Taubat dalam Islam
Taubat dalam Islam.
Oleh A. Fatih Syuhud
Taubat bermakna kembali kepada Allah setelah melakukan maksiat atau dosa sambil menyesali kesalahan yang dilakukan dan berjanji sepenuh hati untuk tidak melakukannya lagi. Pada perkembangan berikutnya, taubat juga berarti menyesali kesalahan yang dilakukan tidak hanya pada Allah, tapi juga pada sesama manusia.
Secara kontekstual, ada tiga macam kesalahan yang dilakukan seseorang, pertama, kesalahan kepada Allah, seperti mengabaikan ibadah shalat lima waktu, berzina, dan lain-lain.
Kedua, kesalahan pada Allah dan sesama manusia, seperti membunuh, mencuri, dan lain-lain. Ketiga, kesalahan pada sesama manusia (haqqul adami).
Menebus kesalahanan pada Allah dilakukan dengan cara bertaubat (QS Al Baqarah 2:222;[1] Ali Imron 3:133)[2] dengan taubat nasuha yaitu sikap penyesalan atas kealpaan yang dilakukan dan komitmen yang tulus untuk tidak mengulangi (QS At Tahrim 66:8).[3] Taubat nasuha, dengan demikian, adalah perilaku penyesalan diri yang konsisten antara janji dan perilaku serta berkesinambungan.
Taubat nasuha juga harus dilakukan saat kita menyesali kesalahan pada sesama manusia (haqqul adami). Hal ini disebabkan karena Allah tidak akan mengampuni dosa antara sesama manusia (haqqul adami ) sampai yang bersangkutan memaafkan kesalahan kita. Dalam suatu Hadits diriwayatkan, Rasulullah menjelang wafatnya mengumumkan pada para Sahabat bahwa apabila beliau punya salah, beliau minta maaf. Apabila tidak dimaafkan, silahkan yang bersangkutan membalasnya sesuai dengan kesalahan yang dilakukan Nabi.
Meminta maaf pada sesama manusia bagi banyak orang terasa lebih berat dibanding bertaubat pada Tuhan. Padahal, seperti disinggung di muka, ia tak kalah pentingnya karena dalam Islam keharmonisan hubungan antarmanusia (hablun minan nas) sama prioritasnya dengan kaharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan-nya (hablun min Allah).
Apabila kita berbuat salah yang merugikan orang lain, permintaan maaf yang tulus sangatlah perlu. Yakinkan bahwa kesalahan Anda itu tidak akan terulang lagi.
Permintaan maaf diperlukan bukan hanya untuk mengobati hati orang yang disakiti. Tetapi, yang lebih penting, untuk kebaikan diri kita sendiri. Untuk mengembalikan kepercayaan (trust) orang itu pada kita. Kehidupan antarmanusia baru bisa dikatakan harmonis dan saling menguntungkan kalau dibangun dari rasa saling percaya.
Seseorang yang bermartabat dan ingin dihargai orang lain harus dapat menjaga kepercayaan (amanah) yang diberikan padanya. Saat ketika amanah itu dilanggar, ia telah menghancurkan dirinya sendiri di mata orang lain. Sama dengan saat dia melanggar amanah yang diberikan Allah dengan tidak mematuhi perintah dan mengabaikan larangan-Nya.
Allah Maha Tahu apakah taubat kita itu nasuha atau cuma main-main. Akan tetapi, manusia tidak tahu, apakah permintaan maaf kita berkualitas nasuha atau cuma di bibir saja. Untuk itu diperlukan pembuktian terus-menerus untuk mengembalikan kepercayaan yang telah kita hancurkan sendiri.[]
CATATAN AKHIR
[1] Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
[2] Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
[3] Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersama Dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, Maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, Maka itu akan menimpa dirinya sendiri, Kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan.[]