10 Pembatal Keislaman (2): Tawassul
Menurut golongan Wahabi Salafi, tawasul termasuk perbuatan yang menyebabkan murtad, kafir, syirik. Dan menempati nomor 2 sebagai pembatal keislaman versi Muhammad bin Abdil Wahab.
10 Pembatal Keislaman ala Wahabi (2): Tawasul
Oleh: A. Fatih Syuhud
Gerakan Islam radikal mengancam kerukunan dan keharmonisan hidup di Indonesia baik dengan sesama muslim atau dengan pemeluk agama lain. Bahkan mengancam keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) itu sendiri. Salah satu sebabnya adalah doktrin-doktrin teologis yang antisosial dan antiperbedaan yang diyakini penganutnya sebagai kebenaran mutlak. Padahal, itu hanyalah bagian dari ijtihad ulama mereka yang status kebenarannya masih bersifat khilafiyah. Salah satu doktrin radikal dari kelompok Wahabi Salafi adalah 10 pembatal keislaman. Poin pertama, yaitu syirik, sudah dibahas pada tulisan sebelumnya.[1]
Poin kedua pembatal keislaman menurut Wahabi adalah “menjadikan perantara antara manusia dan Allah. Berdoa dan meminta syafaat pada makhluk.” Ibnu Abdil Wahab menambahkan, “Pelaku perbuatan ini kufur secara ijmak.”[2] Pandangan Ibnu Abdil Wahab ini tampaknya berdasarkan pada pandangan Ibnu Taimiyah di mana dalam salah satu fatwanya menyatakan: “Barangsiapa menjadikan malaikat dan para Nabi sebagai perantara, berdoa dan bersandar pada mereka dan meminta mereka untuk memberi manfaat dan menolak bahaya seperti meminta pengampunan dosa dan petunjuk hati, menghilangkan kesulitan, dan menutup kefakiran, maka hukumnya kafir secara ijmak.”[3]
Adapun dalil yang digunakan Ibnu Abdil Wahab, menurut Shaleh Al-Munajjid[4], adalah QS Yunus 10:18 “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan.”[5]
Pandangan Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah
Ucapan Ibnu Abdil Wahab dan Ibnu Taimiyah bahwa ulama telah ijmak atas kafirnya pelaku tawasul itu tidak benar. Al-Alusi (wafat, 1270 H/1854 M) dalam Tafsirnya mengutip pendapat Tajuddin Al-Subki (wafat, 771 H/1370 M) menyatakan: “Tawassul dan istighosah dengan Nabi kepada Allah itu baik dan tidak ada satupun ulama salaf dan khalaf yang mengingkarinya. Kecuali Ibnu Taimiyah yang telah merubahnya dari jalan yang lurus. Ia mengada-ngada sesuatu yang tidak diucapkan oleh seorang alim dan menyebabkan pertentangan di kalangan umat.”[6]
Pandangan Tajuddin Al-Subki atas bolehnya tawasul ini didukung oleh sejumlah dalil dari Al-Quran dan hadits. Dari Al-Quran, misalnya, disebutkan dalam QS An-Nisa 4:64 “Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka.”[7] Kemudian kisah Nabi Yusuf dalam QS Yusuf 12:97-98 di mana Nabi Yusuf dan saudaranya bertawasul pada ayahnya untuk meminta ampun pada Allah “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).”[8]
