Ulama Ahli Hadits Perempuan
Ulama Ahli Hadits Perempuan.
Oleh A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al Khoirot
Pondok Pesantren Al Khoirot Malang
Sejak masa hidup Nabi Muhammad, perempuan telah memainkan peran penting sebagai periwayat hadits. Banyak perilaku dan sabda Nabi diriwayatkan oleh mereka. Nama-nama seperti Hafsah, Ummu Habibah, Maimunah, Ummu Salamah, dan A’isyah, sudah tidak asing bagi kalangan santri yang belajar hadits. Begitu juga setelah Rasulullah wafat, para Sahabat perempuan, khususnya istri-istri Nabi, banyak yang menjadi rujukan atau tumpuan tempat bertanya tentang berbagai hal terkait dengan perilaku dan sabda Nabi.
Pada era Tabi’in (generasi setelah Sahabat), perempuan memegang posisi penting sebagai ahli perawi hadits. Hafsah, putri Ibnu Sirin, Ummu ad-Darda’ dan Amrah binti Abdurrahman, adalah sebagian kecil dari ahli periwayat hadith pada periode ini. Ummu ad-Darda’ oleh Iyas bin Muawiyyah dianggap lebih unggul (rajih) dibanding muhaddits terkenal Al Hasan Al Basri dan Ibnu Sirin. Amrah dianggap memiliki otoritas tinggi dalam meriwayatkan hadits yang berasal dari Aisyah. Di antara muridnya adalah Abu Bakar bin Hazm, hakim terkemuka di Madinah yang mendapat perintah untuk menulis seluruh hadits yang berasal dari riwayat Amrah binti Abdurrahman.
Selain itu, ada nama-nama muhaddits (ahli hadits) perempuan seperti ‘Abidah al-Madaniyyah, ‘Abdah binti Bishr, Ummu Umar al-Thaqafiyyah, Zainab cucu dari Ali bin Abdullah bin Abbas, Nafisa binti al-Hasan bin Ziyad, Khadijah Ummu Muhammad, ‘Abdah binti Abdurrahman, dan lain-lain. Para ulama perempuan ini berasal dari latar belakang yang sangat beragam, yang menunjukkan bahwa status sosial dan gender bukanlah penghalang untuk menjadi ulama Islam mumpuni..
Sebagai contoh, Abidah Al Madaniyyah adalah seorang hamba sahaya (budak) dari Muhammad bin Yazid. Ia belajar hadits dari sejumlah ulama Madinah. Konon, Abidah meriwayatkan puluhan ribu hadith dari otoritas guru-guru haditsnya di Madinah tersebut.
Zainab binti Sulaiman (wafat. 142H/759M), kebalikan dari Abidah. Dia lahir sebagai seorang putri bangsawan. Ayahnya adalah sepupu As-Saffah, pendiri dinasti Abbasiyah dan gubernur Basrah (Irak), Oman, dan Bahrain selama masa khalifah Al Mansur. Zainab yang mendapat pendidikan yang baik dapat menguasai hadits dan terkenal sebagai salah satu muhaddits paling terkemuka pada masanya, dan banyak ulama laki-laki yang pernah menjadi muridnya.
Pada abad keempat hijrah atau kesepuluh masehi, terdapat nama Fatimah binti Abdurrahman As-Sufiyyah (wafat 312H/924H), Fatimah cucu dari Abu Daud (penyusun kitab Sunan Abu Daud), Amat Al Wahid (wafat 377H/ 987M), putri dari mufti terkemuka Al Muhamili; Ummu Al Fath Amat As-Salam (wafat, 390H/999M), putri dari hakim Abu Bakar Ahmad Ahmad (w. 350H/961M). Jumuah binti Ahmad, dan lain-lain yang pengajian haditsnya banyak dikunjungi orang.
Banyaknya muhaddits perempuan berlanjut hingga abad kelima dan keenam hijrah atau ke-11 dan ke-12 masehi. Fatimah binti Al Hasan bin Ali bin Ad-Daqqaq Al Qusyairi dipuji tidak hanya karena ketakwaan dan keindahan kaligrafinya, tetapi juga karena penguasaan hadits dan kualitas sanad yang dia ketahui. Muhaddits perempuan lain adalah Karimah Al Marwaziyyah (w. 464H/1070M) yang dianggap memiliki otoritas terbaik atas kitab hadits Sahih Al Bukhari. Al Khatib Al Baghdadi dan Al Humaidi adalah sebagian dari murid-muridnya.
