fatihsyuhud.net

Buku A. Fatih Syuhud Pengasuh PP Al-Khoirot Malang

Tamak dalam Islam

tamak dalam islam

Tamak
Oleh A. Fatih Syuhud

Tamak atau rakus dalam istilah psikologi bermakna keinginan eksesif (berlebihan) untuk memperoleh atau memiliki harta kekayaan yang bukan haknya atau melebihi yang dibutuhkan.

Keinginan menguasai dan mencintai harta benda yang berlebihan itu (QS Al Fajr 89:20)[1] pada gilirannya akan membawa seseorang pada dua perilaku negatif yang sangat dilarang dalam Islam.

Pertama, menghalalkan segala cara (the ends justify the means) dengan berbagai bentuk dan variannya sesuai peluang dan kesempatan yang ada di depannya (QS Al Fajr 89:19).[2] Perilaku korupsi yang dilakukan pejabat negara dari level tertinggi sampai terendah timbul, salah satunya, dari sifat tamak ini. Berusaha mendapat keuntungan sebesar-besarnya dengan cara apapun biasa dilakukan pedagang atau pengusaha yang rakus.

Kedua, pelit. Ketamakan itu identik dengan pelit atau kikir (Arab, bakhil) (QS 92:8).[3] Tidak jelas mana yang menyebabkan apa. Apakah tamak yang menyebabkan pelit atau pelit timbul dari sifat tamak. Satu hal yang pasti, kedua karakter ini hanya dimiliki orang yang mementingkan dirinya sendiri (selfish). Yang tidak pernah befikir untuk membagi sebagian harta miliknya dengan orang lain. Al Quran sendiri memakai kata syuhh, yang berarti pelit, untuk menggambarkan perilaku tamak (QS Al Hasyr 59:9;[4] At Taghabun 64:16)[5]

Pada dasarnya, sifat tamak, dalam arti egois, sedikit atau banyak dimiliki setiap orang. Ia inheren dalam cara pikir dan perilaku manusia. Sifat mengutamakan diri sendiri, menomorduakan orang lain, pada hakikatnya manusiawi dan tidak dilarang dalam Islam. Yang dilarang apabila perilaku selfish ini mencapai level yang tidak proporsional sampai pada tahap merugikan orang lain.

Dalam Islam, istilah “merugikan orang lain” tidak hanya terbatas pada korupsi, menipu, memeras, mencuri atau membunuh. Istilah ini mencakup juga “keengganan untuk menginfakkan sebagian harta kita pada yang berhak” (QS Ali Imran 3:180).[6] Allah menegaskan bahwa kesalihan itu adalah membagi sebagian harta dengan orang lain; bukan hanya ibadah ritual (QS Al Baqarah 2:177).[7]

Untuk itu, seorang muslim yang tamak harus merubah perilakunya. Merubah perilaku tamak tidaklah sulit bagi mereka yang memiliki determinasi dan kemauan untuk merubah cara pikir dan perilakunya.

Pertama, rubah pola pikir atau keinginan hidup mewah atau hidup boros. Perilaku hidup mewah timbul pertama kali dari pola pikir (mindset). Karena itu perubahan harus dimulai dari sini. Jadikan hidup sederhana sebagai gaya hidup yang baru. Apabila Anda sudah berkeluarga, yakinkan anak dan istri bahwa pilihan hidup sederhana adalah yang terbaik untuk diri sendiri dan orang lain.

Kedua, yakinkan bahwa standar sukses yang hakiki bukanlah ditandai dari simbol-simbol kemewahan semu yang kita miliki seperti merk dan harga baju, merk mobil, nilai harga rumah dan perabotannya, dan lain-lain. Standar kesuksesan hendaknya berdasarkan pada (a) kredibilitas kepribadian, dan (b) seberapa besar kemampuan dan kekayaan kita dapat bermanfaat bagi orang lain yang membutuhkan (QS Al Baqarah 2:267).[8]

Islam selalu menekankan pentingnya kesalihan kolektif untuk mencapai masyarakat madani, suatu masyarakat yang hidup damai dan sejahtera. Kesalihan kolektif baru dapat dicapai apabila kalangan yang lebih beruntung secara ilmu dan kekayaan berinisiatif untuk membagi apa yang dimilikinya dan membuang perilaku tamak dan selfish.[]

CATATAN AKHIR

[1] Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.

[2] Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (yang halal dan yang bathil),

[3] Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup

[4] Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.

[5] Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, Maka mereka Itulah orang-orang yang beruntung.

[6] Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

[7] Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.

[8] Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.

Kembali ke Atas