Dalam QS Al-Maidah 5:35 ada kata “al-wasilah” yang oleh sebagian ahli tafsir dimaknai sebagai anjuran tawassul. Isi lengkap ayat tersebut adalah “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (al-wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya.”[9] Al-Alusi dalam Tafsir Ruhul Maani menyatakan: “Sebagian ulama menjadikan ayat ini sebagai dalil atas disyariatkannya istigotsah (meminta tolong) pada orang soleh dan menjadikan mereka sebagai wasilah (tawasul) antara Allah dan hamba.”[10]
Diriwayatkan dari sahabat ‘Usman bin Hanif: Ada seseorang yang sedang sakit datang ke baginda Nabi Muhammad SAW lalu berkata: Ya Rasulullah doakan kami semoga Allah memberikan kesembuhan kepadaku. Nabipun bersabda: Kalau kamu mau, berdoalah atau bersabar maka itu yang terbaik bagimu. Orang yang sakit berkata lagi: Doakan kami. Akhirnya Rasulullah pun memerintahkannya berwudhu, lalu shalat dua rakaat dan berdoa dengan do’a berikut: “Ya Allah kami meminta dan menghadap kepadamu dengan lantaran (wasilah) NabiMu Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu (sebagai wasilah) kepada Tuhanku untuk mengabulkan hajatku. Ya Allah berikan syafa’at baginda Nabi Muhammad kepadaku.” Ibnu Hanif berkata: Demi Allah tidak lama setelah itu seakan-akan tidak terjadi apa-apa padanya.[11] Hadits Usman bin Hanif ini dengan tegas menunjukkan bolehnya muslim memakai perantara pada makhluk dalam berdoa kepada Allah. Baik kepada makhluk yang hidup maupun pada yang sudah meninggal. Ini bahkan diakui oleh salah satu ulama Wahabi bernama Abdullah Al-Faqih.[12] Dalam menjelaskan hadits ini, Abdullah Al-Faqih menyatakan, “Hadits ini menunjukkan bolehnya tawasul dengan berdoa pada Nabi pada masa hidup Nabi. Sedangkan tawasul setelah wafatnya Rasulullah terjadi perbedaan ulama.”[13] Ini artinya, klaim Ibnu Abdil Wahab dan Ibnu Taimiyah “bahwa tawasul itu menyebabkan kufur dan murtad secara ijmak ulama” itu tidak benar dan disangkal bahkan oleh sebagian ulama Wahabi sendiri.
Sahabat Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ketika terjadi paceklik maka ia bertawasul dengan Abbas bin Abdul Muttalib, paman Nabi, dan berdoa: Ya Allah, kami dulu bertawasul padaMu dengan Nabi kami dan Engkau kirimi kami hujan. Sekarang kami bertawasul padamu dengan paman Nabi kami, maka kirimi kami hujan. Anas berkata: Lalu turunlah hujan.[14] Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam menafsiri hadits ini menyatakan: Disimpulkan dari kisah Al-Abbas bahwa sunnah meminta syafaat pada orang baik dan soleh (akhlul khair was sholah) dan ahli bait kenabian (keluarga dan keturunan Nabi).[15]
Pandangan Madzhab Empat tentang Tawasul
Madzhab empat adalah empat kelompok ulama fikih yang pandangannya dianut oleh Ahlussunnah Wal Jamaah. Berikut pandangan mereka tentang tawasul.