Ulama ahli hadits terkemuka lain pada abad ke-11 dan 12 Masehi adalah Fatimah binti Muhammad (w.539/1144; Syuhdah Al Katib (w.574/1178), and Sitt al-Wuzara binti Umar (w.716/1316) yang semuanya merupakan spesialis hadits Sahih Al Bukhari.
Ulama muhaddits yang lain adalah Ummu al-Khayr Fatima binti Ali (w.532/1137), dan Fatima al-Shahrazuriyya (w.524/1129) keduanya adalah ahli hadits Sahih Muslim. Sedangkan Fatima al-Shahrazuriyya juga ahli hadits Mu’jam At Thabrani. Ada juga Zainab Al Harran (w. 68/1289) yang mengajarkan kitab Musnad Ahmad ibnu Hanbal yang merupakan salah satu dari kutubus sittah (kitab hadits yang enam). Pada periode ini dikenal juga ulama perempuan ahli hadits bernama Juwayriyah binti Umar (w.783/1381), dan Zainab binti Ahmad bin Umar (w.722/1322), yang sudah melakukan perjalanan sangat jauh untuk mencari hadits dan menyampaikan kuliah hadits di Mesir dan Madinah. Ia meriwayatkan pada murid-muridnya kumpulan hadits al-Darimi dan Abd bin Humaid. Selain itu ada juga Zainab binti Ahmad (w.740/1339) yang lebih dikenal dengan panggilan Bintul Kamal. Dia menyampaikan pengajian kitab Musnad Abu Hanifa, Syama’il Tirmidzi dan Syarh Ma’ani Al Athar dari At Tahawi. Kitab terakhir ini dia baca bersama ahli hadits perempuan lain yaitu Ajibah binti Abu Bakar (w. 740/1339).
Ibnu Asakir, seorang ahli sejarah terkemuka asal Damaskus mengatakan bahwa dia telah belajar pada 1.200 guru laki-laki dan 80 guru perempuan dan mendapat ijazah sanad hadits dari Zainab binti Abd al-Rahman untuk kitab Muwatta’ Imam Malik. Jalaluddin As Suyuti belajar kitab Ar Risalah-nya Imam Syafi’i pada Hajar binti Muhammad. Sedangkan Afifuddin Junaid, seorang ahli hadits abad ke-9 Hijrah/15 Masehi, belajar kitab hadits Sunan Ad Darimi pada Fatimah binti Ahmad bin Qasim.
Dalam kitab Ad Durar Al Karimah fi A`yaan al-Mi’at al-Tsaminah, Ibnu Hajar Al Asqalani menulis biografi singkat tentang 170 ulama perempuan abad kedelapan hijrah atau ke-14 masehi. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan termasuk di antaranya adalah guru Ibnu Hajar sendiri.
Ahli hadits perempuan terkemuka paling mutakhir adalah Fatima al-Fudayliyah (w. 1247/1831.52) yang dikenal sebagai al-Shaykha al-Fudayliya. Ia lahir sebelum akhir abad ke-12 hijrah / 18 masehi. Disamping ahli hadits, ia juga ahli di bidang seni kaligrafi dan sejumlah ilmu-ilmu Islam lain. Menjelang akhir hidupnya, ia tinggal di Makkah di mana ia mendirikan perpustakaan umum yang besar. Pengajiannya di Makkah dihadiri oleh banyak ahli hadits ternama seperti Syaikh Umar Al Hanafi dan Syaikh Muhammad Sali.
Dari uraian singkat di atas, terbuka satu horizon baru bahwa dalam konteks khazanah keilmuan Islam, perempuan juga memainkan peran penting sebagai pembawa tongkat estafet transmisi informasi ilmu pengetahuan agama, khususnya hadits, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perempuan juga tidak hanya menjadi murid. Mereka juga menjadi guru dari para ulama laki-laki terkemuka. Sebagai ulama, para wanita ini juga dikenal sangat menjaga akhlak, syariah dan perilaku Islami ideal.[]
Referensi
- Al-Khatib al-Baghdadi, Sharaf Ashab al-Hadith
- Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad
- Ibnu Hajar Al Atsqalani, Ad-Durar Al-Karimah fi A`yan al-Mi’at al-Tsaminah
- Ignaz Goldziher, Muslim Studies, (terjemah bahasa Inggris oleh S. M. Stern, (Aldine Transaction, 2006).
- Jalaluddin Al-Suyuti, Tadrib Ar Rawi
- Yaqut al-Hamawi, Mu’jam Al Udaba