batin itu urusan Allah.”[13]
Menghina Islam
Poin keenam dari 10 pembatal keislaman ala Wahabi adalah bahwa “Menghina agama Islam atau pahala atau siksa adalah kafir.”[14] Dalil yang digunakan adalah QS At-Taubah 9:65-66. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, seorang ulama Wahabi berpengaruh, menjelaskan bahwa yang dimaksud menghina agama adalah mencela agama, memaki, menghina Rasulullah. Apabila demikian, maka ulama Ahlussunnah sepakat atas kekufuran pelakunya.[15]
Namun demikian, harus dilihat bentuk penghinaannya. Apakah menghina agama secara langsung atau pada individu muslim. Al-Jaziri menyatakan, “Menghina agama seorang muslim mengandung dua kemungkinan. Satu, menghina individu tersebut dan akhlaknya. Apabila itu yang dimaksud, maka dia tidak kufur. Dua, menghina agama itu sendiri. Apabila ini yang terjadi maka dia kafir. Oleh karena itu, tidak bisa langsung mengkafirkan orang yang menghina agama sebagai murtad.[16]
Kemudian, apakah penghina agama itu diterima taubatnya atau tidak. Menurut Bin Baz, pelakunya murtad dan kafir dan boleh dibunuh dan diambil hartanya.[17] Namun, menurut mayoritas ulama dari madzhab empat, apabila pelakunya bertaubat, maka harus dimaafkan dan dilindungi sebagaimana muslim yang lain.[18] Pendapat jumhur ulama ini penting dan perlu diketahui agar muslim mudah memaafkan saudaranya sesama muslim yang pernah khilaf dan tidak mudah mengumbar kebencian pada sesama apalagi sampai menghalalkan darahnya.[19]
Ilmu Sihir dan Mengamalkan Sihir
Poin ketujuh adalah sihir. Menurut pendiri Wahabi, pelaku sihir atau siapapun yang rela pada sihir hukumnya kafir.[20] Menurut ulama Ahlussunnah dari madzhab empat, sihir itu tergantung cara melakukannya. Apabila dalam mengaplikasikan ilmu sihir ini mengandung unsur yang menafikan atau menista agama, maka hukumnya murtad. Namun apabila mantra yang dipakai tidak mengandung unsur-unsur tersebut, maka hukumnya haram.[21] Menurut Imam Nawawi, ilmu sihir haram dan termasuk dosa besar. Sihir bisa berakibat kafir apabila ada ucapan atau perbuatan dalam proses sihir itu yang menimbulkan kekufuran, apabila tidak maka haram saja. Yang ijmak, menurut Imam Nawawi, adalah haramnya mengamalkan sihir. Sedangkan sihir sebagai penyebab kekufuran masih terjadi khilaf di kalangan ulama.[22] Bahkan, mempelajari ilmu sihir itu sendiri menurut Imam Ahmad bin Hanbal adalah boleh apabila bertujuan agar tercegah dari serangan sihir atau sekedar untuk mempelajari saja.[23]
Bersekutu dengan Orang Kafir untuk Memerangi Sesama Muslim
Poin kedelapan adalah menolong orang kafir untuk memerangi kaum muslimin adalah kafir atau murtad dengan mendasarkan argumennya pada QS Al-Maidah 5:51.[24] Pandangan ini berlawanan dengan pandangan ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Lajnah Fatawa Al-Azhar mengeluarkan fatwa bahwa bersekutu dengan non-muslim untuk memerangi muslim adalah haram.[25] Keharaman ini dalam konteks apabila koalisi yang memerangi muslim tersebut dipimpin oleh non-muslim. Sedangkan apabila koalisi muslim dan non-muslim itu dipimpin oleh muslim, maka ada tiga rincian sebagai berikut:
- Bersekutu dengan pasukan kafir untuk memerangi negara muslim yang adil. Hukumnya haram dan dosa besar. Namun tidak sampai kufur yang mengeluarkan mereka dari Islam.[26]
- Bersekutu dengan pasukan kafir untuk memerangi negara muslim yang zhalim. Hukumnya dirinci berdasarkan niat dan maksud pelakunya: apakah bertujuan demi kekuasaan semata, atau untuk memberantas kezhaliman penguasa yang diserang atau memberi jalan bagi non-muslim untuk berkuasa di kawasan tersebut. Ketiga-tiganya hukumnya haram dengan tingkat keharaman yang berbeda-beda.