Pertama, madzhab Hanbali adalah madzhab fikih yang dianut oleh kalangan Wahabi. Walaupun tidak secara total mengikuti madzhab ini, namun setidaknya mereka dapat menjadikan pendapat ulama madzhab ini sebagai rujukan. Imam Ahmad bin Hanbal (wafat, 241 H/855 M), pendiri madzhab Hanbali, termasuk pengamal tawasul. Ia menyatakan: “Sampaikan hajatmu pada Allah dengan bertawasul pada Allah melalui Nabinya maka akan dikabulkan olehNya.”[16]
Dalam Al-Ilal, murid Ibnu Hanbal bertanya: Aku bertanya tentang laki-laki yang menyentuh mimbar Nabi dan mengharap barokah dengan menyentuh dan menciumnya dan melakukan hal itu di kuburan juga dengan tujuan mendekatkan diri (taqorrub) pada Allah. Ahmad bin Hanbal menjawab: “Tidak apa-apa.”[17]
Abdul Qadir Jailani (wafat, 561 H/ 1166 M), ulama madzhab Hanbali dan seorang sufi, memberi contoh doa tawasul: “Wahai Rasulullah, aku menghadap denganmu pada Tuhanku agar supaya Allah mengampuniku.”[18]
Ibnu Qudamah, seorang ulama madzhab Hanbali yang sangat berpengaruh, mengutip kisah Abdullah bin Umar yang meletakkan tangannya di tempat duduk Nabi di mimbar lalu meletakkan tangannya itu pada wajahnya (untuk tabarruk).[19] Ia juga menganjurkan apabila ingin terkabul doa, maka sebelum berdoa hendaknya berwudhu, shalat sunnah dua rakaat, lalu berdoa dengan tawasul pada Nabi[20] dan menyebutkan apa yang diinginkan.[21]
Kedua, madzhab Hanafi. Al-Kalabadzi Al-Bukhari (wafat, 380 H/990 M) dalam kitabnya berdoa dengan tawasul demikian: “Kepada Allah aku meminta pertolongan dan kepadanya aku berserah diri. Dan pada Nabi-Nya aku bersholawat dan pada Nabi-Nya aku bertawasul..”[22] Al-Aini (wafat, 855 H) dalam mengakhiri muqaddimah kitab Umdat Al-Qori Syarah Sahih Al-Bukhari, berdoa dengan tawasul: “Inilah kami melakukan apa yang dituju dengan bantuan Allah. Kami memohon pada-Nya pada akhirnya dengan bertawasul dengan Nabi sebaik-baik makhluk dan Sahabatnya yang mulia.”[23]
Ketiga, madzhab Maliki. Malik bin Anas (wafat, 179 H/795 M), pendiri madzhab Maliki, pernah ditanya oleh Abu Jafar Al-Manshur, Khalifah kedua dinasti Abbasiyah, “Wahai Abu Abdullah, apakah aku sebaiknya menghadap Rasulullah atau menghadap kiblat saat berdoa?” Imam Malik menjawab, “Jangan palingkan wajahmu dari makam Nabi. Nabi adalah wasilahmu dan wasilah ayahmu Adam kepada Allah pada hari kiamat. Menghadaplah padanya dan mintalah syafaat padanya supaya Nabi memberi syafaat padamu.”[24] Kisah ini menjelaskan tiga hal: (a) Imam Malik menganggap baik menghadap makam saat berdoa dan meminta syafaatnya; (b) bahwa Nabi menjadi wasilah; (c) menunjukkan bahwa hadits tawasulnya Nabi Adam pada Nabi Muhammad.
Sunnah menguburkan jenazah (kerabat)mu di dekat makam orang-orang soleh untuk mendapat barokah mereka dan bertawasul pada Allah dengan berdekatan pada kuburan mereka. Dan sunnah menjauhkan jenazah dari kuburan orang yang dikuatirkan dapat menyakiti apabila berdekatan dengan mereka. Diriwayatkan dari Nabi bahwa ia bersabda: “Mayit akan tersakiti karena berdekatan dengan makam orang yang buruk perilakunya sebagaimana orang hidup.”[25]
Keempat, madzhab Syafi’i. Imam Syafi’i (wafat, 204 H/820 M), pendiri madzhab Syafi’i, pernah bertawasul dan mengharap berkah dari Imam Ahmad bin Hanbal (wafat, 241 H/855 M). Al-Rabi’ menuturkan ketika Imam Syafi’i berada di Mesir ia meminta Al-Rabi’ untuk membawa kitab karyanya untuk dibawa ke Imam Ahmad di Baghdad. Imam Ahmad memberikan baju yang dipakainya sebagai kenang-kenangan. Imam Syafi’i berkata: “Aku tidak akan memakai baju pemberiannya itu. Akan tetapi basahi baju itu, berikan aku air supaya aku mendapatkan berkahnya.”[26]
Dalam riwayat lain, Ali bin Maimun menuturkan: Aku mendengar Imam Syafi’i berkata: “Aku bertabaruk (mengharap berkah) dari Abu Hanifah. Aku datang ke kuburnya setiap hari untuk berziarah. Saat aku ada keperluan, aku shalat dua rakaat lalu mendatangi kuburnya kemudian memohon kepada Allah di sisi kuburnya. Tidak lama sampai dipenuhi hajatku.”[27]
Imam Al-Mawardi menuturkan kisah Al-Utbi dan mengakuinya sebagaimana diakui oleh Abu Al-Toyyib.[28]
Kesimpulan
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa tawasul pada Nabi dan orang soleh tidak dilarang dalam Islam apalagi sampai disebut syirik dan kufur. Ibnu Hajar bahkan menyatakan bahwa tawasul hukumnya sunnah. Dengan demikian, maka pandangan Ibnu Abdil Wahab yang menyatakan bahwa tawasul termasuk penyebab kufur dan syirik berdasarkan ijmak ulama adalah suatu kebohongan yang jelas berlawanan dengan Al-Quran, hadits dan pandangan para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah.
