Sofiyah binti Huyay
Sofiyah binti Huyay adalah istri ke-11 Nabi Muhammad
Oleh A. Fatih Syuhud
Sofiyah binti Huyay adalah satu-satunya istri Nabi yang berasal dari etnis Yahudi. Ayahnya yang bernama Huyay bin Akhtab berasal dari suku Bani Nadhir salah satu suku Yahudi yang ada di Madinah. Sedangkan ibunya yang bernama Barrah binti Samuel berasal dari suku Bani Quraidhah juga dari etnis Yahudi Madinah.
Sebelum dengan Nabi, Sofiyah menikah pertama kali dengan Sullam bin Mishkam atau Salamah bin Maksyuh. Perkawinan pertama ini berakhir dengan perceraian. Sofiyah kemudian menikah lagi dengan Kinanah bin Abul Haqiq. Perkawinan kedua ini pun kandas di tengah jalan karena Kinanah tewas dalam perang Khaibar. Sofiyah saat itu termasuk dari tawanan perang Khaibar. Rasulullah lalu mengambil Sofiyah sebagai tawanan perangnya dan menawarkan pilihan pada Sofiyah apakah akan masuk Islam atau tetap pada agama Yahudi. Nabi bersabda: “Pilihlah wahai Sofiyah, kalau engkau memilih Islam, maka aku akan menikahimu. Apabila tetap memilih Yahudi, maka aku akan tetap membebaskanmu sehingga engkau dapat kembali ke kaummu.”
Sofiyah menjawab: “Wahai Rasulullah, aku sudah lama menyukai Islam dan percaya padamu sebelum engkau mengajakku. Di samping itu, aku tidak lagi punya ketertarikan pada agama Yahudi, aku juga tidak punya ayah dan saudara dan engkau memberiku pilihan antara kafir dan Islam, maka Allah dan Rasul-Nya lebih aku senangi daripada kemerdekaan dan kembali ke kaumku.” Mendengar respons Sofiyah, Nabi lalu memerdekakannya dan menjadikan pemerdekaan ini sebagai mahar perkawinan. Dalam proses pernikahan ini, Ummu Sulaim berperan sebagai pihak yang mendandani calon pengantin wanita. Resepsi nikah (walimah al-urs) juga diadakan secara sederhana dengan roti dan kurma.[1] Peristiwa ini terjadi pada tahun 7 hijriyah atau 629 masehi dan bertempat di Khaibar yaitu suatu tempat yang berjarak 150 kilometer dari Madinah.
Menurut ahli sejarah Islam, tujuan Rasulullah menikahinya adalah untuk memuliakan dan mengangkat statusnya serta untuk menghibur hatinya yang telah kehilangan keluarga dan kaumnya saat peperangan Khaibar. Dan yang tak kalah penting adalah untuk mewujudkan ikatan persaudaraan melalui tali pernikahan antara Nabi dengan kaum Yahudi dengan harapan agar mereka dapat mengurangi sikap permusuhannya pada umat Islam dan lebih menerima dakwah Islam.[2]
Hikmah lain dari pernikahan ini adalah bahwa Islam adalah agama universal )QS Al-Anbiya :107). Bukan hanya agama orang Arab semata. Islam tidak memuliakan status suatu kaum di atas kaum yang lain kecuali karena takwanya (QS Al-Hujurat :13). Oleh karena itu, Rasulullah marah ketika sebagian istri Nabi yang lain menyinggung status etnis Sofiyah yang bukan Arab. Nabi bersabda pada Sofiyah: “Apabila mereka (istri-istri Nabi) mendiskriminasi engkau lagi, katakan pada mereka bahwa suamimu adalah Muhammad, ayahmu adalah Nabi Harun dan pamanmu adalah Nabi Musa. Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk bersikap seperti itu padamu.”[3]
Sofiyah wafat pada tahun 50 atau 52 hijriah bertepatan dengan tahun 670 atau 672 masehi pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan dan dimakamkan di Baqi, Madinah.[]
[1] Ibnu Saad, Al-Tabaqat Al-Kubro, 7/123
[2] Ibid., 7/127.
[3] Ibnu Saad, Al-Tabaqat Al-Kubra, 7/127