- Bersekutu dengan pasukan kafir untuk menumpas pemberontak muslim. Dalam hal inipun ulama berbeda pendapat dari keempat madzhab, namun secara umum mereka berpendapat haramnya hal tersebut.[27]
Ringkasnya, apapun kondisinya, bersekutu dengan non-muslim untuk memerangi muslim lain adalah haram. Namun tidak sampai berakibat kufur tidak sebagaimana yang dikatakan Muhammad bin Abdil Wahab.
Poin kesembilan adalah muslim yang berkeyakinan bahwa sebagian orang boleh keluar dari syariah seperti Nabi Khidir yang keluar dari syariah Nabi Musa, maka dia kafir.[28] Bagi ulama Ahlussnnah, prinsipnya adalah selagi orang yang melangar syariah Islam itu masih menganggap hukum haram sebagai haram, yang wajib tetap wajib dan perkara halal sebagai halal, maka dia tidak keluar dari Islam walaupun dia berdosa atas ketidaktaatannya tersebut.
Tidak Belajar Agama dan Tidak Mengamalkan
Poin kesepuluh pembatal keislaman versi Wahabi adalah berpaling dari agama Allah dengan tidak mempelajarinya dan tidak mengamalkannya.[29] Ulama Aswaja tidak semudah itu mengkafirkan orang yang tidak belajar agama. Belajar agama terbagi menjadi dua: a) fardhu ain yang wajib bagi setiap individu muslim; b) fardhu kifayah yang wajib untuk sebagian muslim saja. Ibnu Abdil Bar menjelaskan, “Ulama sepakat bahwa hukum mempelajari ilmu agama ada dua jenis yaitu fardhu ain dan fardhu kifayah… Termasuk yang fardhu ain adalah ilmu terkait kewajiban yang diwajibkan syariah seperti … shalat lima waktu itu wajib dan wajib memiliki ilmu tentangnya dan tentang perkara yang berkaitan dengan shalat. Dan bahwa puasa Ramadhan itu wajib dan wajib memiliki ilmu tentangnya dan yang berkaitan dengannya .. sampai pada perkara yang wajib diketahui secara global seperti haramnya zina, riba, khamar (alkohol), babi, bangkai, najis, ghasab, suap, persaksian palsu, memakan harta orang lain, .. haramnya membunuh sesama muslim tanpa hak dan lain-lain perka yang disebut dalam Quran dan Sunnah dan menjadi ijmak ulama.”[30]
Sedangkan ilmu yang fardhu kifayah adalah meliputi mempelajari ilmu agama secara mendalam dan ilmu duniawi yang bermanfaat bagi manusia seperti ilmu kedokteran, matematika, biologi, kimia, fisika, komputer, dan lain-lain. Al-Jashash dalam menafsiri QS At-Taubah 9:22 menyatakan, “Ayat ini menunjukkan wajibnya mencari ilmu dan sifatnya fardhu kifayah karena dalam ayat ini terkandung perintah pada sebagian golongan untuk berangkat menuntut ilmu dan memerintahkan yang lain untuk tinggal di rumah.”[31] Terkait ilmu duniawi yang bermanfaat bagi manusia, Ibnu Muflih menyatakan, “Ibnu Hubairah menuturkan bahwa ilmu matematika, kedokteran, pertanian adalah fardhu kifayah.”[32]
Tentang ilmu agama yang fardhu ain, maka tidak mempelajarinya adalah berdosa. Begitu juga apabila tidak mengamalkannya. Namun, menurut ulama Aswaja, hal itu tidak berakibat kafir, kecuali apabila itu dilakukan dalam bentuk pembangkangan dalam arti menganggap tidak wajib pada perkara fardhu, dan menganggap halal pada perkara yang haram.[33]
Ideologi Takfiri dan Sikap Toleran Ahlussunnah
Pada akhir doktrinnya tentang 10 pembatal keislaman, Muhammad bin Abdil Wahab menyatakan, “Tidak ada bedanya dalam melakukan kesepuluh pembatal keislaman ini antara bercanda, atau serius atau takut kecuali orang yang dipaksa. Semuanya termasuk perkara yang paling berbahaya dan sering terjadi. Maka hendaknya muslim berhati-hati.”[34] Kalau nasihat ini bertujuan agar kita berhati-hati dari perkara yang melanggar syariah, maka itu adalah nasihat yang baik. Setiap individu muslim harus berusaha maksimal untuk dapat melaksanakan syariah: menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya.