Sebagian ulama Wahabi sedikit meralat pernyataan Ibnu Abdil Wahab ini dengan menyatakan bahwa yang membuat syirik itu adalah apabila tawasul pada orang yang sudah mati. Karena, masih kata mereka, hadits yang membahas tentang istighotsah Umar dan lainnya itu adalah tawasul pada orang soleh yang hidup. Pandangan ini justru dibantah oleh ulama Wahabi yang lain, yakni Abdullah Al-Faqih, yang menyatakan bahwa boleh atau tidaknya tawasul pada orang yang sudah mati itu masih menjadi perbedaan ulama.[29]
Sebagai agama yang menghargai ijtihad ulama, Islam membolehkan setiap ulama yang mumpuni ilmunya untuk memiliki pandangan tertentu yang berbeda asalkan tidak menganggap pendapatnya sebagai kebenaran mutlak dan pendapat yang berbeda dianggap pasti salah. Imam Syafi’i dengan penuh rendah hati menyatakan: “Pendapatku benar tapi mungkin salah. Sedangkan pendapat orang lain (menurutku) salah tapi mungkin benar.”[30] Pandangan bijak Imam Syafii ini mengingatkan semua orang, baik ulama dan kalangan awam, bahwa kebenaran mutlak itu milik Allah dan tidak ada seorang pun yang memiliki hak untuk mengklaim sebagai pemilik otoritas mutlak kebenaran.[]
Referensi
[1] A. Fatih Syuhud, “10 Pembatal Keislaman ala Wahabi Salafi (1)”, fatihsyuhud.net
[2] Muhammad bin Abdil Wahab, Nawaqidh Al-Islam, Majmuah Tauhid; Muallafat Muhammad bin Abdil Wahhab, hlm. 5/212-214. Teks asal: من جعل بينه وبين الله وسائط يدعوهم ويسألهم الشفاعة ويتوكل عليهم فقد كفر إجماعا
[3] Ibnu Taimiyah, Majmuk Al-Fatawa, hlm. 1/124.
[4] Salah satu ulama Wahabi, pengasuh konsultasi Islam islamqa.info.
[5] QS Yunus 10:18. Teks asal: وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّـهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ. Lihat juga, QS Az-Zumar 39:3
[6] Al-Alusi, Tafsir Al-Alusi (Ruhul Maany), hlm. 6/126. Teks asal: وقد شنع التاج السبكي – كما هو عادته – على المجد (ابن تيمية) فقال: ويحسن التوسل والأستغاثة بالنبي(صلى الله عليه وآله) إلى ربه ولم ينكر ذلك أحد من السلف والخلف حتى جاء ابن تيمية فأنكر ذلك وعدل عن الصراط المستقيم وابتدع ما لم يقله عالم وصار بين الأنام مثلة.
