fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Tradisi Baca-Tulis Santri Pesantren

Tradisi Baca-Tulis Santri Pesantren
Oleh: Imdad Robbani

“Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan al-qalam. Mengajarkan manusia apa yang tidak ia ketahui.” (Al-‘Alaq:1-5)

Ada sebuah kisah menarik tentang tema yang ingin saya tulis kali ini. Fenomena ini diceritakan oleh seorang mahasiswa India asal Indonesia yang sedang mengurusi perpanjangan ijin tinggal di kantor imigrasi. Dia kebetulan duduk bersebelahan dengan seorang bule yang datang bersama keluarganya. Ketika penduduk luar India lain tampak ribut dan berbicara sendiri-sendiri, seluruh anggota keluarga ini tampak asyik membaca buku. Sang suami membaca “My Life”-nya Bill Clinton, istrinya membaca novel seorang ahli hukum John Grisham, sementara kedua anaknya membaca komik Archie. Pemandangan bule yang sedang asyik membaca merupakan fenomena umum yang tidak hanya terjadi di kantor imigrasi itu saja. Pendeknya, masyarakat Barat—yang awam, lebih-lebih yang terpelajar—telah terbiasa untuk menghabiskan waktu dengan membaca dan hal itu merupakan ciri masyarakat yang berbudaya.

Di Indonesia membaca bukanlah fenomena umum. Ia hanya menjadi kegiatan sekelompok kecil masyarakat yang bagi banyak orang merupakan sesuatu yang asing. Lebih ironis lagi, kegiatan membaca yang merupakan jantung dunia pendidikan justru tidak banyak diakrabi oleh mahasiswa yang merupakan subjek dan objek pendidikan pada tingkat tertinggi. Seperti yang kita ketahui bersama, bahkan di dalam kelas pun, ketika seorang dosen belum datang, aktivitas yang dilakukan pada umumnya bukanlah membaca, melainkan berbincang-bincang menghabiskan waktu yang lebih merupakan ciri masyarakat yang belum modern dalam arti sebenarnya.

Membincangkan hal ini menjadi menarik ketika kita mengingat bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah Muslim dan bahwa wahyu pertama dalam Islam adalah perintah untuk membaca. Tidak adil memang jika kita memaksakan komparasi antara fenomena dalam paragraf pertama dengan yang terjadi pada masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim. Kedua hal itu lebih menunjuk pada perbedaan budaya daripada afiliasi agama. Namun kenyataan bahwa wahyu pertama yang turun pada Nabi berisi perintah membaca dan pentingnya penulisan membuat kita harus berpikir kembali tentang hal ini.

***

Surat al-‘Alaq ayat 1-5 adalah wahyu verbal pertama yang diterima Nabi saw. Dalam kisah pewahyuan ayat-ayat ini, Nabi dikisahkan ‘dipaksa’ oleh malaikat Jibril untuk membaca (iqra’/bacalah!). Tapi saat itu Nabi merespon dengan menjawab “Saya bukanlah seorang yang bisa membaca”. Ada sebuah analisis menarik dari Tariq Ramadan tentang peristiwa ini. Dia menulis bahwa karena Nabi adalah seorang ummi saat itu Nabi “mengungkapkan ketidakmampuan logis dan bila kemudian Nabi mampu membaca hal itu karena spiritualitas yang terkandung di dalamnya—‘dengan nama Tuhanmu’—membuka akses terhadap dimensi lain ilmu pengetahuan”.

Setidaknya ada beberapa hal yang menarik untuk dibicarakan. Pertama adalah bahwa Nabi saw., seorang ummi—tentang hal ini ada hikmah tersendiri dalam ayat lain—‘dipaksa’ untuk membaca. Hal ini memberikan impresi betapa Islam menekankan pentingnya membaca hingga dipilih seorang ummi, yang dipaksa untuk membaca, untuk menyampaikan pesan-pesannya. Kedua, keharusan untuk menyertakan spiritualitas dan keimanan dalam aktifitas pembacaan itu. Tentu hal itu tidak berarti meminggirkan peran nalar dalam proses pembacaan. Sebaliknya, rasionalitas (baca: ta’aqqul, tadabbur) adalah komponen utama dalam proses memahami dan menafsirkan ‘bacaan’, namun hal ini tidak boleh meminggirkan keimanan dan spiritualitas dalam prosesnya.

Selanjutnya, dalam analisis semantik bahasa Arab , pembuangan objek dari kata iqra’ memiliki implikasi bahwa objek yang dibaca adalah umum—disamping tentu saja Al-Quran sebagai kitab suci. Karenanya seorang yang beriman pada Al-Quran tidak perlu membatasi materi bacaan selama pembacaannya selalu menyertakan ismi Rabbik. Pada tataran epistemologis frase bismi Rabbik dapat dilihat sebagai rambu-rambu dalam ‘membaca’. Pembacaan tanpa menggunakan ismi Rabbik, katakanlah seperti filsafat sekuler—jika istilah ini disetujui, dapat melahirkan proses dan hasil yang berbeda dengan hasil pembacaan yang, sebutlah, Islami. Untuk sekedar menyebut contoh, bagi seorang rasionalis keraguan adalah metode epistemologis yang valid untuk mencapai kebenaran. Tapi hal ini ditolak oleh Al-Quran (10:36).

Perintah membaca pada ayat pertama surat Al-Alaq dilanjutkan dengan isyarat terhadap pentingnya tulisan pada ayat keempat dan kelima. Tentang kaitan antara ayat 3-4 dan ayat sebelumnya, Al-Biqa’i menyatakan bahwa Allah mengajarkan pada Nabi saw. sekalipun saat itu beliau adalah seorang ummi sebagaimana Allah mengajarkan ilmu pada orang bodoh dengan pena. Disini terdapat penekanan terhadap pentingnya penulisan sebagai sarana transmisi ilmu yang dalam Islam mendapat tempat yang tinggi.

***

Seperti telah disinggung di atas, minat baca umat Islam Indonesia, dan orang Indonesia secara umum, lebih terkait dengan persoalan budaya daripada agama. Namun sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, adalah ironis bahwa Muslim Indonesia belum mampu menerjemahkan wahyu pertama dalam kehidupan sehari-hari. Di belahan lain dunia Islam, kondisinya lebih baik. Di India dan Iran misalnya. Di kedua negara tersebut tradisi keilmuan yang memang telah lama mengakar terus lestari hingga kini. Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia tidak memiliki satu peradaban dengan tradisi baca-tulis (baca: keilmuan) yang kuat. Dibutuhkan lebih dari sekedar kerja keras untuk menggapai hal itu. Nuzulul Quran bisa menjadi jawaban untuk semua itu.

Dengan merujuk pada Al-Quran, adalah sahih untuk mengatakan bahwa menjadi seorang Muslim yang baik adalah menjadi pembaca yang baik (baca: rajin, dst). Meski perangkai tulisan ini kurang kredibel untuk ‘mendakwahkan’ hal ini, momentum nuzulul Quran rasanya layak dijadikan pijakan awal transformasi budaya untuk lebih bersahabat dengan bacaan dan tulisan. Di sini, di Indonesia.[]

Kembali ke Atas