Namun, apabila hal itu disertai ancaman hukum yang tidak sesuai dengan pandangan mayoritas ulama Ahlussunnah dengan mengeluarkan pelaku pelanggaran dari Islam seperti berakibat bid’ah, syirik, kafir dan murtad, maka sikap ini perlu dikoreksi. Karena, doktrin ini akan mengakibatkan sikap ekstrim penganutnya dalam menilai muslim lain. Inilah yang disebut ideologi takfiri yaitu akidah yang mudah mengafirkan dan menyesatkan sesama muslim; dan bahwa golongan yang benar hanyalah dirinya sendiri. Ideologi takfiri inilah yang digunakan kalangan teroris seperti ISIS dan Al-Qaidah untuk membunuh sesama muslim di Timur Tengah dan berbagai belahan dunia dengan berbagai aksi terorisme.[35] Padahal Allah sudah menegaskan bahwa perbedaan itu adalah hal yang bersifat fitrah[36] dan bahwa sesama muslim itu adalah saudara yang harus saling berbuat baik dan menghormati.[37] Islam bahkan memerintahkan berbuat baik kepada non-muslim yang tidak berbuat zhalim pada kita.[38]
Oleh karena itu, sikap ideal dalam menilai muslim yang lain adalah toleransi sebagaimana pandangan madzhab Hanafi. Menurut Al-Jaziri, kalangan muhaqqiq dari ulama madzhab Hanafi menyatakan: “Tidak boleh mengkafirkan sesama muslim kecuali apabila tidak mungkin mentakwil atau menafsirkan ucapan (dan perbuatan)nya. Apabila seorang muslim mengucapkan suatu kata yang masih mengandung unsur keimanan di satu sisi dan kekufuran di sisi yang lain, maka hendaknya diputuskan masih beriman. Bahkan, apabila seorang muslim mengucapkan suatu kata atau melakukan suatu perbuatan yang secara lahiriah berakibat kafir akan tetapi ada suatu riwayat (hadits) dhaif yang menyatakan dia masih beriman, maka tidak sah mengkafirkannya.”[39]
Sikap madzhab Hanafi di atas selaras dengan hadits riwayat Tirmidzi Nabi bersabda: “Hindari hukuman pada umat Islam sebisa mungkin. Apabila ada jalan keluar maka bebaskan dia. Imam yang salah dalam memberi pengampunan itu lebih baik daripada salah dalam memberi hukuman.”[40] Al-Qari menjelaskan maksud hadits ini menurut ulama madzhab Hanafi adalah: “Apabila ada 99 pendapat yang mengindikasikan kafirnya seorang muslim namun ada satu pendapat yang menyatakan keislamannya maka hendaknya bagi mufti dan hakim untuk mengambil pendapat yang satu tersebut.”[41] Demikian juga bagi kita masyarakat awam agar tidak mudah memberi label bid’ah, syirik, murtad dan kafir pada sesama muslim. Langkah pertama menuju sikap yang toleran ini adalah dengan menjauhi paham Wahabi Salafi dengan semua doktrinnya meliputi tauhid uluhiyah rububiyah, ideologi al-wala wal bara’, dan 10 pembatal keislaman.[]
Footnote
[1] Untuk poin pertama dan kedua lihat “10 Pembatal Keislaman (1): Syirik” dan “10 Pembatal Keislaman (2): Tawasul”, fatihsyuhud.net/islam
[2] Teks asal: الثالث: من لم يكفر المشركين أو شك في كفرهم أو صحح مذهبهم كفر
[3] Teks asal: الشرك في عبادة الله تعالى ومن ذلك دعاء الأموات، والاستغاثة بهم، والنذر والذبح لهم كمن يذبح للجن أو للقبر
[4] Teks asal: من جعل بينه وبين الله وسائط يدعوهم ويسألهم الشفاعة ويتوكل عليهم فقد كفر إجماعا