[7] Teks asal: وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُوا أَنفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّـهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّـهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا
[8] Teks asal: قَالُوا يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي ۖ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
[9] Teks asal: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
[10] Al-Alusi, op.cit. hlm. 6/125.
[11] Hadits riwayat Ibnu Majah [1385], Ahmad [4/138], Hakim [1/313] Menurut Al-Rifa’i dalam kitab At-Tawashul ila Haqiqat al-Tawassul, hlm. 158, menyatakan bahwa hadits ini masyhur dan sahih. Teks hadits: روي عن عثمان بن حنيف أنه قال: إن رجلاً ضريراً أتى النبي (ص) فقال: أدع الله أن يعافيني, فقال(ص) : (إن شئتَ دعوت, وإن شئتَ صبرتَ وهو خير ), قال: فادعه, فأمره (صلى الله عليه وآله) أن يتوضّأ فيحسن وضوءه ويصلّي ركعتين ويدعو بهذا الدعاء: (( اللهمّ إنّي أسألك وأتوجّه إليك بنبيّك نبيّ الرحمة, يا محمد إنّي أتوجّه بك إلى ربّي في حاجتي لتقضى, اللهم شفّعه فيّ )). قال ابن حنيف: فوالله ما تفرّقنا وطال بنا الحديث حتّى دخل علينا كأن لم يكن به ضرّ
[12] Abdullah Al-Faqih adalah ulama Wahabi asal Mauritania yang mengasuh konsultasi online di islamweb.net, sebuah situs portal keagamaan yang dikelola oleh kementerian Waqaf dan Urusan Agama Qatar.
[13] Abdullah Al-Faqih, “Tawassul Al-A’ma bi Du’a Al-Nabi Sahih”, Fatwa no. 45167, islamweb.net
[14] Hadits riwayat Bukhari [964]. Teks asal: عن أنس بن مالك أن عمر بن الخطاب رضي الله عنه كان إذا قحطوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال فيسقون
[15] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, hlm. 2/577. Teks: ويستفاد من قصة العباس استحباب الاستشفاع بأهل الخير والصلاح وأهل بيت النبوة
[16] Diriwayatkan oleh Al-Marudzi dalam Al-Mansak, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al-Radd ala Al-Akhna’i, hlm. 168; pemahaman ini juga disebut oleh Burhanuddin Ibnu Muflih dalam Al-Mubdi’, hlm. 2/204; searah pemahaman ini apa yang disebut Al-Hijawi dalam Al-Iqna’, hlm. 1/208; Syamsuddin Ibnu Muflih dalam Al-Furu’, hlm. 2/159.
[17] Ahmad bin Hanbal, Al-Ilal fi Makrifat Al-Rijal, hlm. 2/492. Teks asal: سألته عن الرجل يمس منبر النبي (صلّى الله عليه و سلّم) و يتبرك بمسّه ويقبله ويفعل بالقبر مثل ذلك أو نحو هذا يريد التقرب إلى الله جل وعز فقال: لا بأس بذلك.
[18] Al-Nabhani, Syawahid Al-Haq, hlm. 98.