[5] Lihat, “Syirik” dan “Tawasul” dalam fatihsyuhud.net
[6] Teks asal: الرابع: من اعتقد أن غير هدي النبي صلى الله عليه وسلم أكمل من هديه، أو أن حكم غيره أحسن من حكمه، كالذي يفضل حكم الطواغيت على حكمه – فهو كافر
[7] Shaleh Al-Munajjid, “Hukm Dirasat Al-Qawanin Al-Wadh’iyah”, islamqa.info. Teks asal: من يدرس القوانين أو يتولى تدريسها ليحكم بها أو ليعين غيره على ذلك مع إيمانه بتحريم الحكم بغير ما أنزل الله ، ولكن حمله الهوى أو حب المال على ذلك فأصحاب هذا القسم لا شك فساق وفيهم كفر وظلم وفسق لكنه كفر أصغر وظلم أصغر وفسق أصغر لا يخرجون به من دائرة الإسلام
[8] Yusuf Qaradawi, “Al-Dimuqratiyah wat Tifaquha ma’a Ruh Al-Islam”, qaradawi.net
[9] Hadits riwayat Muslim. Teks asal: خير أئمتكم ـ أي حكامكم ـ الذين تحبونهم ويحبونكم، وتصلون عليهم ـ أي تدعون لهم ـ ويصلون عليكم، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم، وتلعنونهم ويلعنونكم
[10] Qardhawi, loc.cit.
[11] Lebih detail, lihat A. Fatih Syuhud, “Islam dan Demokrasi”, fatihsyuhud.net
[12] Teks asal: الخامس: من أبغض شيئا مما جاء به الرسول صلى الله عليه وسلم ولو عمل به فقد كفر
[13] Teks asal: إنما نحكم بالظاهر والله يتولى السرائر
[14] Teks asal: السادس: من استهزأ بشيء من دين الرسول صلى الله عليه وسلم أو ثوابه أو عقابه كفر
[15] Ibnu Taimiyah, Al-Sharim Al-Maslul ala Syatim Al-Rasul, hlm. 2/13-16.
[16] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, hlm. 4/107. Teks asal: ومن سب دين مسلم فإنه يحمل على أمرين : أحدهما سب نفس الشخص وأخلاقه التي يتخلق بها ومن أراد ذلك فإنه لا يكفر . ثانيها : سب نفس الدين وتحقيره ومن أراد ذلك فإنه يكفر وبذلك لا يمكن الجزم بتكفير من شتم الدين فلا يترتب عليه أحكام المرتدين
[17] Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Fatawa Nur ala Al-Darb, hlm. 1/139.
[18] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, hlm. 12/294.
[19] Lihat, A. Fatih Syuhud. “Toleran pada Orang Awam dan Perbedaan antar Kelompok”, fatihsyuhud.net
[20] Teks asal: السابع: السحر، ومنه الصرف والعطف، فمن فعله أو رضي به كفر
[21] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arbaah, hlm. 5/225.
[22] Ibid. Teks asal:
عمل السحر حرام وهو من الكبائر بالإجماع وقد عده الرسول صلوات الله وسلامه عليه من الموبقات السبع ومن السحر ما يكون كفرا ومنه ما لا يكون كفرا بل معصية كبيرة فإن كان فيه قول أو فعل يقتضي الكفر فهو كفر وإلا فلا
[23] Ibid. Teks asal: أما من تعلمه لفك المسحور ومنع الأذى عنه أو تعلمه للعلم فقط ولم يعمل به فهو جائز
وقد سئل الإمام أحمد عمن يطلق السحر عن المسحور فقال : لا بأس به وهذا هو المعتمد فحكم السحر تابع للقصد فمن فصد به الخير جاز له وإلا حرم عليه إلا أن أدى إلى الشرك وإلا كان كافرا
[24] QS Al-Maidah 5:51 “Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi aliansi atau teman, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.”
[25] Majallah Al-Azhar, hlm. 27/682-686, tahun 1357H/1956M. Teks asal: ولا ريب أن مظاهرة الأعداء وموالاتهم يستوي فيها إمدادهم بما يقوي جانبهم ويثبت أقدامهم بالرأي والفكرة، وبالسلاح والقوة سرًا وعلانية، مباشرة وغير مباشرة. وكل ذلك مما يحرم على المسلم مهما تخيل من أعذار ومبررات.
ومن ذلك يعلم أن هذه الأحلاف – التي تدعو إليها الدول الاستعمارية، وتعمل جاهدة لعقدها بين الدول الإسلامية؛ ابتغاء الفتنة، وتفريق الكلمة، والتمكين لها في البلاد الإسلامية، والمضـي في تنفيذ سياستها حيال شعوبها – لا يجوز لأي دولة إسلامية أن تستجيب لها وتشترك فيها؛ لما في ذلك من الخطر العظيم على البلاد الإسلامية… وهي في الوقت نفسه من أقوى مظاهر الموالاة المنهي عنها شرعًا، والتي قال الله تعالى فيها: (وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ) [المائدة: ٥١].
وقد أشار القرآن الكريم إلى أن موالاة الأعداء، إنما تنشأ عن مرض في القلوب يدفع أصحابها إلى هذه الذلة التي تظهر بموالاة الأعداء، فقال تعالى: (فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ يَقُولُونَ نَخْشَى أَنْ تُصِيبَنَا دَائِرَةٌ فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ فَيُصْبِحُوا عَلَى مَا أَسَرُّوا فِي أَنْفُسِهِمْ نَادِمِينَ )[المائدة: ٥٢]»
[26] Ibnu Hazm, Al-Muhalla, hlm. 11/200-201. Teks asal: وكان الكفار له كأتباع، فهو هالك في غاية الفسوق، ولا يكون بذلك كافرًا؛ لأنه لم يأت شيئًا أوجب به عليه كفرًا
[27] Lihat, Imam Syafi’i, Al-Umm, hlm. 4/228; Syairozi, Al-Muhadzab, hlm. 5/198; Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, 156-157; Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sultoniyah, hlm. 122.
[28] Teks asal: التاسع: من اعتقد أن بعض الناس يسعه الخروج عن شريعة محمد صلى الله عليه وسلم – كما وسع الخضر الخروج عن شريعة موسى عليه السلام – فهو كافر
[29] Teks asal: العاشر: الإعراض عن دين الله، لا يتعلمه ولا يعمل به
[30] Ibnu Abdil Bar, Jamik Al-Ahkam, hlm. 1/10-11
[31] Abu Bakar Al-Rozi Al-Jashash, Ahkamul Qur’an, hlm. 4/374. Teks asal: وفي هذه الآية دلالة على وجوب طلب العلم وأنه مع ذلك فرض على الكفاية ، لما تضمنت من الأمر بنفر الطائفة من الفرقة للتفقه ، وأمر الباقين بالقعود
[32] Ibnu Muflih, Al-Adab Al-Syar’iyah. Teks asal: وذكر ابن هبيرة أن علم الحساب والطب والفِلاحة فرض على الكفاية
[33] Imam Nawawi, Minhaj Al-Thalibin, hlm. 1/293. Teks asal: الردة هي قطع الإسلام بنية أو قول كفر أو فعل سواء قاله استهزاء أو عنادا أو اعتقادا فمن نفى الصانع أو الرسل أو كذب رسولا أو حلل محرما بالإجماع كالزنا أو عكسه أو نفى وجوب مجمع عليه أو عكسه
[34] Teks asal: ولا فرق في جميع هذه النواقض بين الهازل والجاد والخائف، إلا المكره، وكلها من أعظم ما يكون خطرا، وأكثر ما يكون وقوعا. فينبغي للمسلم أن يحذرها، ويخاف منها على نفسه، نعوذ بالله من موجبات غضبه وأليم عقابه، وصلى الله على خير خلقه محمد وآله وصحبه وسلم
[35] Lihat, A. Fatih Syuhud, “10 Pembatal Keislaman (1): Syirik”, fatihsyuhud.net
[36] QS Al-Hujurat 49:10 dan 13
[37] QS An-Nisa 4:86
[38] QS Al-Mumtahanah 60:8
[39] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, loc.cit.
[40] Hadits riwayat Tirmidzi dari Aisyah. Al-Mubarakpuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, hlm. 4/60, menyatakan bahwa hadits ini sahih apabila mauquf pada Umar. Teks asal: ادرءوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم فإن كان له مخرج فخلوا سبيله فإن الإمام أن يخطئ في العفو خير من أن يخطئ في العقوب
[41] Ali Al-Qari, Syarah Al-Syifa, hlm. 2/499.