[19] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, hlm. 3/559. Teks asal: عن إبراهيم بن عبدالرحمن بن عبد القاري انّه نظر إلى ابن عمر وهو يضع يده على مقعد النبي(صلى الله عليه وآله) من المنبر ثم يضعها على وجهه
[20] Teks tawasul: اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد صلى الله عليه وسلم نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي فيقضي لي حاجتي doa tawasul lain yang dikutip Ibnu Qudamah dari ulama salaf adalah: اللهم بك أستفتح وبك أستنجح ، وإليك بنبيك محمد صلى الله عليه وسلم أتوجه
[21] Muhammad Khair Yusuf (muhaqqiq), Wasiyat Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, hlm. 92. Referensi lebih lengkap pandangan ulama madzhab Hanbali, lihat: “Bolehnya Tawasul menurut Madzhab Hanbali”, www.konsultasisyariah.in
[22] Abu Bakar Al-Kalabadzi Al-Bukhari, Al-Ta’arruf li Madzhab Ahli Al-Tashawuf, hlm. 1/21. Teks doa: وبالله أستعين وعليه أتوكل وعلى نبيه أصلي وبه أتوسل ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم
[23] Al-Aini, Umdat Al-Qori Syarah Sahih Al-Bukhari, hlm. 1/11. Teks asal: فها نحن نشرع في المقصود بعون الملك المعبود ونسأله الإعانة على الاختتام متوسلا بالنبي خير الأنام وآله وصحبه الكرام
[24] Kisah ini diriwayatkan oleh Qadhi Iyadh dalam Al-Syifa, hlm. 2/41 dengan sanad yang sahih dari guru-gurunya yang tsiqah (bisa dipercaya). Ini dikuatkan oleh Al-Khofaji dalam Syarah Al-Khofaji, hlm. 3/398. Juga disebut oleh Al-Qasthalani dalam Al-Mawahib, hlm. 4/580. Teks asal: أن مالكا رضي الله عنه لما سأله أبو جعفر المنصور العباسي – ثاني خلفاء بن العباس- يا أبا عبد الله: أأستقبل رسول الله صلى الله عليه سلم أم استقبل القبلة وأدعو؟ فقال الإمام مالك: ولم تصرف وجهك عنه وهو وسيلتك ووسيلة أبيك أدم عليه السلام إلى الله عز وجل يوم القيامة؟ بل استقبله واستشفع به فيشفع فيك) وهذه القصة صحيحة لا غبار عليها وان الإمام مالك يري الخير في استقبال النبي صلى الله عليه وسلم في الدعاء والاستشفاع به وأنه هو الوسيلة صلى الله عليه وسلم.
[25] Abdul Haq Al-Isybili (w. 582 H), Al-Aqibah fi Dzikr Al-Maut, hlm 219. Lihat: “Bolehnya Tawasul menurut Madzhab Maliki”, www.konsultasisyariah.in.
[26] Ibnu Asakir, Tarikh Dimisyq, hlm. 5/312; Al-Subki, Tabaqat Al-Syafi’iyah Al-Kubro, hlm. 2/35; Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah, hlm. 10/331; Ibnul Jauzi, Manaqib Al-Imam Ahmad, hlm. 610. Teks asal ucapan Imam Syafi’i: ليس نفجعك به ولكن بُلَّهُ وادفع إلى الماء لأتبرك به
[27] Diriwayatkan oleh Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi, Al-Tarikh, hlm. 1/123; Ibnu Hajar, Al-Khoirot Al-Hisan, hlm. 69; Al-Khawarizmi, Manaqib Abi Hanifah, hlm. 2/199; Al-Kurdi, Al-Manaqib, hl. 2/82. Teks ucapan Imam Syafi’i: إني لأتبرك بأبي حنيفة وأجئ إلى قبره في كل يوم ـ زائرا ـ فإذا عرضت لي حاجة صليت ركعتين وجئت إلى قبره وسألت الله تعالى الحاجة عنده
[28] Al-Nawawi, Al-Majmuk Syarah Muhadzab, hlm. 8/256. Kisah Al-Utbi adalah kisah di mana ia melihat ada orang desa yang mohon pengampunan Allah dengan bertawasul pada Nabi di makam Nabi. Al-Utbi melihat Rasulullah datang dan berpesan padanya bahwa orang pedalaman itu diampuni dosanya. Lebih detail tentang pandangan ulama Syafi’i, lihat: “Bolehnya Tawasul menurut Ulama Madzhab Syafi’i, www.konsultasisyariah.in.
[29] Lihat kembali, Abdullah Al-Faqih, loc.cit.
[30] Teks asal: قولي صحيح يحتمل الخطأ وقول غيري خطأ يحتمل الصواب